Alami Krisis Terburuk dalam Sejarah, Warga Rohingya Terancam Terusir Sepenuhnya dari Myanmar
Krisis terburuk dialami warga Rohingya. Ratusan ribu warga etnis itu meninggalkan Rakhine, Myanmar. Mereka terancam terusir sepenuhnya.
Selama beberapa generasi, etnis Rohingya menyebut Myanmar sebagai rumah mereka. Sekarang, setelah pengungsian besar-besaran warga Rohingya ke arah perbatasan Banglades, dan peristiwa ini disebut sebagai pembersihan etnis secara sistematis, kelompok etnis minoritas Rohingya sepertinya akan terhapus dari peta dunia.
Setelah serangkaian serangan oleh gerilyawan atau tentara pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) pada bulan lalu, pasukan keamanan Myanmar membalas dengan melakukan ”pembersihan”, membakar ribuan rumah warga Rohingya di negara yang berpenduduk mayoritas beragama Buddha tersebut.
Lebih dari 500.000 warga Rohingya, sekitar setengah dari populasi etnis Rohingya, telah mengungsi ke negara tetangga, Banglades, dalam satu tahun terakhir. Eksodus terbanyak terjadi dalam tiga minggu terakhir setelah pasukan Myanmar menyerang Negara Bagian Rakhine, tempat sebagian besar warga Rohingya tinggal.
Warga pergi meninggalkan desa-desa mereka di Rakhine, sebagian dengan perahu kayu, ke kamp pengungsian di Banglades. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyebut apa yang dialami warga Rohingya itu sebagai ”pembersihan etnis”.
Meskipun ada jaminan keamanan dan keselamatan dari pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi pada Selasa (19/9), hanya sedikit pihak yang percaya bahwa warga Rohingya akan disambut kembali di Rakhine. ”Ini adalah krisis terburuk dalam sejarah Rohingya,” kata Chris Lewa, pendiri Proyek Arakan, yang bekerja untuk memperbaiki kondisi etnis minoritas.
”Pasukan keamanan telah membakar desa satu demi satu, dengan cara yang sangat sistematis, dan aksi itu masih berlangsung,” katanya.
Mendokumentasikan
Dengan menggunakan jaringan pengawas, Lewa dan lembaganya secara teliti mendokumentasikan desa-desa yang terbakar sebagian atau keseluruhan di tiga kota kecil di Negara Bagian Rakhine utara, tempat 1,1 juta warga Rohingya pernah bermukim.
Hal itu merupakan tugas berat karena ada ratusan desa dan informasi hampir tak mungkin diverifikasi. Tentara Myanmar telah memblokade akses ke area tersebut.
Citra satelit yang ditunjukkan oleh Human Rights Watch pada Selasa memperlihatkan petak-petak besar dari lanskap yang hangus dan penghancuran 214 desa.
Proyek Arakan menemukan bahwa hampir semua desa di kota Maungdaw telah terbakar dan di wilayah Maungdaw hampir semua wilayah ditinggalkan oleh warga Rohingya.
Dari 21 desa Rohingya di Rathedaung di wilayah utara, hanya lima desa yang selamat dari serangan. Tiga kamp untuk warga Rohingya yang mengungsi saat kerusuhan komunal lima tahun lalu
Buthidaung hingga ke timur sejauh ini telah terhindar dari serangan. Wilayah ini adalah satu-satunya perkampungan tempat operasi keamanan tampak dilakukan terbatas pada daerah terjadinya serangan militan Rohingya.
Rohingya memiliki persoalan dan sejarah di Myanmar. Meskipun etnis Rohingya pertama kali datang sejak beberapa generasi yang lalu, warga Rohingya terpaksa menanggalkan kewarganegaraan mereka pada 1982.
Pemerintah Myanmar pun tidak mengakui warga Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Mereka tidak bisa bepergian dengan bebas, melaksanakan ibadah, atau bekerja sebagai guru atau dokter. Mereka hanya memiliki sedikit akses terhadap perawatan medis, makanan, atau pendidikan.
Paling teraniaya
PBB telah menyebut etnis Rohingya sebagai salah satu etnis minoritas yang paling teraniaya di dunia. Namun, jika bukan karena keselamatan mereka terancam, banyak warga Rohingya yang lebih suka tinggal di Myanmar daripada dipaksa ke negara lain yang tidak menginginkan mereka.
”Sekarang kita bahkan tidak bisa membeli plastik untuk dijadikan tempat berlindung,” kata Kefayet Ullah (32) dari kamp di Banglades, tempat dia dan keluarganya berupaya bertahan dari hari ke hari. Di Rakhine, mereka memiliki lahan pertanian dan sebuah toko kecil. Sekarang mereka tidak punya apa-apa.
”Hati kami menangisi rumah kami,” kata Kefayet Ullah. Air mata mengalir di wajahnya. ”Bahkan ayah dari kakek saya lahir di Myanmar,” katanya.
Kali ini bukan pertama kalinya warga Rohingya terpaksa mengungsi secara massal. Ratusan ribu orang meninggalkan Myanmar pada 1978 dan kejadian terulang lagi pada awal 1990-an. Mereka mengungsi dari penindasan militer dan Pemerintah Myanmar meskipun kebijakan baru kemudian diberlakukan dan memungkinkan banyak warga Rohingya kembali ke Myanmar.
Kekerasan komunal terjadi pada 2012 saat Myanmar sedang dalam masa transisi dari setengah abad kekuasaan rezim diktator menuju demokrasi. Kerusuhan tersebut mengakibatkan 100.000 warga Rohingya kembali mengungsi dengan menggunakan perahu. Sekitar 120.000 warga Rohingya masih terjebak di kamp-kamp di luar ibu kota Rakhine, Sittwe.
Namun, kala itu, tidak ada eksodus yang begitu besar dan cepat seperti yang terjadi sekarang ini.Tindakan keras militer tersebut dilakukan sebagai pembalasan atas serangkaian serangan terkoordinasi oleh militan Rohingya yang dipimpin Attaullah Abu Ammar Jununi, yang lahir di Pakistan dan dibesarkan di Arab Saudi.
Oktober tahun lalu, militan menyerang kantor polisi, menewaskan beberapa petugas dan memicu respons militer yang brutal sehingga menyebabkan 87.000 orang Rohingya melarikan diri.
Militan menyerang
Kemudian, pada 25 Agustus, sehari setelah sebuah komisi penyelidikan yang ditunjuk negara yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan merilis sebuah laporan tentang kerusuhan sebelumnya, militan menyerang lagi.
Mereka menyerang lebih dari 30 pos polisi dan tentara, menyebabkan korban jiwa. Itulah penyebab mengapa militer Myanmar menyerang balik dan lebih keras. Hal tersebut mengakibatkan 412.000 warga Rohingya mengungsi hingga Senin lalu.
”Tindakan keras militer tersebut seperti upaya paksa agar sejumlah besar orang tersebut tidak ada kemungkinan untuk kembali,” kata Zeid Ra’ad al-Hussein, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, di Geneva, Swiss, pada awal September. Ia menyebut hal itu sebagai ”contoh pembersihan etnis”.
Yanghee Lee, Pelapor Khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan, setidaknya 1.000 warga sipil terbunuh. Pemerintah mengklaim lebih dari 400 orang tewas, sebagian besar gerilyawan Rohingya, sementara jumlah warga sipil yang tewas sekitar 30 orang.
Richard Horsey, analis politik di Yangon, mengatakan, apakah insiden tersebut menandakan berakhirnya etnis Rohingya di Myanmar, hal itu masih harus dilihat lebih lanjut, bergantung pada apakah Banglades dan Myanmar akan mengatur pemulangan mereka ke Myanmar, juga melihat tingkat kerusakan yang terjadi.
”Kami masih menunggu gambaran lengkap berapa banyak desa yang kosong dibandingkan dengan berapa banyak desa yang hancur,” kata Horsey. (AP)