logo Kompas.id
UtamaSerasa Maut Begitu Dekat...
Iklan

Serasa Maut Begitu Dekat dengan Mereka

Oleh
Frans Pati Herin
· 5 menit baca

Jalanan tanah menanti di depan mata setelah melintasi 65 kilometer jalanan mulus dari Bula, ibu kota Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku. Hujan deras pertanda perjalanan selanjutnya pada Kamis (21/9) itu tak akan mulus.Sekitar 5 kilometer (km) dari ujung aspal, mobil bergardan ganda mulai dihadang kubangan berisi air dan lumpur sedalam sekitar 0,5 meter. Jarak antar-kubangan kurang dari 5 meter membuat Kicing (22), pengemudi mobil, tidak bisa menghindar. Untung saja ban mobil berdiameter sekitar 80 sentimeter itu tidak begitu sulit melewati kubangan dengan lebar hingga 4 meter. Belum selesai melewati kubangan, Kicing harus menghentikan mobil lantaran sebuah dump truck terjebak dalam kubangan lumpur. Sebuah truk terbuka, yang di dalamnya berjubel puluhan penumpang, berusaha menarik dump truck itu ke pinggir agar mobil yang lain bisa lewat. Para penumpang yang basah kuyup itu bersorak saat Kompas hendak memotret mobil yang terjebak. Terdengar ada kalimat dengan nada kecewa. Pemerintah dianggap tidak memperhatikan pembangunan jalan itu. "Foto! Supaya Presiden (Joko Widodo) lihat," kata salah seorang penumpang. Selepas kubangan, tantangan berikutnya adalah sungai. Hujan lebat membuat permukaan air naik. Tiba di bibir sungai, Kicing menghentikan mobil. Ia lalu turun memastikan ketinggian air lewat penanda berupa pohon yang ada di pinggir sungai. Dari situ ia bisa memperkirakan tinggi air di rute yang sering dilewatinya itu. Tak mau ambil risiko, beberapa mobil memilih kembali ke Bula, tetapi ada yang bertahan menunggu hingga hujan reda dan permukaan air turun. Dengan bertahan, mereka bakal menunggu bahkan lebih dari satu hari. Hanya mobil bergardan ganda yang lebih mudah melewati rute neraka itu. Sepanjang jalanan tanah itu, hampir semua sungai yang dilalui tanpa jembatan. Jika ada, itu hanya jembatan darurat buatan warga dengan bahan berupa batang pohon kelapa atau papan yang ditumpuk begitu saja. Jika arus sungai deras dan permukaan air naik, jembatan darurat dipastikan hanyut. Jalanan yang dilewati itu mulai dari Desa Gaa, Kecamatan Tutuk Tolu, hingga Desa Ketta, Kecamatan Siritaun Wida Timur. Di antara dua kecamatan itu ada Kecamatan Kian Darat. Panjang jalan dari Gaa hingga Ketta sekitar 35 km ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam.Sepanjang jalanan tanah itu terdapat puluhan sungai dan anak sungai. Kompas mencatat, 24 jembatan belum dibangun, ada 20 jembatan darurat dan 11 jembatan permanen. Kebanyakan jembatan permanen diperkirakan berusia lebih dari 20 tahun. Warga terisolasi Sekitar 13.000 warga di tiga kecamatan itu terisolasi selama bertahun-tahun. Mereka hidup dengan hasil alam, seperti pisang, ubi, sagu, dan ikan. Namun, satu hal yang paling ditakuti adalah ketika diserang penyakit atau para ibu yang mengalami kendala saat melahirkan. Seperti di Siritaun Wida Timur, lima tahun terakhir enam orang meninggal. Seorang ibu hamil meninggal dalam perahu saat diangkut dari Ketta ke Pulau Geser, pulau terdekat yang ada puskesmas. "Saat itu menunggu gelombang tinggi sehingga terlambat ditangani," ujar Saiful Rumain, lulusan akademi keperawatan yang memilih menjadi tenaga sukarelawan.Jika membawa pasien ke Bula, harus menyewa mobil dengan tarif Rp 2 juta untuk pergi pulang. Kondisi jalanan penuh kubangan dengan puluhan sungai dan anak sungai tanpa jembatan. Beberapa sungai di dalamnya dihuni buaya. Di dekat Ketta ada bangunan puskesmas yang berdiri dua tahun lalu, tetapi belum beroperasi karena tidak ada tenaga medis.Akses kesehatan minim juga ada di desa lain, yakni Tubir Masiwang. Warga di desa itu tak punya pilihan, selain harus ke Bula. Jika laut teduh, mereka bisa menggunakan perahu motor selama 1,5 jam ke Desa Waru, kemudian menggunakan jalan darat sejauh lebih kurang 50 kilometer ke Bula. Meski demikian, jika cuaca buruk, mereka harus menyeberang sungai yang di dalamnya terdapat buaya. Selepas dari sungai, mereka jalan kaki sekitar 2 jam, lalu menumpang perahu motor selama 1 jam menuju Waru. Buaya di sungai itu pernah menggigit warga yang menyeberang. Ada pula warga yang ditemukan tanpa nyawa dengan kondisi tubuh tak lengkap. April lalu, warga di Tubir Masiwang terserang penyakit kulit menularframbusia, serangan muntaber, dan gizi buruk. Warga di desa itu jarang dikunjungi pejabat sehingga tidak ada data yang pasti ihwal jumlah korban, termasuk yang meninggal. Sebagian warga sudah meninggalkan desa. Kondisi Tubir Masiwang itu diceritakan Kepala Desa Waru Ahmad Syarif. Waru merupakan desa yang paling dekat dengan Tubir Masiwang. Kala itu, Kompas hendak ke Tubir Masiwang, tetapi batal karena gelombang tinggi.Kondisi serupa dialami warga Maluku lainnya, seperti di Pulau Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Pada Mei, Wati Fordatkosu (28), warga Desa Fursuy, diangkut dengan dump truck melewati jalanan tanah sejauh 39 km ke Adaut, ibu kota Kecamatan Selaru. Dari sana, mereka menggunakan perahu motor, lalu bergerak ke Saumlaki, ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Setelah bayinya lahir dengan selamat, plasenta tak ikut keluar. Ia berangkat dari rumah pukul 06.00 WIT dan tiba di Saumlaki pukul 23.00 WIT. Pengalaman serupa dialami Evilina Amarduan (28), warga Desa Eliasa, sekitar 21 km arah barat Fursuy. Pada 2014, ia diangkut perahu motor ke Adaut dengan waktu perjalanan 4 jam. Dalam perjalanan, perahu motor berukuran panjang 5 meter dan lebar 2 meter itu kehabisan bahan bakar. Mereka meminta sisa premium dari nelayan setempat. Lambatnya penanganan menyebabkan bayi Evilina tak tertolong. "Waktu itu harus pinjam uang Rp 1,5 juta. Kalau tidak ada uang, kami hanya berdoa," kata Herison Silalebit, suami Evilina. Selaru adalah pulau yang berbatasan dengan Australia. Kondisi wilayah yang terisolasi di Kabupaten Seram Bagian Timur dan Maluku Tenggara Barat itu membuat warga yang sakit kritis atau ibu yang kesulitan melahirkan begitu dekat dengan maut. Dibutuhkan biaya besar untuk menyelamatkan nyawa mereka dan itu sulit dipenuhi. Mereka begitu cepat menemui ajal.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000