Radius 6 Kilometer Dikosongkan, Pengungsi Gunung Agung Bertambah
JAKARTA, KOMPAS — Badan Nasional Penanggulangan Bencana meminta radius 6 kilometer dari puncak Gunung Agung dikosongkan karena aktivitas pergerakan magma di Gunung Agung tinggi. Pengosongan itu pun berimbas pada meningkatnya jumlah pengungsi di pos-pos pengungsian.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, dalam rilisnya yang diterima Kompas, Jumat (22/9) siang, menyebutkan, pergerakan magma ke permukaan terus berlangsung sehingga gempa vulkanik sering terjadi.
Pos Pengamatan Gunung Agung, Rabu (20/9), merekam 563 kali gempa vulkanik dalam dan 8 kali gempa vulkanik dangkal. Pada hari berikutnya, Kamis (21/9) antara pukul 06.00-12.00, terekam 144 kali gempa vulkanik dalam dan 10 kali gempa vulkanik dangkal.
Terdeteksi pula pergerakan magma yang mendorong permukaan dan meruntuhkan batuan yang menyumbatnya pada jarak 5 kilometer di bawah permukaan bumi. Meski demikian, Status Gunung Agung masih Siaga atau berada pada level III.
Aktivitas vulkanik yang masih tinggi itu membuat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mengeluarkan rekomendasi larangan beraktivitas bagi warga dan wisatawan di area kawah Gunung Agung dan seluruh area di dalam radius 6 km dari puncak. Larangan itu juga berlaku di kawasan dengan ketinggian 950 meter dari permukaan laut di sekitar puncak Gunung Agung. Di utara, tenggara, dan selatan-barat daya rekomendasi dilarang beraktivitas diperluas hingga radius 7,5 km.
”Artinya di dalam wilayah tersebut harus kosong atau tidak ada aktivitas masyarakat karena berbahaya jika sewaktu-waktu gunung meletus,” kata Sutopo dalam rilisnya.
BNPB kini mendata terdapat 49.485 jiwa yang berada di kawasan rawan bencana sesuai radius yang ditetapkan tersebut. Warga tersebut tersebar di enam desa, yakni Jungutan dan Buana Giri di Kecamatan Bebandem, Desa Sebudi di Kecamatan Selat, Desa Besakih di Kecamatan Rendang, serta Desa Dukuh dan Ban di Kecamatan Kubu.
Pemerintah Kabupaten Karangasem dan Pemerintah Provinsi Bali masih menyiapkan sarana dan prasarana pengungsian. Titik pengungsian sudah ditetapkan. Pendirian tenda, MCK, dapur umum, logistik, kendaraan evakuasi, dan lainnya masih terus disiapkan berbagai pihak, seperti BPBD, TNI, Polri, SKPD, PMI, dan relawan.
Pendataan pengungsi terus dilakukan. Jumlah pengungsi terus bergerak naik. Meskipun kepala daerah setempat belum memerintahkan secara resmi untuk mengungsi, warga mengungsi secara mandiri. Data sementara dari pusat pengendali operasi (pusdalops) BPBD Provinsi Bali, saat ini terdapat 1.259 pengungsi.
Jumlah pengungsi terus bertambah mengingat belum semua data dilaporkan ke pusdalops BPBD Bali. Sebagian besar masyarakat mengungsi karena pengalaman masa lalu saat Gunung Agung meletus besar pada 1963. Tanda-tanda yang mereka rasakan saat ini, yaitu gempa vulkanik yang sering terjadi, mirip dengan kejadian sebelum Gunung Agung meletus pada 1963. Letusan saat itu berlangsung selama hampir setahun, yaitu mulai dari 18 Februari 1963 hingga 27 Januari 1964. Korban tercatat 1.148 orang meninggal dan 296 orang luka.
Menurut Sutopo, tidak mudah menangani pengungsi. Apalagi pengungsi dari erupsi gunung api yang jumlahnya besar dan tidak diketahui pasti sampai kapan harus mengungsi karena sangat tergantung dari waktu letusannya. Saat ini sudah banyak tenda pengungsi didirikan. Namun, mengungsi di tenda tidaklah nyaman karena panas dan, jika terjadi erupsi disertai hujan abu dan pasir, tenda dapat roboh seperti saat erupsi Gunung Merapi pada 2010.
Menurut BNPB, banjar atau balai desa adalah tempat pengungsian yang lebih nyaman. Begitu juga mengungsi di kerabat atau desa sekitarnya. BNPB telah menyarankan agar dicari desa-desa di sekitarnya yang aman dan bisa menampung pengungsi. Model ini dikenal sebagai sister village seperti yang banyak dikembangkan di sekitar Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Sutopo juga berpesan agar masyarakat tenang. Saat ini masih terus disiapkan sarana dan prasarana di pos pengungsian. Prioritas pengungsian adalah kelompok rentan, yaitu anak balita, ibu hamil, lansia, dan penyandang disabilitas. Pendataan masih dilakukan.
Berikut data pengungsi Gunung Agung:
1. Pos pengungsian di Desa Les Buleleng, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, terdapat 222 jiwa pengungsi, terdiri dari 124 laki-laki dan 98 perempuan. Mereka berasal dari empat dusun, yaitu Dusun Pengalusan, Belong, Bunga, dan Pucang.
2. Aula Kantor Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, sebanyak 114 orang. Pengungsi dari Dusun Bahel, Desa Dukuh, Kecamatan Kubu.
3. Gudang milik Dewa Nyoman Rai di Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, sebanyak 42 orang. Mereka berasal dari Dusun Panda Sari, Desa Dukuh, Kecamatan Kubu.
4. Pengungsi mandiri di rumah warga atau kerabatnya sebanyak 23 orang di Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng.
5. Pengungsi mandiri di rumah warga di Desa Sambirenteng, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, sebanyak 18 orang.
6. Pos pengungsi GOR Swecaparu, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, sebanyak 378 orang yang berasal dari Desa Sebudi Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem. Dari 378 orang, mereka yang berada di GOR Swecepu sebanyak 84 kepala keluarga (327 orang), terdiri dari 143 pria dan 184 perempuan, dan 14 kepala keluarga (51 orang, terdiri dari 19 pria dan 32 perempuan). Mereka melakukan evakuasi mandiri dan tinggal di rumah kerabatnya.
7. Pos pengungsian Wantilan Pura Puseh Tebola, Desa Sidemen, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, sebanyak 292 orang. Pengungsi berasal dari Dusun Sebun dan Dusun Sogra.
8. Pos Balai Banjar Desa Adat Sanggem, Desa Sangkan, Kabupaten Karangasem, sebanyak 170 orang. Pengungsi berasal dari Banjar Dinas Yehe dan Sebudi.