Bisnis adalah soal momentum. Begitu Jack Ma, pendiri Alibaba, menjelaskan keberhasilan bisnisnya. Perusahaan ini mendapatkan ”durian runtuh” dari krisis global 2008. Saat itu, ekspor China ambruk dan banyak perusahaan menggeser orientasinya ke pasar domestik. Muncul momentum kebangkitan bisnis dalam jaringan atau daring yang membuat Alibaba mulai diperhitungkan sebagai penantang Amazon. Dia (kebetulan) mampu mengantisipasi siklus ekonomi. Perekonomian memang bergerak siklikal dalam kecenderungan struktural. Di setiap dinamika naik dan turun selalu ada pihak yang terlempar, sementara pemain baru bermunculan. Gejala serupa tengah kita hadapi sekarang kendati dengan skala berbeda.
Beberapa perusahaan ritel besar mulai menutup gerainya, sementara pemain baru bermunculan, misalnya PT Matahari Department Store Tbk akan segera menutup gerai di Pasaraya Blok M dan Manggarai, Jakarta, pada akhir September ini. Begitu juga dengan PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk yang telah menutup delapan gerai di seluruh Indonesia. Namun, pada saat bersamaan, muncul pembangunan gerai ritel di tempat lain. Pembangunan pusat perbelanjaan AEON memberikan peluang sejumlah gerai ritel baru. Setelah di BSD City, perusahaan ritel Jepang ini tengah membangun tiga gerai lainnya di sekitar Jakarta.
Penutupan beberapa gerai ritel sektor ini sepertinya tak mencerminkan penurunan daya beli. Meskipun akan menutup dua gerai, PT Matahari Department Store Tbk punya rencana membuka 2-3 gerai di tempat lain. Dari laporan keuangannya, pendapatan masih naik sekitar 10 persen, sementara laba naik 15 persen pada semester I-2017. Pendapatan PT Ramayana juga masih naik sekitar 10 persen, sementara laba 45 persen. Mereka harus bertransformasi mengantisipasi perubahan pola konsumsi dan selera, termasuk bersaing dengan toko daring. Jika gagal beradaptasi, akan terpental.
Situasinya berbeda dengan sektor ritel makanan minuman. PT Matahari Putra Prima Tbk, induk perusahaan Hypermart, rugi sekitar Rp 190 miliar pada semester I-2017. Sementara PT Hero Supermarket Tbk mengalami kerugian sekitar Rp 120 miliar dan masih akan terjadi penutupan toko besar-besaran hingga akhir tahun. Penurunan laba juga dialami PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk, pemilik merek dagang Alfamart, dan PT Indoritel Makmur Internasional Tbk, pemilik merek dagang Indomaret. Laba mereka merosot masing-masing 53 persen dan 78 persen pada semester I-2017.
Selain distributor, produsen barang konsumsi juga terpukul cukup berat tahun ini. Penjualan PT Unilever Indonesia Tbk hanya tumbuh sekitar 2,5 persen, sementara PT Mayora Indah Tbk hanya tumbuh di bawah 2 persen pada semester I-2017. Pelambatan pertumbuhan kelompok perusahaan ini bukan sekadar perubahan gaya hidup, melainkan juga pelemahan daya beli.
Kinerja sektor ini memiliki korelasi cukup kuat dengan penurunan tingkat upah kelompok masyarakat bawah, yang memang mengalami penurunan dalam 2-3 tahun terakhir ini. Jika upah buruh tani harian dijadikan salah satu indikator daya beli kelompok masyarakat bawah, potretnya cukup jelas. Pada Agustus 2017, upah riil buruh tani harian Rp 37.508, sementara tiga tahun lalu Rp 39.119.
Siklus perekonomian memang sedang surut sejak 2014 akibat harga komoditas primer yang merosot. Bagi kelompok masyarakat bawah, penurunan pendapatan biasanya berkorelasi langsung dengan tingkat konsumsi mengingat proporsi terbesar pengeluaran mereka untuk makan. Sementara kelompok menengah ke atas, penurunan pendapatan biasanya tak langsung diikuti penurunan konsumsi. Umumnya, mereka masih mempertahankan gaya hidup dengan memanfaatkan tabungan. Meski demikian, fase ini tak lama, jika tak segera terjadi kenaikan pendapatan, konsumsi pun akhirnya terkoreksi.
Apakah siklus ekonomi mulai membaik? Upah riil buruh tani harian pada Agustus 2017 naik tipis 0,07 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Perbaikan perekonomian mulai terlihat meski tak bisa diharapkan terlalu cepat dan signifikan. Siklus ekonomi kita masih sangat tergantung dengan siklus komoditas. Dalam periode hingga lima tahun mendatang, harga komoditas akan cenderung rendah. Oleh karena itu, siklus perekonomian juga akan termoderasi cukup panjang. Salah satu kunci mempercepat perbaikan siklus perekonomian adalah mengakselerasi upaya mentransformasi struktur ekonomi dari basis komoditas menuju manufaktur.
Dalam jangka panjang, tak ada pilihan untuk tidak melanjutkan transformasi perekonomian. Dalam jangka pendek, ada dua gejala yang harus diantisipasi. Pertama, perubahan pola konsumsi kelompok menengah ke atas sehingga banyak sektor ritel harus melakukan pembaruan model bisnis agar bertahan. Kedua, pelemahan daya beli masyarakat kelompok menengah bawah yang memerlukan mitigasi. Meskipun tingkat pendapatan mulai naik, sulit kembali pada fase 2-3 tahun lalu. Kembalinya tingkat pendapatan akan terjadi seiring keberhasilan transformasi perekonomian.