Seniman Indonesia Mendapat Paviliun Khusus di Beijing Biennale 2017
Oleh
Dimas Waraditya
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 17 perupa asal Indonesia mendapat kehormatan untuk menampilkan karya-karyanya di ruang pameran khusus seluas 500 meter persegi di arena Beijing International Art Biennale 2017 akhir September mendatang. Hanya segelintir negara yang mendapat kesempatan menampilkan karya mereka di sebuah paviliun khusus di ajang bergengsi ini.
”Hanya perupa Indonesia, Georgia, Yunani, dan Mongolia yang mendapat ruangan pameran khusus. Ruang pameran khusus bagi para seniman Indonesia ini akan dinamakan Paviliun Indonesia,” kata Kuss Indarto, kurator karya seni Beijing Biennalle 2017, di Yogyakarta, Rabu (13/9).
Beijing Biennale adalah pameran seni rupa kontemporer dua tahunan yang berlangsung sejak 2003 dan kini menjadi ajang promosi dan pemasaran karya seni rupa dari seluruh dunia.
Tujuh belas perupa yang berangkat ke Beijing adalah Camelia Hasibuan, Chusin Setiadikara, Eddy Asmara, Erizal, Gatot Indrajati, Ivan Sagita, Johan Abe, Januri, Joni Ramlan, Made Wianta, Mangu Putra, Nasirun, Nyoman Nuarta, Paramahita Made Gede, Putu Edi Asmara, Sigit Santosa, Ugy Sugiarto, dan Yince Djuwidja.
Kuss Indarto mengatakan, untuk dapat tampil di ajang tersebut, karya ke-17 seniman harus bersaing dengan sedikitnya 7.000 karya seniman lain dari seluruh dunia. Setelah melalui proses seleksi ketat, terpilih 700 karya yang layak ditampilkan, baik berupa lukisan, patung, maupun seni instalasi.
Secara keseluruhan terdapat sekitar 300 seniman dari 103 negara yang menjadi peserta Beijing Biennale 2017. Pameran akan berlangsung dari 24 September hingga 15 Oktober di Museum Nasional Beijing.
Tim kurator pameran tahun ini menyodorkan tema ”Silk Road and World’s Civilization” (Jalur Sutra dan Peradaban Dunia) sebagai tema kuratorial. Setiap seniman yang terlibat dalam pameran ini dibebaskan untuk menafsirkan tema tersebut ke dalam karya seni.
Arus persimpangan
Para seniman Indonesia menerjemahkan tema tersebut ke dalam subtema ”Crossing Current” yang berarti Arus Persimpangan. Pasalnya, para perupa Indonesia menilai bahwa jalur sutra adalah pengalir arus budaya yang memberikan sumbangan khazanah budaya di banyak kawasan Nusantara.
”Tema ini dipilih untuk menampilkan kembali fakta sejarah bahwa wilayah Nusantara menjadi medan penting untuk pelintasan kebudayaan China dan India yang kerap melewati jalur sutra,” ujar Indarto.
Dalam menerjemahkan tema jalur sutra, para seniman menonjolkan semangat akulturasi budaya dalam setiap karya mereka. Erizal, pelukis asal Kota Yogyakarta ini, contohnya, menyiapkan lukisan alat musik tradisional Melayu, rebab, yang kerap dimainkan masyarakat lokal di Riau dan sekitarnya. ”Rebab kini dikenal sebagai alat musik tradisional masyarakat Melayu, padahal rebab berasal dari jazirah Arab dan biasa dimainkan oleh kelompok etnis China saat berdagang ke wilayah Melayu,” kata Erizal.
Sementara itu, pematung Johan Abe menyiapkan patung berjudul ”Kebaya” untuk dipamerkan di Paviliun Indonesia. Patung tersebut menggambarkan sosok perempuan menggunakan kain kebaya yang telah menjadi simbol busana nasional Tanah Air. Jika ditelusuri, kebaya juga lahir akibat akulturasi budaya lokal dengan budaya China.
Hal berbeda ditampilkan pelukis Ivan Sagita melalui lukisan berjudul ”Everybody Has a Silk Road”. Dalam lukisan ini, Ivan menggambarkan enam orang yang berdiri berjejer dan melihat ke satu arah yang sama. Menurut dia, jalur sutra dapat pula diterjemahkan sebagai sebuah perjalanan kehidupan dan pengalaman yang pasti dimiliki oleh setiap manusia.
”Sebagai seniman, kita jangan sampai terjebak dalam memaknai jalur sutra hanya sebagai peristiwa sejarah di mana praktik perdagangan menjadi sebuah ajang pertukaran kebudayaan semata. Semangat jalur sutra juga dapat dimaknai sebagai sebuah pengalaman dan perjalanan hidup,” ujar Ivan.
Ajang Beijing Biennale ini diharapkan dapat dimaksimalkan para seniman yang terlibat untuk mengenalkan karya seni mereka di pasar Asia Timur dan sekitarnya. Pelukis Yince Djuwidja, yang juga anggota Indonesia-China Art Association (ICAA), mengatakan, kolektor seni di China kini mulai gemar mengoleksi karya-karya seniman yang berasal dari luar negeri. ”Seni rupa Indonesia memang dapat dibilang belum tersohor secara global. Salah satu penyebabnya adalah minimnya pameran ke luar negeri yang bisa dimanfaatkan untuk ajang pemasaran,” ujarnya.
(DIM)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.