Uang ”Ora” Mengalir ke ”Kuta”
SETELAH merekam beberapa gambar, Charlotte duduk dan kembali memandang ke bawah. Obyek pandangnya adalah bentangan sawah laba-laba yang sohor di Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Disebut sawah laba-laba karena petak-petak sawah dibuat menyerupai sarang laba-laba, makin ke tengah makin kecil bidang sawahnya. ”Kami naik sepeda motor dari Labuan Bajo (Manggarai Barat) ke sini,” kata warga Utrecht, Belanda, itu.
Di Labuan Bajo, mereka tentu saja melihat komodo atau ora dalam bahasa Manggarai. Mereka juga menyelam di perairan sekitar Labuan Bajo.
”Banyak sekali yang bisa dilakukan di Flores. Susahnya ke sini sebanding dengan pemandangan bagus,” ujar Charlotte, Minggu (6/8).
Persoalan akses memang menjadi salah satu masalah pariwisata Flores. Meski punya banyak pilihan pelesir, jumlah pelancong yang berkunjung ke Flores belum sebanyak ke Batam, apalagi Bali yang sudah menembus lebih dari 1 juta pelancong per tahun.
Meski terus meningkat, Flores masih butuh waktu lama untuk mendongkrak angka dan lama tinggal pelancong gara-gara keterbatasan akses itu. ”Saya tidak bisa terbang dari Singapura ke Flores. Harus turun di Jakarta atau Bali, baru melanjutkan penerbangan ke Flores,” lanjut Charlotte.
Setiba di Flores, Charlotte masih harus memikirkan angkutan. Belum tersedia angkutan nyaman ke tempat-tempat wisata. Padahal, pelancong yang tidak ikut rombongan amat membutuhkan angkutan umum yang nyaman dan aman.
”Kami akhirnya sewa sepeda motor,” kata Charlotte.
Meski sudah punya sepeda motor, masalahnya belum selesai. Sebab, jalan ke beberapa tempat wisata rusak. Akses ke Desa Wisata Wae Rebo dan gugusan pulau-pulau di Riung yang sohor saja sudah bertahun-tahun rusak.
Tempat wisata yang belum banyak dikenal, seperti pesisir selatan Manggarai dan pesisir utara Flores Timur, lebih sial lagi akibat jalan rusak. Hanya pelancong tersasar yang bisa menemukan tempat-tempat wisata itu.
Tantangan lain yang kerap ditemui pelancong adalah keterbatasan penginapan. Antara Juni dan September, pelancong kerap kesulitan mendapat kamar. Hal itu, antara lain, dialami wisatawan Spanyol, Leandro van Hoop, di Bajawa, Ngada.
Sudah tiga tempat penginapan ia datangi di Bajawa pada Jumat (4/8) sore, semuanya penuh pelancong dari sejumlah negara. Di Hotel Korina, Leandro akhirnya mendapat satu kamar yang bisa diinapi sampai tiga orang. Ia segera membayar biaya sewa kamar itu.
”Kami sudah coba pesan lewat internet, semua bilang tidak ada kamar. Makanya kami harus keliling cari kamar,” ujar Leandro dalam bahasa Inggris dengan logat Spanyol.
Di Labuan Bajo, salah satu alternatif penginapan adalah perahu-perahu barang yang diubah menjadi kapal penumpang dilengkapi kamar-kamar. Peminat perahu dengan biaya sewa rata-rata Rp 35 juta untuk tiga hari pelayaran itu memang selalu ada. Rute pelayaran mereka adalah Labuan Bajo-Pulau Rinca-Pulau Komodo.
Perahu jenis itu semakin bertambah di perairan Labuan Bajo. Pada 7 Agustus 2017, hanya ada tiga perahu barang yang buang sauh di Pelabuhan Labuan Bajo. Sementara lebih dari 40 perahu yang sudah menjadi hotel terapung buang sauh di kolam pelabuhan.
”Jumlahnya terus bertambah setiap bulan,” ucap Fredrick Djunnia, penyelia PT Angkutan Sungai Danau dan Perairan, yang setiap hari bertugas di pelabuhan penyeberangan Labuan Bajo.
Seorang pemandu wisata di Manggarai, Rofinus Ndao, mengatakan, hampir seluruh urusan sewa perahu-perahu itu diselesaikan di luar Manggarai. Sebagian operator perahu ada di Bali, sebagian lagi ada di luar negeri.
”Sampai Labuan Bajo, mereka tinggal naik. Soal bayar, semua masuk ke Bali,” kata Rofinus.
Bali tidak hanya menerima uang sewa kapal yang berubah menjadi penginapan terapung itu. Bali juga menerima banyak pemasukan dari penjualan paket perjalanan ke Flores. Biasanya, paket perjalanan digabung antara Bali dan Flores.
Agen pemasar paket wisata itu tidak hanya berkantor di Bali atau provinsi lain di Indonesia. Ada pula agen yang berkantor di luar negeri, seperti yang menjadi mitra Michael Tallo. Setelah sepekan di Bali, Michael akhirnya terbang ke Pulau Flores. Di pulau itu, Michael menemani 18 warga Belanda pelesir keliling pulau selama 10 hari, hingga 11 Agustus 2017.
”Mereka beli paket dari agen di Thailand. Dari Thailand, mereka ke Indonesia, jalan-jalan di Bali dulu. Saya temani sejak dari Bali sampai nanti keluar Flores,” ujar pria asal Ende, NTT, yang sudah 12 tahun menemani banyak pelancong ke Flores itu.
Selama di Flores, Michael menemani ke-18 orang itu menjelajah ujung timur terlebih dahulu. Dari Larantuka di Flores Timur, rombongan itu bergerak ke barat, sampai akhirnya tiba di Labuan Bajo. Paket wisata yang dijual agen Thailand itu tentu saja memasarkan aneka keindahan Flores.
Rofinus menyebutkan, sebenarnya dirinya ingin bekerja untuk agen perjalanan di Flores. Bagaimanapun, agen-agen itu memasarkan aneka potensi wisata Flores. ”Sampai sekarang, belum ada agen di Flores yang mampu menarik tamu banyak dan rutin. Kantor-kantor tur di sini hanya kepanjangan tangan dari agen-agen di Bali atau tempat lain,” tuturnya.
Rofinus mengaku tidak tahu mengapa belum ada agen perjalanan memadai di Flores. Padahal, pulau itu punya tujuan wisata unik. Selama puluhan tahun, danau-danau di puncak Kelimutu, Ende, sudah menjadi magnet pelancong dari sejumlah negara.
Beberapa tahun belakangan, turis berduyun-duyun ke Pulau Rinca dan Pulau Komodo. Mereka ingin melihat hewan purba yang hanya ada di pulau itu, komodo atau ora dalam bahasa Manggarai. Para pelancong itu tentu saja menghabiskan banyak uang untuk melihat ora. Sayangnya, uang mengalir ke Kuta di Bali, bukan berputar di Flores.