Menyelisik Proyek Tol Pekanbaru-Dumai
PADA era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, rencana pembangunan jalan tol Pekanbaru-Dumai sudah dikumandangkan. Rencana itu seakan terwujud tatkala pada 2007 pemerintah mengundang beberapa investor untuk menanamkan modal di jalur yang akan menghubungkan ibu kota Provinsi Riau dengan pelabuhan Dumai tersebut.
Namun, penanam modal ternyata tidak tertarik. Tidak ada swasta yang ingin membangun.
Rencana itu disebutkan terus berjalan, tetapi terkesan setengah hati. Nyaris tidak ada perkembangan berarti di lapangan selama empat tahun. Pada tahun 2011, pemerintah menyatakan mengambil alih pembangunan.
Rencana pembangunan yang dibuat enam tahun lalu itu ternyata belum sempurna. Permasalahan yang akan terjadi di lapangan, misalnya, trase jalan tol memotong lokasi beberapa sumur minyak PT Chevron dan melewati hutan konservasi yang tidak boleh diganggu.
Rencana awal itu harus dirombak dan pada tahun 2012 akhirnya rencana besar versi revisi sudah dapat dilaksanakan. Hanya saja, proses pembebasan lahan berjalan sangat lambat.
Baru pada era Presiden Joko Widodo, rencana pembangunan jalan tol yang didamba warga Riau itu mengalami kemajuan signifikan. Bahkan, muncul optimisme, pengadaan lahan dijadwalkan selesai paling lambat pertengahan 2017. Namun ternyata, optimisme itu tidak sesuai dengan perkembangan di lapangan.
”Target (penyelesaian pengadaan lahan) tahun 2017 memang terlalu optimistis. Proses pembebasan lahan masih terus berjalan. Mudah-mudahan dapat diselesaikan pada 2018,” ujar Petugas Pembuat Komitmen Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jimmy Sianipar, yang dihubungi Jumat (22/9).
Menurut data Kementerian PUPR, kebutuhan lahan untuk seksi I-III dari Pekanbaru sampai Kandis Utara seluas 496 hektar untuk membangun jalan sepanjang 55 kilometer. Namun, sampai September ini, pembebasan baru mencapai 328 hektar atau 66 persen. Masih tersisa 34 persen tanah yang belum dibebaskan seluas 168 hektar.
Muncul persoalan
Dalam musyawarah penentuan ganti rugi tanah warga untuk keperluan jalan tol Pekanbaru-Dumai Seksi II di Kantor Camat Minas, Rabu (20/9), muncul beberapa persoalan yang tidak dapat dipandang enteng. Terdapat permasalahan tumpang tindih lahan warga dengan konsesi PT Chevron dan munculnya surat tanah bersertifikat di kawasan hutan negara.
Ternyata terdapat 31 bidang tanah yang dinyatakan tumpang tindih dengan konsesi HTI PT Arara Abadi, seluas total 244.000 meter persegi. Dari total luas tersebut, setengahnya dikuasai oleh Wan Muhammad Junaidi, seluas 123.000 meter persegi dengan alas hak surat keterangan ganti rugi (SKGR atau SK Camat).
Yunita, salah seorang warga, merasa keberatan lahannya dinyatakan tumpang tindih dengan kawasan HTI PT Arara Abadi, seluas 8.174 meter persegi. Dia menyatakan tanahnya dibeli secara sah dengan alas hak sertifikat hak milik keluaran Badan Pertanahan Nasional pada 2012. Yunita justru heran, mengapa pada lahan hutan negara dapat diterbitkan sertifikat? Siapa yang salah?
Adapun lahan yang tumpang tindih dengan konsesi perusahaan minyak PT Chevron mencapai 141 bidang seluas 275.000 meter persegi. Rinciannya, 103 bidang berada di Seksi I Pekanbaru-Minas. Sebanyak 19 bidang tanah berada pada Seksi II (Minas-Kandis Selatan) dan 19 lainnya di Seksi III (Kandis Selatan-Kandis Utara).
Untuk menyelesaikan persoalan tumpang tindih lahan itu, tim pembebasan lahan yang dipimpin Kepala Kanwil Badan Pertanahan Riau sudah meminta pendapat hukum kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau selaku pengacara negara. Pada 20 Desember 2016, Kejati Riau mengeluarkan pendapat bahwa seluruh lahan yang berada di atas tanah tidak boleh diganti rugi kecuali bangunan dan tanaman di atasnya.
”Atas pendapat jaksa tersebut, kami mengundang warga untuk bermusyawarah pada 24 Mei 2017. Ternyata warga tidak dapat menerima dan timbul gejolak. Pada awal Agustus 2017, jaksa mengeluarkan pendapat kedua dengan menyatakan ganti rugi dapat dibayarkan pada lahan yang memiliki alas hak yang sudah berusia di atas 20 tahun secara terus-menerus tanpa keberatan pihak lain,” tutur Syamsul Bahri Lubis, Staf Teknik Pembebasan Lahan yang mewakili Kementerian PUPR.
Dalam musyawarah dengan warga pada 20 September di kantor Camat Minas, lanjut Syamsul, terdapat perkembangan yang cukup baik. Untuk warga dari Seksi I, sebanyak 17 orang dari total 38 warga yang semula menolak berubah pikiran dan menyatakan bersedia tidak menerima ganti rugi lahan, kecuali tanaman dan bangunan. Adapun dari kelompok Seksi II yang berjumlah 72 bidang tanah, sebanyak 31 menyatakan menerima.
Menurut Jimmy, penyelesaian tumpang tindih lahan untuk kepentingan umum sebenarnya dapat diselesaikan lewat mekanisme Peraturan Presiden No 56/2017 tentang Penanganan Dampak Sosial kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Proyek Strategis Nasional. Adapun untuk tumpang tindih dengan lahan hutan sudah diterbitkan Perpres No 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Berdasarkan aturan itu, penyelesaian tumpang tindih dengan lahan PT Chevron dapat dilakukan Gubernur Riau dengan membentuk tim yang diketuai Sekretaris Daerah, Kepala Kejati, Kepala Kanwil BPN untuk merekomendasikan uang sagu hati. Adapun untuk tumpang tindih di atas lahan hutan ada mekanisme yang hampir sama, yaitu gubernur membentuk tim yang beranggotakan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kakanwil BPN.
”Aturan penyelesaian sudah tersedia. Yang diperlukan adalah proses dan pelaksanaan di lapangan,” ucap Jimmy.
Kerja pemerintah lambat
Selain tumpang tindih lahan dengan warga, persoalan yang memperlambat perkembangan pekerjaan tol adalah kerja dari pemerintah sendiri. Sampai saat ini, jalur tol yang yang melewati kawasan hutan negara belum juga dibebaskan oleh pemerintah.
Aturannya, jalur tol di atas hutan negara harus dibebaskan dengan pola pinjam pakai. Proses pinjam pakai harus diawali dengan rekomendasi Gubernur Riau.
Sayangnya, sampai sekarang Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman belum juga mengeluarkan rekomendasi dimaksud dengan alasan menunggu Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Riau. Peraturan Daerah tentang RTRW Riau itu masih menunggu persetujuan Rapat Paripurna DPRD Riau dan pengesahan Menteri KLHK.
Masih tentang urusan pinjam pakai tersebut, ternyata ada ketentuan lain yang belum selesai di tingkat pusat. Menteri PUPR sudah meminta dispensasi kepada Menteri LHK lewat surat nomor TN.13.03 – Mn/633 pada Juli 2017. Namun, sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya.
Untungnya, persoalan administrasi tidak serta-merta membuat proyek pembangunan tol Pekanbaru-Dumai terhenti. Pembangunan fisik yang dimulai Desember 2016 sudah menunjukkan progres berarti di Seksi I. Perlahan tapi pasti, wujud jalan tol sudah mulai tergambar. Hal itu terlihat jelas dalam perjalanan Kompas dari udara pada 19 September di atas proyek tol tersebut.
Melihat kemajuan pembangunan fisik itu, target penyelesaian tol sepanjang 131 kilometer tersebut pada 2019 besar kemungkinan dapat terlaksana. Hanya satu yang dapat menghambatnya, apabila persoalan pembebasan lahan dibiarkan menggantung lebih lama.