Jakarta, Kompas -- Ketua Dewan Pengurus Setara Institute Hendardi mengatakan, pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo perihal usulan pelimpahan kewenangan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Kejaksaan lebih menyerupai pernyataan seorang politisi dibanding sebagai pernyataan pejabat pemerintahan.
“Pernyataan Jaksa Agung bukan hanya offside tapi juga tidak disiplin,” kata Hendardi dalam pernyataan pers tertulis yang dikirimkan ke Kompas, Rabu. Menurut Hendardi, sejak awal Prasetyo memang lebih memilih berpolitik di wilayah penegakan hukum dibanding menjadi Jaksa Agung yang profesional menegakkan hukum. “Publik sangat paham bahwa langkah Prasetyo dalam memimpin korps Kejaksaan lebih dikendalikan argumen dan pertimbangan politik dibanding murni penegakan hukum,” kata Hendardi.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Jaksa Agung HM Prasetyo mengusulkan kewenangan penuntutan KPK harus mendapat izin dari Kejaksaan Agung. Ia membandingkan kewenangan tersebut di negara lain seperti Singapura dan Malaysia.”Kewenangan dari biro antikorupsi Singapura dan Malaysia terbatas pada fungsi penyelidikan dan penyidikan saja. Meskipun Malaysia memiliki divisi penuntutan tapi harus tetap mendapat izin dari Kejaksaan Agung Malaysia,” kata Prasetyo saat rapat dengan Komisi III di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (11/9/2017).
KPK mendapat tekanan politik dari DPR dengan dibentuknya Panitia Angket. Tekanan itu kian menguat setelah KPK menangani dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik. KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka. Dalam rapat Panitia Angket, berbagai kelemahan KPK terungkap. Ketegangan terjadi di dalam KPK antara penyidik KPK Novel Baswedan dengan Direktur Penyidikan KPK Brigjen Aris Budiman. Novel disiram air keras oleh orang tak dikenal. Aris Budiman melaporkan Novel ke Polri atas sangkaan pencemaran nama baik. Sementara Jaksa Agung dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR juga membuka kemungkinan membuka kembali kasus penganiayaan pencuri sarang burung walet yang melibatkan Novel. Peristiwa itu terjadi tahun 2004.
Menurut Hendardi, Prasetyo bukan hanya offside dalam mengeluarkan pendapat tetapi juga indisipliner karena sebagai organ pemerintahan, semestinya Prasetyo patuh pada kehendak presiden yang tegas-tegas menolak pelemahan KPK. Sikapnya yang terus memperburuk integritas dan citra kejaksaan akan berimplikasi pada posisi pemerintah yang dapat digeneralisir sebagai organ yang memperlemah KPK. Jokowi harus mendisiplinkan Prasetyo untuk tidak berpolitik melalui Pansus Angket KPK.
“Sepanjang Jokowi tidak solid dan kokoh dalam memandang upaya-upaya destruktif yang dilakukan oleh Pansus Angket, maka bukan hanya aktor seperti Jaksa Agung saja yang tergoda untuk berpolitik melemahkan KPK tetapi juga aktor-aktor lain bisa bermunculan. Jika ini terjadi maka ekstensi ketegangan hubungan KPK-DPR akan semakin luas dan membentuk barisan anti-KPK. Inilah yang akan disyukuri oleh banyak aktor yang menghendaki pelemahan KPK. Tapi, jika ini terjadi, maka rakyat yang dirugikan karena institusi KPK yang melakukan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan secara transparan dan akuntabel bisa saja menjadi tumpul,” kata Hendardi.
Menurut Hendardi, aspirasi pelimpahan kewenangan penuntutan ke Kejaksaan bukan hanya akan melemahkan KPK tetapi juga melawan nalar antikorupsi yang tengah tumbuh di tengah masyarakat. (bdm)