Ubah Kebiasaan Beri Fasilitas Mewah kepada Pejabat Pusat dan Daerah
Oleh
R. ADHI KUSUMAPUTRA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk memberantas korupsi yang merajalela di Indonesia, tidak cukup hanya mengandalkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Yang lebih penting adalah membuat terobosan mengubah kebiasaan peninggalan penjajah kolonialisme yang masih dipakai para pejabat.
”Apabila seseorang diangkat menjadi bupati, misalnya, pejabat itu langsung mendapatkan fasilitas rumah tinggal yang mewah, yang dilengkapi dengan perabotan mewah, dilengkapi dengan staf pembantu yang siap melayani bupati dan keluarganya sebagai raja, juga dilengkapi dengan ajudan dan asisten-asisten pribadi. Demikian pula, di kantornya pun bupati mendapat asisten dan staf protokol. Bukankah gaya hidup seperti ini bertentangan dengan kehidupan berdemokrasi?” tutur Burhanuddin Maras, pengusaha yang bergerak di bidang minyak dan gas, kepada Kompas, Rabu (13/9).
Menurut Burhanuddin, ”Bukankah ini kesalahan yang sangat besar? Seseorang yang dipilih menjadi bupati itu semestinya untuk melayani rakyat dan bukan untuk dilayani menjadi seorang raja di kabupatennya.”
Gaya hidup mewah itu, kata Bur Maras, demikian panggilan akrabnya, dengan cepat menjadi kebiasaan keluarga bupati. ”Untuk meneruskan gaya hidup mewah setelah jabatannya selesai, bupati tersebut terpaksa menyediakan dana. Nah, inilah yang menjadi akar persoalan. Bupati itu mencari uang banyak dalam waktu singkat. Inilah yang mendorong bupati melakukan korupsi. Itu pulalah yang membuat orang yang baik menjadi koruptor,” papar Bur Maras.
Mengapa seseorang yang diangkat menjadi pejabat negara harus dimanjakan dengan segala kemewahan? Mestinya pejabat ini melayani rakyat. Hilangkanlah kebiasaan menggunakan ajudan tersebut karena ajudan ini membuat pejabat tersebut menjadi angkuh.
Bur Maras mempertanyakan, ”Mengapa seseorang yang diangkat menjadi pejabat negara harus dimanjakan dengan segala kemewahan? Mestinya pejabat ini melayani rakyat. Hilangkanlah kebiasaan menggunakan ajudan tersebut karena ajudan ini membuat pejabat itu menjadi angkuh.”
Dampak sampingan kehidupan mewah itu, pejabat mendapatkan dana banyak dengan mudah. ”Anak-anak pejabat dengan mudah terpengaruh oleh godaan narkoba. Harga narkoba ini sangat mahal dan anak-anak dari pejabat yang korupsilah yang mampu membeli Narkoba. Kalau uang itu adalah hasil usaha jerih payah, mereka tidak akan membeli Narkoba,” tutur Bur Maras.
Badan Anggaran DPR
Bur Maras yang pernah menjadi anggpta DPR itu juga menyoroti korupsi yang terjadi DPR, umumnya di Badan Anggaran.
”Karena itu, semua diskusi mengenai anggaran haruslah dilaksanakan di ruang tertentu, di mana semua percakapan direkam. Hasil rekaman ini boleh dilihat oleh publik atau wartawan. Sesudah itu, sebelum anggaran itu diputuskan, hasil dari diskusi anggaran ini haruslah diaudit oleh badan akuntan yang dipilih oleh rakyat atau Badan Pemeriksa Keuangan Negara,” ungkap Bur Maras.
”Sekarang pertanyaannya, apakah kita betul-betul serius untuk membasmi korupsi? Kalau iya, kita harus berani membuat perubahan kebiasaan yang buruk ini dan berani menerapkan peraturan-peraturan yang baru, yang lebih kerakyatan dan sesuai dengan Pancasila,” tutur Bur Maras.