Korupsi Menjadi Musuh Terbesar
JAKARTA, KOMPAS — Korupsi kini menjadi musuh terbesar bangsa Indonesia. Pada saat perjuangan melawan korupsi terus dilakukan, bentuk-bentuk korupsi baru juga terus bermunculan dan menyebar ke sejumlah daerah. Saat ini, hampir tidak ada daerah di Indonesia yang bebas korupsi.
Kasus korupsi yang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kejaksaan setiap tahun cenderung terus bertambah. Penuntutan perkara korupsi di lingkungan kejaksaan, dilaporkan sejak tahun 2013, telah lebih dari 2.000 perkara.
Jumlah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK juga terus bertambah. Pada tahun 2014 dan 2015, KPK tercatat melakukan lima kali OTT. Adapun pada 2016 ada 17 kali dan tahun ini hingga September sudah ada 16 OTT. Terakhir, KPK melakukan OTT di Cilegon, Banten, pada Jumat pekan lalu.
Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi bukan kepala daerah pertama yang diproses hukum KPK pada bulan ini. Pada 16 September, KPK juga menangkap tangan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko. Sementara pada 13 September, Bupati Batubara, Sumatera Utara, OK Arya Zulkarnain ditangkap.
Dari sejumlah OTT tersebut, diketahui bahwa modus korupsi yang dilakukan terus berkembang. Dalam kasus suap terhadap Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono, suap ditransfer ke rekening atas nama penyuap dan pejabat penerima hanya diberi kartu ATM untuk mengambil nominal yang dimasukkan ke rekening itu.
Suap terhadap Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dilakukan dengan menyerahkan uang kepada istrinya. Bupati Batubara menggunakan dealer mobil untuk menyembunyikan penerimaan suap. Wali Kota Cilegon menerima suap melalui penyaluran dana tanggung jawab perusahaan ke klub sepak bola.
”Korupsi musuh terbesar bangsa Indonesia. Oleh karena itu, yang sangat penting saat ini, bangsa Indonesia harus memiliki sense of urgency. Harus segera bertindak, harus segera melangkah bersama untuk melawan dan menghilangkan korupsi dari bumi Indonesia,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Budaya
Pernyataan bahwa korupsi merupakan musuh terbesar bangsa sudah disampaikan sejumlah kalangan beberapa tahun sebelumnya. Pada 1970, misalnya, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta bahkan menyebut korupsi telah membudaya di Indonesia.
Sebagaimana diulas Kompas pada 8 Juli 1970, pendapat itu dikemukakan Hatta saat menjadi penasihat Komisi IV. Komisi yang beranggotakan Wilopo (mantan perdana menteri), IJ Kasimo (mantan menteri), Anwar Tjokroaminoto (pemimpin Partai Syarikat Islam Indonesia), dan Johannes (mantan Rektor Universitas Gadjah Mada) ini dibentuk Presiden Soeharto untuk memberantas korupsi.
Sebelumnya, dalam tulisan berjudul ”Demokrasi Kita”, yang dimuat majalah Pandji Masjarakat tahun 1960, dan dibukukan tahun 1966, Hatta juga telah menyinggung tentang korupsi yang dipicu bobroknya sistem politik. Korupsi menjadi perhatian Hatta karena dapat membuat bangkrut demokrasi.
Begawan ekonomi Indonesia, Sumitro Djojohadikusumo, di sela-sela Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Surabaya, Jawa Timur, pada 1993, menyebutkan, tingkat kebocoran dana pembangunan di Indonesia pada masa itu mencapai 30 persen.
Direktur Eksekutif Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko melihat kebocoran sebesar itu masih terjadi hingga kini. ”Rata-rata mereka (koruptor) mengambil porsi 30 persen dari total proyek atau keseluruhan biaya produksi dalam suatu kegiatan,” katanya.
Hampir seperti sinyalemen yang disampaikan Hatta pada 1960, menurut Dadang, OTT terhadap kepala daerah bukan tidak mungkin akan terus terjadi karena ada pilkada pada 2018 dan kemudian pemilu pada 2019. Sepanjang tidak ada pembenahan dalam sistem kepartaian dan pemilu, kepala daerah dan politisi akan terus terjerat dalam korupsi.
”Ini hampir menjadi semacam periodisasi. Menjelang pilkada atau pemilu akan banyak kepala daerah dan politisi yang ditangkap KPK sebab suap dan korupsi adalah cara mereka memenuhi biaya politik yang tinggi,” katanya.
Pembusukan
Rohaniwan Franz Magnis-Suseno mengatakan, korupsi adalah pembusukan nyata yang dialami bangsa Indonesia. Apabila tidak diatasi dengan sungguh-sungguh, korupsi akan mencelakakan bangsa ini.
Meski korupsi telah sedemikian meluas, bahkan hingga ke daerah-daerah, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, menegaskan, bukan berarti Indonesia harus menyerah dalam upaya memberantasnya.
”Ada yang mengatakan korupsi itu kultur, tetapi bukan berarti harus menyerah. Yang terpenting adalah lembaga penegak hukum jangan terus berperang sendiri. Dari dulu mengapa lembaga penegak hukum tidak bersatu. Intinya di situ, lembaga penegak hukum, KPK dan polisi, harus bersama-sama memberantas korupsi,” tutur Maarif.
Guna mewujudkan persatuan melawan korupsi, kata Syafii Maarif, dinamika seperti yang kini terjadi antara Panitia Angket DPR dan KPK harus secepatnya diatasi. ”Itu sangat mengganggu pemberantasan korupsi. DPR bersikap seperti itu karena banyak temannya yang ditangkap KPK. Di sisi lain, KPK juga harus mengevaluasi kinerjanya. Ada tuduhan, misalnya, KPK tebang pilih, itu harus diperbaiki. Lalu, soal internal KPK yang juga harus kompak,” katanya.
Agus Rahardjo menuturkan, komitmen bersama seluruh elemen bangsa untuk melawan korupsi sudah menjadi keniscayaan. Tindakan nyata yang seharusnya diwujudkan.
Wakil Ketua Komisi III DPR Mulfachri Harahap mengatakan, penanganan korupsi ke depan harus lebih menyinergikan ketiga lembaga penegak hukum, yaitu KPK, kepolisian, dan kejaksaan.
Ia mengatakan, perilaku korup saat ini merupakan kegagalan partai politik dalam melakukan perekrutan, pengaderan, dan pendidikan politik terhadap kader calon pemimpinnya. (IAN/AGE/REK/MHD)