JAKARTA, KOMPAS—Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi atau Jabodetabek saat ini sedang dalam fase awal transisi musim kemarau ke musim penghujan. Sebagai konsekuensinya, kondisi cuaca ekstrem seperti puting beliung, hujan lebat dalam durasi singkat, hingga hujan es berpeluang mulai muncul Oktober ini.
Kepala Sub Bidang Prediksi Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Agie Wandala Putra, menuturkan, berdasarkan pengukuran analisis indeks labilitas atmosfer memanfaatkan alat balon udara yang dilepas ke atas setiap hari, kondisi atmosfer sudah terlihat tidak stabil.
“Mulai Oktober ini, Jabodetabek mesti siap pada akan seringnya kejadian hujan es, puting beliung, hujan deras durasi singkat, dan angin kencang tiba-tiba,” ucap Agie di Jakarta, Rabu (4/10).
Meski demikian, warga dan pemerintah daerah masih punya waktu mengantisipasi (misalnya dengan memastikan sudah memangkas ranting dan dahan pohon, mengecek kelayakan jembatan penyeberangan orang, serta gorong-gorong tidak tersumbat) karena kondisi cuaca ekstrem baru berpotensi lebih intens di November.
Mulai Oktober ini, Jabodetabek mesti siap pada akan seringnya kejadian hujan es, puting beliung, hujan deras durasi singkat, dan angin kencang tiba-tiba
Agie mengatakan, ketidakstabilan atmosfer secara umum disebabkan oleh kuatnya radiasi matahari yang posisinya—seolah-olah—bergeser semakin ke selatan, komposisi udara mulai agak basah, banyaknya aktivitas kinetis seperti perlambatan dan belokan angin, serta menguatnya faktor lokal seperti angin darat dan angin laut. Angin muson Australia yang jadi penanda musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia masih dominan sekarang, tetapi tidak sekuat dua bulan lalu. Saat ini bisa disebut fase awal pancaroba atau peralihan musim.
Menurut Agie, hujan yang sering mengguyur Jabodetabek, terutama di bagian selatan, dalam dua pekan terakhir dipengaruhi munculnya gelombang tropis Rossby dan Kelvin yang berinteraksi dengan kondisi regional berupa pelemahan angin muson Australia dan munculnya sirkulasi angin di barat Sumatera. Namun, gelombang tropis tadi saat ini tidak ada lagi sehingga ia memperkirakan potensi hujan menurun pada pertengahan Oktober.
Meski demikian, potensi hujan masih dominan di Jabodetabek bagian selatan yang ditandai dengan hujan-hujan pada sore-menjelang malam, khususnya di Depok dan Bogor. “Wilayah selatan dipengaruhi oleh sistem orografis (hujan di daerah pegunungan),” kata Agie.
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan menambahkan, fenomena La Nina punya peluang 55-60 persen muncul di akhir tahun. Namun, karena intensitasnya lemah, La Nina diprediksi tidak berpengaruh pada cuaca dan musim sehingga jumlah curah hujan selama musim 2017-2018 kemungkinan besar pada kisaran normal.
Potensi hujan masih dominan di Jabodetabek bagian selatan yang ditandai dengan hujan-hujan pada sore-menjelang malam, khususnya di Depok dan Bogor. Wilayah selatan dipengaruhi oleh sistem orografis (hujan di daerah pegunungan).
La Nina adalah fenomena mendinginnya suhu muka laut di Samudra Pasifik sehingga massa udara basah bergerak ke wilayah Indonesia yang suhu muka lautnya lebih hangat. Jika cukup kuat, La Nina berpotensi menambah jumlah curah hujan saat musim hujan.
Sebelumnya, Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Teguh Hendarwan mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI tidak hanya mengantisipasi musim hujan 2017-2018 beberapa bulan sebelum awal musim, tetapi sepanjang tahun. “Persiapan sudah sejak awal tahun. Pasukan biru bekerja keras menjalankan program normalisasi, pengerukan, pengurasan, serta perbaikan turap rusak,” tuturnya.
Untuk pengerukan, misalnya, Dinas Sumber Daya Air DKI selama Januari-Agustus 2017 mengeruk kali dan saluran sepanjang total 131.768 meter. Itu sudah melampaui target total panjang saluran dan sungai yang mesti dikeruk selama Januari-Desember, yaitu 107.952 meter.
Langkah antisipasi berkelanjutan sudah berlangsung tahun ke tahun dan Teguh mengklaim berkontribusi pada penurunan titik genangan. Ia menyebutkan, pada 2015, titik genangan di DKI masih berjumlah 480-an titik. Jumlah menurun drastis menjadi 41 titik pada awal 2017 ini. “Pada musim hujan 2017-2018, saya memprediksi titik genangan 60-80 titik,” katanya.
Ia menambahkan, Pemprov masih sulit mencapai penurunan titik genangan hingga nol titik karena masih terkendalanya proyek-proyek penanggulangan banjir. Proyek normalisasi sungai misalnya, terkendala oleh masih adanya bangunan liar di sekitarnya serta terbatasnya anggaran pembebasan lahan.