JAKARTA, KOMPAS — Dua lembaga, yakni Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi serta Asosiasi Pedagang Daging Indonesia menggelar survei secara terpisah terkait dengan kondisi usaha peternakan sapi. Bagaimanakah dampak impor daging beku dan sapi bakalan bagi peternak lokal?
Berikut sebagian hasil survei yang dipapar di Jakarta, Selasa (19/9). Secara umum, kebijakan impor dinilai melemahkan usaha peternakan lokal, tecermin dari jumlah kepemilikan, sapi terjual, serta sapi yang dipotong di rumah dan tempat pemotongan hewan.
Kondisi ini dikhawatirkan mengancam keberlanjutan usaha peternakan sapi di dalam negeri. Berdasarkan survei Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), permintaan sapi cenderung turun selama kurun 2014-2016, baik jenis peternak pembibit, penggemukan, maupun pembesaran.
Jumlah sapi terjual turun 7,6 persen hingga 50 persen per tahun. Penurunan permintaan terbesar dialami oleh peternak pembibit.
Survei Pataka digelar di 12 kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung. Empat provinsi ini adalah sentra peternakan sapi di Indonesia.
Survei melibatkan 215 responden, terdiri dari peternak, blantik, jagal, dan pedagang. Menurut Ketua Pataka Yeka H Fatika, selain faktor permintaan, keuntungan peternak jadi tidak optimal karena sejumlah komponen produksi terus naik, terutama biaya pakan, tenaga kerja, dan obat.
Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) Asnawi menambahkan, berdasarkan survei APDI terhadap 400 pedagang serta 13 rumah dan tempat pemotongan hewan (RPH/TPH) di Jabodetabek, volume pemotongan sapi turun 47 persen selama kurun Januari-Mei 2017. Jumlah hewan yang dipotong pada hari raya Idul Adha 1438 Hijriah, awal September 2017, bahkan 51 persen dari tahun lalu.
Selain menekan volume pemotongan di RPH/TPH, impor daging beku kerbau melahirkan perburuan rente secara tidak fair di pasar. Asnawi mencontohkan, sebagian pedagang sengaja tidak memberi tahu pembeli bahwa daging yang dia jual adalah daging kerbau. ”Karakter daging hampir sama. Sulit dibedakan oleh awam. Sebagian pedagang tidak jujur dan menjual daging kerbau impor dengan harga daging sapi,” ujarnya.
Sebanyak 17,6 persen pedagang mengaku tidak memberi tahu konsumen tentang jenis daging yang dia jual. Lebih dari separuh dari 34 pedagang menjual dengan cara mencampur daging sapi dan daging kerbau impor.
Keberadaan daging kerbau beku impor juga tidak menekan harga. Dari survei APDI, rata-rata harga daging sapi justru naik dari Rp 115.765 per kilogram sebulan sebelum survei menjadi Rp 121.558 per kg saat survei pada 15-22 Juni 2017, demikian harga daging kerbau yang naik dari Rp 82.476 per kg menjadi Rp 85.348 per kg.
Rochadi Tawaf dari Lembaga Studi Pembangunan Peternakan Indonesia menambahkan, kebijakan terkait dengan peternakan semestinya berorientasi pada tiga hal, yakni ketersediaan atau peningkatan produksi dalam negeri, mendukung keberlanjutan usaha, sekaligus menguntungkan peternak. Sayangnya, dampak impor justru melemahkan peternakan lokal sekaligus menutup peluang lapangan kerja dan dampak bagi 120 sektor terkait dengan peternakan dari hulu ke hilir.
Pemerintah mengimpor daging untuk menutup kekurangan yang tidak bisa dipenuhi oleh peternak sapi lokal. Kebutuhan daging untuk konsumsi mencapai 604.000 ton setahun. Sementara yang bisa dipenuhi peternak lokal baru 354.700 ton.