Mencegah Penyaluran Pekerja Migran Mulai dari Kampung
SECARA resmi, ada 200 keluarga terdata di Desa Duntana, Kecamatan Titehana, Kabupaten Flores Timur. Namun, desa dekat pesisir utara Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, itu tidak ramai lalu lalang orang.
”Lebih dari separuh warga desa ini ada di Malaysia atau di kota-kota lain di Indonesia. Di sini tidak ada kerja, jadi mereka cari di luar daerah,” kata Yohanes Lewonamang Hayong (45), salah satu penduduk Duntana.
Duntana bukan satu-satunya desa di NTT yang penduduknya banyak berada di Malaysia. Di desa-desa lain mudah ditemukan anak-anak yang tinggal bersama kakek-neneknya. Sementara orangtua anak-anak itu sudah bertahun-tahun tinggal dan bekerja di Malaysia. Sebagian dari anak-anak itu akhirnya berangkat menyusul orangtuanya ke Malaysia.
”Banyak di antara mereka ke Malaysia secara ilegal. Hampir setiap bulan saya menemui anak-anak NTT akan diberangkatkan ke Malaysia dengan paspor berisi data palsu. Dalam paspor disebut umurnya sudah lebih dari 18 tahun dan lahir di salah satu daerah di Jawa atau Sumatera. Padahal, anak-anak seumuran pelajar SMA dan baru meninggalkan desa di pedalaman NTT,” kata Chrisanctus Paschalis Saturnus Esong, Ketua Komisi Migran dan Keadilan-Perdamaian Kevikepan Kepulauan Riau.
Kevikepan, satuan administrasi Gereja Katolik Roma di bawah keuskupan, memang bisa membentuk komisi-komisi sesuai dengan kondisi wilayahnya. Di Kepri, salah satu permasalahannya adalah migran sehingga Vikaris Espikopalis, wakil uskup di suatu satuan administrasi gereja, di Kepri membentuk Komisi Migran.
Romo Paschal yang keluarga besarnya berasal dari NTT itu tidak ingin ada anak-anak NTT dan dari provinsi lain jadi korban sindikat pekerja migran ilegal. Setiap kali menemui calon pekerja asal NTT yang diduga masih di bawah umur, ia segera mengontak teman-temannya di gereja-gereja di NTT.
Berbekal informasi di mana calon pekerja itu dibaptis, rekan-rekan Paschal di NTT bisa memeriksa data mereka. ”Banyak yang akhirnya memang terbukti masih di bawah umur. Lebih menyedihkan lagi, banyak yang waktu di kampung tidak tahu mereka akan dibawa ke luar negeri. Tahunya akan bekerja di daerah lain di Indonesia,” ujarnya.
Yohanes mengatakan, memang tidak mudah memutus mata rantai penyaluran pekerja migran dari NTT. Jaringan penyalur menjangkau sampai ke desa-desa. Mereka menjanjikan biaya keberangkatan bisa dicicil dari gaji setelah bekerja di luar NTT. Tawaran itu menggiurkan bagi banyak orang di desa-desa di NTT.
”Banyak orang Flores masih berpikir di sini susah mencari penghasilan. Harus keluar daerah kalau mau dapat uang. Kalau memang betul seperti itu, mengapa banyak orang datang dan buat usaha di Flores? Orang datang dari mana-mana, kerja cari uang di Flores. Tanah ini kaya sekali, tinggal memanfaatkan saja,” kata ayah tiga anak itu.
Lewat Koperasi Senoesa yang dipimpinnya, Yohanes mencoba mendekati warga beberapa desa di Flores Timur dan Sikka untuk mencari penghasilan sekaligus merawat hutan dengan menjadi pemungut madu. Senoesa mengajarkan cara panen dan pengolahan berbeda sehingga pengumpul madu bisa menjual hasil panennya lebih tinggi.
”Dulu mereka jual paling mahal Rp 40.000 per kilogram. Sekarang kami beli sampai Rp 80.000 per botol isi 650 mililiter. Kami bayar lebih tinggi agar jadi insentif untuk mereka. Bisa dapat uang sambil menjaga alam desa dan tidak perlu meninggalkan desa,” katanya.
Istri Yohanes, Hemiliana Nirong Tukan, mengoordinasi perempuan desanya untuk menganyam daun lontar. Hasilnya dijual ke Du’anyam, perusahaan yang menjadi mitra penganyam di 16 desa di Flores Timur.
Perempuan di Flores sudah terbiasa menganyam dan membentuk lontar menjadi aneka benda. Biasanya mereka menganyam untuk mengisi waktu luang. Namun, hasil anyaman itu tidak menghasilkan uang untuk mereka. Setelah Azalea Ayuningtyas dan timnya di Du’anyam datang, mengayam yang tadinya sekedar mengisi waktu luang berubah menjadi tambang uang.
Secara rutin, Du’anyam membeli hasil anyaman para perempuan di 16 desa itu. Hasil penjualan anyaman itu menjadi sumber pendapatan para perempuan di belasan desa tersebut.
”Saya belum berani menyatakan kemitraan ini sukses mencegah perempuan NTT berangkat ke luar negeri. Akan tetapi, kemitraan ini memberikan alternatif sumber penghasilan untuk perempuan di NTT. Ternyata bisa mendapat penghasilan tanpa harus meninggalkan desa dan keluarga,” kata Arina Baroroh, manajer Du’anyam, di Flores Timur.
Selain di Duntana, Du’anyam juga bermitra antara lain dengan perempuan di Desa Ilepadung, Kecamatan Lewo Lema, Flores Timur. Dikoordinasi Susana Beliti Koten, para perempuan desa itu mengubah kebiasaan waktu luang menjadi sumber uang.
Seperti halnya pasangan Yohanes-Hemiliana, suami Susana, yakni Gabriel Belawa Maran, juga menghabiskan belasan tahun hidupnya untuk menyediakan alternatif sumber penghasilan warga-warga di desa. Lewat kacang mete dan kini jati serta mahoni, Gabriel membuat banyak warga Desa Ilepadung dan desa-desa tetangga di Kecamatan Lewo Lema tidak lagi meninggalkan kampung untuk mencari penghasilan.
Gabriel, seperti juga Yohanes, yakin alasan utama orang-orang NTT bekerja di luar negeri adalah karena merasa tidak ada sumber penghasilan di NTT. Karena itu, Gabriel mencoba menawarkan sumber penghasilan bagi orang-orang di desanya.
Melalui Koperasi Puna Liput yang dipimpinnya, Gabriel membeli mete. Awalnya hanya dari petani di Ilepedung. Kemudian, jangkauannya meluas ke desa-desa lain di sekitar Ilepedung.
Dari harga Rp 1.000 per 1 kg pada 1995, kini kacang mete basah sudah berharga Rp 2.500 per 1 kg. Dengan harga melonjak 2.500 persen dalam 22 tahun, semakin banyak warga Desa Ilepedung menjadi petani mete. Mereka mendapat penghasilan lebih baik dengan mengumpulkan kacang mete di kebun masing-masing. Antara Agustus dan November, warga desa itu mengandalkan mete sebagai sumber penghasilan.
Gabriel mengatakan, kini orang yang merantau ke Malaysia bisa dihitung dengan jari satu tangan. Padahal, hingga satu dekade lalu, hampir setiap orang yang masih kuat akan meninggalkan Desa Ilepedung dan menjadi pekerja migran di Malaysia.
Sekarang, warga Ilepedung tidak perlu harus jauh-jauh ke Malaysia untuk mendapat penghasilan. Mereka cukup bekerja kurang dari enam jam sehari untuk memungut kacang mete di kebun masing-masing.