Raksasa Berkaki Lempung
NYARIS satu dari empat penduduk Indonesia menghabiskan waktunya lebih dari enam jam sehari untuk duduk-duduk saja—di tempat kerja, dalam perjalanan, dan di rumah. Bahkan persentase perilaku santai itu paling tinggi di kelompok usia 10-19 tahun. Sementara itu, kurang dari sepertiga penduduk yang berolahraga.
Jangan dulu bicara prestasi olahraga tingkat Asia Tenggara dalam situasi seperti ini. Khawatirlah dengan daya saing dan produktivitas kita sebagai bangsa.
Pada Olimpiade Melbourne 1956, untuk pertama kali dalam 44 tahun dan sejak Olimpiade Stockholm 1912, Amerika Serikat gagal menjadi yang terbaik. Tahun itu, AS yang mengantongi 32 medali emas, 25 perak, dan 17 perunggu digeser ke posisi kedua oleh musuh barunya dalam era Perang Dingin, Uni Soviet. Negeri beruang merah yang menjadi lawan AS dalam segala bidang itu—terutama dalam lomba mengukuhkan pengaruh politik sebanyak mungkin di muka bumi—menjadi juara dengan 37 emas, 29 perak, 32 perunggu.
Sebelumnya, dalam delapan perhelatan Olimpiade, AS selalu yang terdepan. Di ajang Berlin 1936 memang AS hanya finis di urutan kedua (24 emas, 21 perak, 12 emas) di belakang tuan rumah (38-31-32). Namun, kompetisi keras tahun itu bisalah dimaklumi dengan begitu fanatiknya Kanselir Jerman Adolf Hitler dalam memastikan Jerman adalah ueber alles, di atas semuanya.
Pada Stockholm 1912, AS juga cuma di peringkat kedua, di bawah tuan rumah. Namun, saat itu, pemeringkatan Olimpiade dihitung berdasarkan total medali yang diraih. Maka, meski emas AS lebih banyak (26, dengan 19 perak dan 19 perunggu) dibandingkan Swedia (24-24-17), AS tetap diletakkan sebagai runner-up.
Hasil akhir di Melbourne yang menyudahi dominasi negeri pemenang Perang Dunia II itu tidaklah menggusarkan pemerintahan AS. Presiden AS yang pahlawan perang, Jenderal Dwight D Eisenhower, beberapa hari sebelum Olimpiade 1956 dibuka, sudah mengungkapkan keprihatinannya atas penurunan tingkat kebugaran anak-anak Amerika (Thomas M Hunt, ”American Sport Policy and the Cultural Cold War” dalam Journal of Sport History Volume 33, 2006).
Maka, ketika AS ”kalah” di Melbourne, bukan evaluasi hasil Olimpiade dan bagaimana kembali menjadi juara yang dibahas oleh Eisenhower dengan para anggota kabinetnya. Mereka melihat ancaman yang jauh lebih serius lewat penurunan tingkat kebugaran anak-anak muda Amerika itu. Pasalnya, hal itu berkonsekuensi pula pada buruknya tingkat kebugaran para calon tentara. Dan kondisi calon tentara yang lebih loyo itu pun sudah menjadi kenyataan.
Dalam suasana Perang Dingin, tentara yang dahsyat adalah keharusan bagi AS. Apalagi, saat itu, suhu Perang Dingin makin hangat. Hanya tiga tahun berselang, 1953, Uni Soviet sang musuh utama telah berhasil mengujicobakan bom hidrogennya yang pertama. Bom tersebut sudah berkekuatan 10 kali lebih dahsyat dibanding bom atom Uni Soviet sebelumnya.
Kekhawatiran atas dampak penurunan kebugaran pemuda AS juga hadir pada sektor lain dalam zaman ”peperangan nirtembakan meski senjata terkokang” itu. Masyarakat yang tidak bugar akan menaikkan biaya pengobatan. Selain itu, produktivitas ekonomi dan industri bakal sulit digenjot dengan kondisi masyarakat (para pekerja, langsung dan tak langsung) yang tidak bugar.
Ingatlah, kebugaran adalah sebuah kondisi di mana seseorang dapat mengerjakan sebuah aktivitas dengan konsentrasi yang baik dalam waktu tertentu tanpa rasa lelah. Semakin bugar, semakin lama pula seseorang dapat mengerjakan sebuah aktivitas, dengan intensitas yang semakin berat pula.
Oleh karena itu, kebugaran berkorelasi pula dengan tekad AS untuk memperkokoh posisinya sebagai kekuatan teratas ekonomi dunia. Terkait hal ini, majalah Sports Illustrated edisi 15 Agustus 1955 menuliskan betapa Eisenhower ”terpukul” saat mengetahui sebuah studi tahun 1953 yang menunjukkan, tingkat kebugaran dan kelenturan anak-anak di Eropa—kawasan yang menjadi pesaing potensial AS sebagai kekuatan ekonomi—jauh lebih baik dibandingkan AS. ”(Masalah) Kebugaran anak-anak muda kita adalah persoalan dalam negeri kita dan persoalan masyarakat kita,” ujar Eisenhower.
Maka, olahraga menjadi bagian dari politik yang penting dalam pemerintahan Eisenhower. Badan Kebugaran yang bertanggung jawab langsung kepada presiden dibentuk. Badan itu mengoordinasikan segala bentuk perbaikan perangkat keras dan lunak, fasilitas olahraga di sekolah, kampus, dan kota diperbaiki, riset keolahragaan ditingkatkan, dana digelontorkan, berbagai insentif diberikan.
Pada masa pemerintahan Lyndon B Johnson sekian tahun kemudian, AS mempertajam implementasi politik olahraganya dengan menyatukan dua badan olahraga amatir, Amateur Athletic Union (AAU) dan National Collegiate Athletic Association (NCAA). Penyatuan itu menjadi dasar bagi kian terarah dan seiringnya prestasi olahraga dengan prestasi akademis para olahragawan pelajar—ini setidaknya berdampak pada pemenuhan satu dari tujuh syarat tercapainya prestasi, yaitu jika olahragawan yakin memiliki masa depan yang baik.
Kembali ke era Eisenhower, peningkatan kebugaran seluruh masyarakat menjadi sasaran puncak (central goal) pemerintah federal AS, bukan kemenangan di Olimpiade Roma 1960. ”Mungkin, kami mempertimbangkan untuk Olimpiade mendatang temanya bukanlah menang di Roma seperti kemenangan (olahraga) kita di negeri sendiri,” ujar Direktur Eksekutif Dewan Kebugaran Pemuda AS zaman pemerintahan Eisenhower, Shane MacCarthy, seperti dikutip dalam Journal of Sport History Volume 33.
Namun, memperbaiki kebugaran lewat olahraga di masyarakat secara luas juga berarti memperkokoh fondasi olahraga prestasi sebuah negara. Potensi olahraga prestasi akan muncul dengan sendirinya dalam jumlah yang amat memadai. MacCarthy sadar betul akan hal itu. ”Jika kita sukses membawa masyarakat kita ’bangun dari bangku mereka untuk berdiri di atas kaki mereka’, kemenangan di gelanggang olahraga internasional pasti akan menyusul,” ujarnya.
MacCarthy benar. Hanya saja, ”musuh” yang menjadi lawan AS adalah Uni Soviet, negeri yang juga punya kesadaran besar—dan jauh lebih dulu—akan penting dan utamanya politik olahraga.
Berkaki lempung
Sebelum revolusi yang dipimpin Vladimir Lenin menyingkirkan pemerintahan otokrasi tsar Rusia, negeri itu sudahlah besar dari segi luas wilayah dan jumlah penduduk. Namun, output industri Kekaisaran Rusia hanya seperdelapan dari AS, tiga setengah kali lebih kecil dibandingkan Jeman, tiga kali lebih sedikit dibandingkan Inggris, dan satu setengah kali lebih rendah dari Perancis. Rusia yang jauh lebih superior dalam hal luas wilayah, sumber daya alam, dan jumlah penduduk pun saat itu mendapat julukan Raksasa Berkaki Lempung, giant with feet of clay (Soviet Sport, The Success Story; 1987).
Lenin dengan partai komunisnya yang amat menggantungkan diri pada kekuatan massa buruh melihat betapa rendahnya tingkat kesehatan rakyat jelata. Olahraga dipandang sebagai cara yang paling mudah, relatif murah, dan massal untuk memperbaiki kesehatan, meningkatkan kebugaran, sekaligus produktivitas rakyat—kaum buruh.
Maka, dalam waktu singkat, olahraga yang sebelumnya merupakan aktivitas eksklusif kaum ningrat dan kaya menjadi program utama rezim baru. Berbagai fasilitas olahraga dibangun di banyak kota di seluruh negeri. Pendidikan jasmani menjadi mata pelajaran wajib yang menentukan di sekolah-sekolah. Riset terkait keolahragaan dikembangkan—belasan tahun kemudian, Uni Soviet sudah memiliki 130 institut yang khusus meneliti dan mengembangkan bidang-bidang terkait olahraga.
Begitu pentingnya olahraga untuk ketahanan sebuah negeri baru bernama Uni Soviet, kaum Bolshevik menyebutnya sebagai budaya jasmani, physical culture, bukan olahraga. Politik olahraga untuk keberlangsungan negara yang bersumber dari tingkatan puncak pemerintahan itu juga memetik hasil heroiknya dalam Perang Dunia II.
Saat itu, buruh dan masyarakat sosial rendah, kaum proletar, telah sangat siap direkrut dan dikerahkan sebagai prajurit dalam menghadapi invasi Jerman Nazi. Salah satu kisah patriotis ada pada pasukan gunung yang para prajuritnya sebelum perang telah digembleng lewat program keolahragaan rezim Uni Soviet. Pada 1942, mereka berhasil menyelamatkan 230 anak-anak yang hendak dieksekusi Nazi, lalu membawa para sandera itu menyeberang batas wilayah musuh, melipir melewati celah Gunung Becho di Pegunungan Kaukasus yang suhunya membekukan dengan angin dingin yang meremukkan tulang.
Kesemuanya, prajurit dan anak-anak, selamat. Bagi Uni Soviet, itu adalah bukti betapa kebugaran fisik yang ditempa lewat olahraga membuat negara dapat tegar bertahan dan menang atas lawan. Pelajaran Perang Dunia II itu mendapatkan pembenarannya ketika Uni Soviet memasuki era Perang Dingin.
Olahraga untuk kebugaran tidak hanya menjadi jaminan bahwa masyarakat sosialis mampu menghasilkan produk industri yang mengalahkan negara-negara Barat (yang tak dialami Rusia pada era tsar). Olahraga juga menjadi sarana untuk memastikan Uni Soviet menang jika perang pecah melawan AS dan sekutunya. Uni Soviet sadar, teknologi militer mereka terus-menerus tertinggal dibandingkan AS.
Maka, kemenangan dalam perang dapat diraih dan ketertinggalan dalam teknologi senjata dapat ditutupi lewat kuantitas. Pertama adalah kuantitas alat utama sistem senjata, kedua adalah lewat perang rakyat semesta. Namun, perang dengan memobilisasi pasukan dalam jumlah amat besar itu tak akan ada gunanya jika para prajurit mereka loyo.
Seperti yang diyakini MacCarthy di AS, Uni Soviet juga kemudian menuai hasil dari politik olahraganya—yang untuk kepentingan negara dalam arti politik, ekonomi, dan militer—di sektor olahraga prestasi. Selama 35 tahun sejak Revolusi 1917, rezim komunis Uni Soviet memang mengisolasi diri dari kompetisi olahraga internasional. Kompetisi olahraga dinilai sebagai produk kapitalisme sehingga olahraga di negeri sosialis itu lebih ditekankan semata untuk meningkatkan kebugaran, kesehatan, dan kerja sama.
Maka, aktivitas, pendidikan, pelatihan, dan riset olahraga Uni Soviet ketika itu lebih bertumpu pada cabang-cabang olahraga nonpertandingan, seperti senam, atletik, renang, anggar, dan angkat besi. Namun, Perang Dingin membuka wilayah pertempuran yang baru: pertempuran pengaruh ekonomi, politik, juga budaya, termasuk olahraga.
Ketika Uni Soviet memutuskan ikut Olimpiade untuk pertama kali di Helsinki 1952 dan di ajang-ajang berikutnya, mereka telah punya fondasi yang kuat. Klub olahraga dan orang yang berpartisipasi dalam olahraga begitu banyak. Hingga medio 1980-an, misalnya, rezim Uni Soviet mengklaim memiliki hampir 260.000 kelompok dan klub olahraga yang beranggotakan 90 juta orang, dengan 350.000 tenaga olahraga (pelatih, guru pendidikan jasmani, peneliti, dan sebagainya).
Dalam ajang perdananya di Helsinki, Uni Soviet mengakhiri Olimpiade sebagai peringkat kedua, di bawah Amerika Serikat. Setelah itu, Uni Soviet menjadi langganan juara. Prestasi itu tak pernah dicapai di era otokrasi tsar sebelum 1917. Di Olimpiade London 1908, misalnya, Rusia berada di peringkat ke-15 dengan 1 emas dan 2 perak. Di Stockholm 1912 juga di urutan ke-15, tetapi tanpa emas (2 perak, 3 perunggu). Rusia bahkan berada di belakang negara-negara Eropa yang jauh lebih kecil, seperti Denmark dan Belgia.
Bukan untuk medali
Bagaimana dengan Indonesia? Pasca-”kegagalan” Indonesia di SEA Games Kuala Lumpur akhir Agustus lalu, banyak pihak terenyak. Indonesia menghasilkan hanya 38 emas, jauh di bawah target 55 keping. Jumlah kepingan emas itu juga yang paling sedikit sepanjang partisipasi negeri ini di pekan olahraga Asia Tenggara.
Para pengamat meradang, media-media massa mengkritik, dan pemerintah berjanji menggelar evaluasi menyeluruh dan ”besar-besaran”. Namun, tampaknya, semua itu hanya mengerucut pada janji kesiapan Indonesia di ajang olahraga prestasi tahun depan, Asian Games 2018, yang akan digelar di Jakarta dan Palembang.
Berkaca pada sejarah AS dan Uni Soviet, seyogianya tumbuh sebuah politik olahraga nasional yang bukan untuk keping-keping medali. Namun, politik olahraga dengan tujuan peningkatan kesejahteraan dan kekuatan Indonesia sebagai negara dan bangsa.
Marilah menengok laporan Riset Kesehatan Dasar 2013 yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan. Agaknya, belum ada lagi hasil yang lebih dalam dan menyeluruh mengingat riset tersebut baru akan kembali dilaksanakan tahun depan.
Dalam riset 2013, ditemukan bahwa perilaku sedentari masyarakat Indonesia masih sangat besar. Gaya hidup sedentari adalah perilaku santai, antara lain duduk, berbaring, dan lain sebagainya, dalam keseharian. Perilaku itu berlangsung di tempat kerja (semisal duduk bekerja di kursi depan komputer, membaca), di rumah (menonton televisi, bermain gim), dan di perjalanan (duduk atau duduk tertidur di kendaraan). Waktu tidur tidak termasuk perilaku sedentari.
Dalam riset tersebut diketahui, hampir separuh penduduk Indonesia berusia 10 tahun ke atas menjalankan aktivitas sedentari selama 3 hingga 5,9 jam sehari (42 persen). Adapun yang berperilaku sedentari enam jam atau lebih sehari sebanyak 24,1 persen atau hampir 1 dari 4 penduduk.
Padahal, dalam laporan riset tersebut diterangkan, perilaku sedentari merupakan perilaku yang berisiko terhadap terjadinya penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung, dan bahkan memengaruhi usia harapan hidup. Adapun penelitian di AS tentang perilaku sedentari menunjukkan, pengurangan perilaku sedentari dengan kurang dari tiga jam per hari dapat meningkatkan harapan hidup hingga dua tahun.
Yang memprihatinkan, persentase gaya hidup sedentari tiga jam atau lebih per hari justru lebih tinggi pada anak-anak usia 10 tahun hingga 19 tahun. Padahal, dalam usia tersebutlah seseorang diharapkan mengasah keterampilan motoriknya, membentuk fondasi kebugarannya, agar kelak menjadi individu-individu dengan kesehatan prima, mampu bekerja dan berpikir untuk jangka waktu yang lama tanpa cepat lelah, dan tidak mudah sakit. Singkat kata, di usia itulah seseorang ditempa untuk menjadi manusia produktif, berkualitas.
Sekitar 11 tahun silam, ilmuwan olahraga Toho Cholik Mutohir dan Ali Maksum mengungkapkan tingkat kebugaran masyarakat Indonesia yang masih memprihatinkan. Lewat buku Sport Development Index, keduanya menunjukkan bahwa 81,3 persen masyarakat Indonesia berada dalam kondisi kurang bugar dan kebugarannya kurang sekali.
Agaknya 11 tahun berlalu dan pekerjaan besar dan berat untuk meningkatkan kebugaran itu masih harus dilakukan. Bertemu dalam diskusi olahraga nasional di Universitas Negeri Jakarta, beberapa waktu lalu, Sekretaris Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga Aris Subiyono mengutarakan, saat ini, baru sekitar 30 persen penduduk berusia 10 tahun ke atas yang aktif berolahraga. Diakui, meningkatkan persentase itu menjadi 35 persen pada 2019 sesuai target pemerintah bukanlah pekerjaan yang mudah.
Dengan fakta-fakta seperti itu, seyogianya kita belajar dari AS yang kapitalis, juga Uni Soviet (Rusia tempo dulu) yang sosialis. Pemerintah Indonesia seyogianya punya politik olahraga yang kuat dan dilaksanakan dengan penuh komitmen hingga ke lapisan masyarakat terbawah. Kita perlu politik olahraga bukan untuk meningkatkan olahraga prestasi agar tidak membuat kita tersipu malu di Asian Games atau SEA Games.
Lebih dari itu, seperti dua negara maju tersebut—dan negara-negara maju lainnya—kita perlu olahraga sebagai fondasi kuat untuk membentuk masyarakat yang sehat, bugar, sehingga memiliki modal yang kokoh untuk berkualitas dan produktif. Kembali pada pengalaman AS dan Uni Soviet (kini diwariskan ke Rusia), olahraga prestasi mereka unggul bukan karena didahului oleh tingkat kesehatan dan kebugaran yang baik di negeri itu. Sebaliknya, olahragalah yang membuat tingkat kesehatan dan kebugaran di AS dan Rusia sangat bagus, yang salah satu hilirnya bermuara pada olahraga prestasi yang dahsyat.
Di sektor kesehatan, Indonesia kini masih dipusingkan dengan dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang tekor. Tahun lalu, penerimaan iuran BPJS Kesehatan sebesar Rp 67,7 triliun. Adapun biaya manfaat yang dikeluarkan Rp 67,2 triliun. Tahun ini, BPJS Kesehatan menargetkan peningkatan penerimaan iuran menjadi 85,6 triliun dari sekitar 201 juta peserta. Target itu lebih rendah dibandingkan proyeksi biaya manfaat yang dikeluarkan, yakni Rp 87,2 triliun (Kompas, 26 Januari 2017).
Upaya untuk memperluas subyek iuran dari penduduk Indonesia yang sekitar 260 juta jiwa agaknya tidak akan menolong jika manfaat yang dikeluarkan (baca: jumlah orang yang sakit dan atau berulang kali sakit) juga tetap besar. Adalah penting untuk menekan jumlah kasus orang berobat dengan meningkatkan kesehatan dan kebugaran masyarakat. Oleh karena itu, olahraga dengan tujuan besar seperti di AS dan Rusia (Uni Soviet) tempo dulu menjadi salah satu jalan keluar strategis dan penting.
Tentu saja, kini kita tidak lagi berada dalam suasana Perang Dingin yang genting seperti yang dialami AS dan Uni Soviet. Namun, kompetisi untuk menjadi negara unggul secara kesejahteraan ekonomi, kualitas sumber daya manusia, inovasi, pertahanan, sudah sangat sengit di era globalisasi sekarang.
Pembangunan infrastruktur yang kian digalakkan pemerintah seyogianya disertai dengan pembangunan kualitas kebugaran masyarakat dan generasi muda. Dengan demikian, di masa depan, semakin banyak masyarakat usia produktif kita yang bugar berkualitas sehingga mampu memanfaatkan infrastruktur yang kian baik tersebut.
Alangkah sayang jika SDM negeri lain karena keunggulan kualitas mereka—dan kemudahan berusaha, konsekuensi dari globalisasi—yang justru lebih bisa memanfaatkan kemajuan pembangunan di Indonesia.
Beberapa hari setelah pulang dari Kuala Lumpur, kota ajang SEA Games 2017, awal September lalu, Ketua Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas yang merupakan ”komandan” program pemusatan latihan olahraga prestasi nasional, Achmad Sutjipto, mempresentasikan hasil kontingen Indonesia di hadapan para wartawan di Gedung Dewan Pers, Jakarta. Di pengujung pertemuan, Pak Tjip (demikian dia akrab disapa) yang mantan Kepala Staf TNI AL itu berkata lirih, ”Olahraga itu strategic investment, bukan spending.”
Olahraga prestasi perlu. Namun, menumbuhkan olahraga lewat politik olahraga yang kuat demi kemajuan negeri ini dan kesejahteraan masyarakatnya adalah investasi strategis. Indonesia negeri yang besar, dengan wilayah yang luas, sumber daya alam yang kaya, dan penduduk yang banyak. Kita tidak boleh menjadi raksasa berkaki lempung.