KPK Keberatan dengan Bukti Tambahan yang Diajukan Pihak Setya Novanto
KPK keberatan dengan bukti tambahan berupa LHP BPK terhadap KPK tahun 2016. LHP BPK diberikan kepada DPR, bukan untuk dijadikan bukti.
Oleh
Rini Kustiasih
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi keberatan dengan penyerahan bukti tambahan yang dilakukan oleh kuasa hukum Ketua DPR Setya Novanto dalam sidang lanjutan praperadilan Novanto, Selasa (26/9), di Jakarta. Bukti berupa Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap KPK tahun 2016 itu dinilai tidak sesuai prosedur.
Dalam sidang lanjutan praperadilan Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa siang, kuasa hukum Novanto menyerahkan barang bukti tambahan berupa LHP BPK tersebut. Kuasa hukum beralasan bukti itu diperoleh dari Pansus DPR setelah pihaknya menyurati pimpinan DPR dan Pansus Angket KPK.
”Soal dari mana bukti tambahan itu bukan merupakan pokok persoalannya Yang Mulia sebab yang terpenting ialah memeriksa keabsahan dokumen itu, asli atau tidak. Adapun mengenai bukti itu kami peroleh dari institusi lain, yang itu menjadi urusan institusi lain tersebut. Yang terpenting kami memperoleh bukti itu dari institusi itu (DPR) telah sesuai prosedur, yakni menyurati pimpinan DPR dan pansus angket,” kata Ketut Mulya Arsana, kuasa hukum Novanto.
Dari pihak KPK, Indah Oktianti keberatan bukti itu diserahkan sebagai bukti tambahan karena cara perolehannya yang tak sesuai prosedur. Menurut KPK, LPH BPK itu hasil laporan BPK yang diserahkan kepada DPR sehingga tidak bisa serta-merta dijadikan bukti dalam praperadilan.
”LPH BPK itu diserahkan kepada DPR, dan tidak untuk digunakan di dalam sidang praperadilan. Bila memang akan digunakan sebagai bukti di praperadilan seharusnya ada prosedurnya sendiri. Apakah DPR merupakan lembaga resmi yang berwenang mengeluarkan surat atau laporan dari BPK?” kata Indah.
Anggota Biro Hukum KPK lainnya, Evi Laila Kholis, menambahkan, hakim agar mempertimbangkan bernilai tidaknya bukti itu mengingat pemohon praperadilan adalah Ketua DPR, dan bukti tambahan itu diperoleh berdasarkan surat yang dibuat kuasa pemohon kepada pimpinan DPR.
”Mohon dipertimbangkan lagi Yang Mulia, apakah bukti itu bisa diterima. Kami mohon agar keberatan kami ini dicatat oleh panitera,” ujar Evi.
Kendati sempat terjadi perdebatan, hakim Cepi Iskandar akhirnya berpendapat untuk menerima bukti tambahan itu. Alasannya, hakim tidak boleh menolak bukti apa pun dari pemohon ataupun termohon. ”Namun, apakah bukti itu nanti bernilai atau tidak, hal itu akan menjadi pertimbangan hakim,” ujarnya.
Selain mengajukan bukti tambahan, kuasa hukum Novanto juga mengajukan tiga ahli, yakni Romly Atmasasmita (hukum pidana), Chairul Huda (hukum acara pidana), dan Gede Panca Astawa (administrasi negara). Sidang sementara diskors untuk makan siang.