logo Kompas.id
UtamaSebenarnya Kami Bisa.
Iklan

Sebenarnya Kami Bisa.

Oleh
BRE REDANA
· 4 menit baca

Hari masih pagi dengan sisa dingin dini hari musim kemarau ketika Sarwono berbincang dengan beberapa warga di Kampung Kambangan, Desa Banjarsari, Ciawi, Kabupaten Bogor. Udara cerah, Gunung Gede Pangrango membiru, tapi di sini banyak sampah."Kami bersedia membayar iuran untuk masalah sampah ini asal tidak memberatkan. Kami orang kecil. Kalau disediakan lahan, kami juga sanggup mengelola sampah," ucap seorang warga kepada Sarwono.Sarwono adalah kepala desa setempat. Seperti keprihatinan banyak orang, soal sampah menjadi keprihatinannya. Khusus di Desa Banjarsari, ada bak sampah raksasa di pinggir jalan yang dikenal sebagai Jalan Raya Tapos. Saat pengangkutan telat, sampah luber ke jalan. Jalanan rusak sepanjang belasan kilometer. Kawasan sumber mata air setempat terus merosot kondisinya karena eksploitasi oleh perusahaan air minum kemasan.Padahal, dulu kawasan ini kinclong-kinclong. Jalanan beraspal mulus. Ibaratnya: tak dibiarkan cacat selubang jarum. Sekolah- sekolah menengah negeri terbaik di Kabupaten Bogor berada di sini. Maklum, jalur ini merupakan etalase Presiden Soeharto kala itu yang selalu membawa tamu negara ke peternakan sapi di Tapos. Dengan kondisi amburadul sekarang, sopir angkot atau siapa pun suka bilang: enak zaman dulu.Beternak ikanHanya saja jarum jam tak bisa diputar mundur. Zaman mbahmu telah berlalu. Soal sampah sebagian adalah soal cara hidup. Selama ini banyak yang tak peduli, menganggap sungai adalah tempat pembuangan sampah. Sarwono dan warga daerahnya sekarang sedang berupaya menerjemahkan program Eco Village yang digalakkan di Provinsi Jawa Barat. Di beberapa desa di daerah ini, kalangan penggerak lingkungan mulai akrab dengan kosakata itu. Sarwono ingin mencontoh desa tetangganya, Desa Bendungan di kecamatan yang sama, yang sekitar dua tahun belakangan cukup berhasil mengelola sampah.Lihatlah Kampung Naringgul, Desa Bendungan, Kecamatan Ciawi. Jalanan kampung bersih. Di RT 003 RW 010, sungai mengalir di pinggir jalan. Sungai dikapling-kapling dengan sekat besi, dimanfaatkan untuk beternak ikan. Di setiap kapling berjubel ikan nila dan sejenisnya. Menjelang Ramadhan lalu penduduk menggelar acara makan bersama di tengah jalan kampung yang teraspal rapi. Daun pisang dijajar memanjang untuk menghidangkan nasi liwet dengan lauk utama ikan yang tinggal ambil di sungai.Motor penggerak lingkungan di kampung ini namanya Aedi Yuhri. "Eco Village sebatas mindset, diperlukan eksekusi," kata Aedi yang pernah bekerja di berbagai perusahaan dan kini mendedikasikan hampir semua waktunya untuk membereskan soal sampah. Ketika kampung bersih, orang menjadi segan, bahkan sekadar membuang puntung rokok sembarangan.Ia rangkul semua kalangan di lingkungannya, terutama anak- anak muda, untuk membersihkan sungai. Dengan bersihnya sungai utama di daerah Seuseupan yang bermuara di Ciliwung, sudetan-sudetan sungai, seperti yang mengalir di kampung mereka, dengan sendirinya ikut menjadi bersih.Kali yang bersih kemudian ia sekat-sekat dengan sekat besi seragam sehingga terlihat rapi. Estetika juga penting untuk lingkungan yang sehat, Bung. Di antara sekat-sekat itu orang- orang beternak ikan. Sekarang, satu kapling seluas sekitar 30 meter persegi kalau orang mau menyewa untuk mengelola ikan, nilainya Rp 1,5 juta."Tidak dengan sendirinya kapling kolam yang terdapat di depan rumah seseorang pengelolanya adalah si empunya rumah itu. Untuk menjadi pengelola kapling disyaratkan mereka harus bersedia membersihkan sampah di lingkungannya kapan saja," kata Aedi. Diolah sendiriSelain soal pola pikir seperti disebut Aedi itu, pada tingkat operasional, pengelolaan lingkungan menyangkut sampah tak kalah rumit. Sebelum lingkungan bersih sampai bisa beternak ikan di sungai, Aedi menggalakkan pengelolaan sampah pada rumah tangga masing-masing. Sampah dipisah mana yang bisa diolah sendiri di lingkungan ini dan mana yang tidak.Dengan mesin pengolahan sampah sederhana, Aedi mengolah sampah di tanah kosong di sekitar situ. Ternyata pemilik tanah tidak terima dan menggunakan aparat berseragam untuk menghentikannya. "Orang masih berpikir sampah adalah bau. Mereka tak bersedia ada pengelolaan sampah di sekitarnya, padahal sebenarnya kami bisa," kata Aedi.Kalau dilihat dalam skala lebih luas lagi, volume sampah di Kabupaten Bogor mencapai 2.650 ton per hari. Dari jumlah itu, sekitar 500 ton alias kurang dari seperempatnya bisa terangkut untuk dibawa ke Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Galuga.Sisanya?Di Banjarsari ada beberapa individu yang sehari-hari bergulat dengan sampah-terutama sampah plastik-untuk diolah kembali sehingga punya nilai ekonomi. Royani di desa ini salah satunya. Ia mengumpulkan sampah plastik, memilah-milahnya menjadi satuan-satuan, dan setiap satuan punya harga berbeda. Ia bercita-cita memiliki mesin pres untuk mengembangkan bisnis sampahnya.Kampung dan desa yang diceritakan ini bagian dari kawasan wisata Puncak yang setiap akhir pekan dibanjiri pelancong, terutama dari Jakarta. Pelancong, kalangan menengah kota besar, meninggalkan sampah di mana-mana, bahkan di jalan tol. Mereka tak tahu dan tak peduli bagaimana rakyat biasa tengah bergulat dengan sampah dan berusaha jaga lingkungannya. Terhadap kelas menengah atau siapa saja yang berperilaku serupa itu kadang kita hanya bisa berucap dalam hati: kampret.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000