Arab Saudi di Tengah Pusaran Gelombang Emansipasi Perempuan di Dunia Arab
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN
·4 menit baca
DEKRIT Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud, Selasa (26/9), yang mengizinkan kaum perempuan negara itu mengemudikan kendaraan, merupakan bagian dari buah perjuangan kaum perempuan di dunia Arab sejak abad ke-19 untuk mendapatkan hak-hak yang setara dengan kaum laki-laki.
Arab Saudi merupakan negara Arab yang selama ini dikenal paling konservatif dalam memperlakukan warga perempuannya. Negara itu tertinggal dari negara Teluk lain, seperti Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman, dan Bahrain. Sebelum ada dekrit Raja Salman itu, Arab Saudi merupakan satu-satunya negara di muka bumi yang melarang perempuan mengemudikan kendaraan.
Negara-negara Arab Teluk (GCC) secara umum terhitung konservatif dalam memperlakukan kaum perempuannya dibandingkan dengan negara-negara Arab di sekitar kawasan Laut Tengah, seperti Mesir, Tunisia, Maroko, Aljazair, Lebanon, Suriah, dan Palestina. Kaum perempuan di negara-negara Arab Mediterania itu—khususnya Tunisia, Maroko, Lebanon, dan Mesir—sudah menikmati hak-hak yang setara dengan laki-laki. Budaya emansipasi perempuan di negara-negara itu sudah cukup kuat.
Letak geografis negara-negara Arab Mediterania yang sangat dekat dengan Eropa—hanya dipisahkan oleh Laut Tengah—menyebabkan interaksi budaya lebih cepat dan mudah antara Eropa dan Arab Mediterania. Aktivitas perdagangan lewat Laut Tengah antara Eropa dan negara-negara Arab Mediterania sudah intensif sejak beberapa abad silam.
Hal itulah yang menyebabkan negara-negara Arab Mediterania lebih akomodatif terhadap budaya Eropa, termasuk budaya memperlakukan perempuan.
Berbeda halnya dengan GCC atau negara Arab lain yang tidak bertepi ke Laut Tengah, seperti Yaman, Sudan, Somalia, Djibouti, Jordania, dan Irak. Mereka relatif lebih terlambat berinteraksi dengan budaya Eropa.
Itu sebabnya, karakter sosial budaya negara-negara Arab Teluk dan negara Arab yang tidak bertepi ke Laut Tengah lebih konservatif. Nasib perempuan di negara-negara itu relatif lebih terbelakang dibandingkan dengan perempuan negara Arab Mediterania.
Mesir-Tunisia terdepan
Di Mesir, misalnya, kaum perempuan sudah menikmati emansipasi sejak abad ke-19, mulai era kekuasaan Mohamed Ali (1766-1849). Pada tahun 1832, dibuka sekolah pertama di Mesir untuk melatih perempuan menjadi asisten di rumah sakit.
Seorang intelektual Mesir, Qassim Amin (1863-1908), dengan bukunya The Liberation of Women tahun 1899, dikenal sebagai bapak pejuang hak-hak perempuan. Amin percaya, kemerdekaan kaum perempuan adalah langkah pertama menuju reformasi sosial secara menyeluruh di Mesir dan dunia Arab. Bukunya sampai saat ini menjadi rujukan utama di dunia Arab dan Islam jika berbicara tentang emansipasi perempuan.
Kaum perempuan Mesir di pasar kerja, menurut data tahun 2014, mencapai 26 persen. Adapun perempuan Mesir di parlemen hasil pemilu tahun 2015 mencapai 14,9 persen.
Di Tunisia, kaum perempuannya dikenal paling maju secara sosial dan budaya di Arab. Jika Mesir memiliki Qassim Amin sebagai tokoh feminis, Tunisia mempunyai tokoh feminis bernama Taher al-Haddad.
Al-Haddad melalui bukunya, Our Women in The Shari’a and Society tahun 1930, meletakkan fondasi perjuangan hak-hak perempuan di Tunisia. Dalam buku itu, ia menyerukan perubahan status perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Ia menolak keras fenomena hegemoni laki-laki atas perempuan.
Tunisia memiliki persentase kaum perempuan terdidik tertinggi di dunia Arab, yakni 91 persen. Kaum perempuan pekerja di Tunisia mencapai 30 persen, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara Arab lain. Anggota parlemen dari kaum perempuan tercatat 26 persen.
Bandingkan dengan perempuan di negara-negara Arab Teluk (GCC) yang relatif baru meraih hak-hak mereka. Di Kuwait yang paling maju pencapaian hak-hak perempuan, baru tahun 2006 perempuan Kuwait memiliki hak politik dan bisa dipilih sebagai anggota parlemen. Sebanyak 7,7 persen perempuan Kuwait menjadi anggota parlemen hasil pemilu tahun 2012.
Di Arab Saudi, sejak era Raja Abdullah bin Abdulaziz (2005- 2015), perempuan di negara itu secara lambat laun semakin banyak meraih hak-haknya. Pada 2011, Raja Abdullah mengizinkan perempuan Arab Saudi memberikan suara dalam pemilu lokal dan ditunjuk sebagai anggota Majelis Syuro.
Di Uni Emirat Arab (UEA), baru dalam 10 tahun terakhir ini gerakan pembaruan kaum perempuan dilakukan secara intensif, seiring dengan kemajuan ekonomi yang dicapai kota Dubai dan Abu Dhabi. Perempuan pekerja di UEA sudah mencapai 43,5 persen, menurut data tahun 2011. Sebanyak 95 persen perempuan lulusan sekolah menengah di UEA kini melanjutkan ke perguruan tinggi.
(Dilaporkan dari Kairo, Mesir)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.