Kopi Indonesia yang Terus Diminati
KOPI yang tumbuh di Nusantara ini terus dicari. Tidak hanya oleh masyarakat Indonesia, tetapi juga lidah penikmat kopi di dunia. Pemerintah, pelaku usaha, dan petani pun berharap industri kopi terus berlanjut.
Indikator sederhana meningkatnya minat terhadap kopi Tanah Air dapat dilihat dari menjamurnya kedai kopi di pusat kota bahkan daerah. Tidak hanya di kota yang menjadi ujung dari perjalanan kopi, daerah sentra bahkan mulai tumbuh kedai kopi.
Di Lampung, yang merupakan daerah penghasil kopi jenis robusta, misalnya, telah dipadati kedai kopi. Geliat tumbuhnya usaha kopi juga tampak pada peringatan Hari Kopi Internasional yang untuk kali pertama digelar di Lampung pada Jumat (29/9) hingga Minggu (1/10) yang menjadi puncak acara. Ratusan orang hilir mudik setiap harinya di Hotel Novotel, pusat kegiatan.
Didorong kelas menengah yang bertumbuh, permintaan kopi kita di dalam dan luar negeri semakin meningkat.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, tahun 2016, Indonesia mampu meraup nilai ekspor hingga 427,89 juta dollar AS dari mengekspor kopi. Jumlah tersebut meningkat 19 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun produksi kopi nasional tahun lalu lebih dari 639.000 ton.
Pada saat yang sama, nilai impor kopi tercatat 78,71 juta dollar AS. Jumlah ini juga turun 22 persen dibandingkan tahun 2015. Neraca perdagangan di sektor kopi diklaim surplus dengan angka 349,18 juta dollar AS.
”Didorong kelas menengah yang bertumbuh, permintaan kopi kita di dalam dan luar negeri semakin meningkat. Ini potensi besar untuk mengembangkan usaha kopi berkelanjutan,” ujar Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih saat hadir dalam penutupan peringatan Hari Kopi Internasional di Lampung, Minggu.
Tren tersebut, kata Gati, merupakan pertanda positif untuk industri kopi Indonesia. Apalagi, saat ini, Indonesia merupakan penghasil kopi terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia.
Untuk mendorong keberlanjutan usaha kopi, pihaknya berencana mengatur produsen dan eksportir kopi untuk menyertakan daerah asal produksi kopi. ”Selama ini, banyak yang tidak tahu kalau kopi yang diminum itu berasal dari Indonesia,” ujarnya.
Hal ini penting untuk membuat kopi Indonesia lebih terkenal dan berujung pada peningkatan permintaan yang akan menguntungkan petani.
Gubernur Lampung Ridho Ficardo berkomitmen mendorong keberlanjutan industri kopi di Lampung dari hulu hingga hilir. Lampung merupakan pemasok kopi jenis robusta terbesar di Indonesia dengan produksi lebih dari 100.000 ton per tahun.
”Festival kopi ke depan akan rutin digelar. Petani dan industri bisa bertemu di sana. Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pariwisata serta pemerintah daerah juga harus bersinergi,” ujarnya.
Meski kopi Tanah Air semakin diminati, produksi kopi masih terhambat sejumlah masalah. Kepala Subdirektorat Tanaman Penyegar Kementerian Pertanian Bagus Hudoro mengatakan, produktivitas kopi saat ini masih rata-rata 1 ton per hektar.
Padahal, negara lain, seperti Vietnam, mencapai dua kali lipat dari itu. Penyebabnya adalah pohon kopi yang terlalu tua, lebih dari 25 tahun. Dengan usia tersebut, produksi bisa anjlok hingga 30 persen lebih.
”Oleh karena itu, untuk keberlanjutan usaha kopi, kami akan tingkatkan produktivitas di kebun dengan peremajaan pohon. Tahun depan ada 9 juta benih pohon kopi untuk peremajaan,” ujarnya.
Keberlanjutan usaha kopi harus dimulai dengan menyejahterakan petani kopi.
Veronica Herlina, Direktur Eksekutif Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI), organisasi nirlaba yang fokus pada keberlanjutan dan pengembangan usaha kopi, mengatakan, peningkatan keterampilan petani dalam menghasilkan produk berkualitas perlu dilakukan.
Dengan kopi berkualitas, petani akan mendapat untung dua kali lipat dibandingkan produksi kopi biasanya. Kopi robusta asalan, misalnya, hanya dihargai Rp 23.000 per kilogram di tingkat petani. Namun, saat jadi fine robusta, kopi petik merah dengan pengolahan baik dapat dijual dengan Rp 46.000 per kilogram.
Erwin Novianto dari Fair Trade Asia Pasific mengingatkan, keberlanjutan usaha kopi harus dimulai dengan menyejahterakan petani kopi. ”Selama ini, petani pasrah dengan harga kopi yang tidak stabil. Padahal, sebagian besar petani tidak tahu berapa harga kopi mereka yang dijual di kafe-kafe,” ujar Erwin.
Ketua Gabungan Ekportir Kopi Indonesia Hutama Sugandhi menuturkan, pihaknya menjalin kerja sama dengan Vietnam Coffee-Cocoa Assosiation untuk menjaga keberlangsungan bisnis kopi dan meningkatkan kesejahteraan petani. Kedua pihak saling bertukar informasi tentang budidaya dan mengatur musim panen kopi demi menjaga kestabilan harga kopi.