Tantangan Besar Gubernur Baru
JAKARTA, KOMPAS — Satu minggu lagi DKI Jakarta dipimpin gubernur dan wakil gubernur baru, Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Tidak ada waktu bersantai karena banyak pekerjaan besar menunggu. Lima tahun terakhir, kinerja tiga gubernur DKI membaik dan bisa mengubah wajah Ibu Kota.
Secara fisik, banyak proyek infrastruktur dibangun, antara lain pembenahan dan pemeliharaan sungai dan saluran air, pembangunan lebih dari 5.000 unit rumah susun sederhana sewa (rusunawa), pembangunan 180 ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA), dan revitalisasi jalur pejalan kaki. Lalu, penambahan 962 unit bus transjakarta, pembangunan Koridor 13 transjakarta sepanjang 9,4 kilometer, serta pengoperasian Simpang Susun Semanggi dan normalisasi sungai yang terhenti sementara.
Dari sisi kinerja pemerintahan, berdasarkan penilaian Kementerian Dalam Negeri tahun 2016, ada peningkatan. Tahun 2014, DKI Jakarta ada pada peringkat ke-10. Tahun 2015 peringkat ke-4 dan tahun 2016 indikator positif terus muncul. ”Peringkat terbaru kemungkinan besar lebih baik, bisa 1, 2, atau 3,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono di Jakarta, Minggu (8/10).
Lima tahun terakhir, data Kemendagri juga menunjukkan, indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) DKI meningkat. Tahun 2013, IPM DKI 78,08 dan menjadi 79,60 pada 2016. Adapun rata-rata nasional 69,24.
Pencapaian IPM DKI Jakarta itu tertinggi nasional yang mengindikasikan besarnya kesempatan warga DKI memperoleh layanan kesehatan, pendidikan, dan peningkatan pendapatan.
Kepuasan publik ditunjukkan di bidang layanan berusaha. Kepuasan meningkat dari 89 persen tahun 2015 menjadi 99 persen pada triwulan I-2017. Kemudahan izin berusaha juga membaik dari 106 menjadi 91.
Dalam laporan pertanggungjawaban akhir masa jabatan dalam Rapat Paripurna DPRD DKI pada September 2017, Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat menyebut, dari sisi IPM, Jakarta pada kelompok tinggi. Pembangunan Jakarta pada jalur tepat, yakni upaya pembangunan ekonomi, sosial, dan infrastruktur meningkatkan derajat hidup dan kesejahteraan warga.
Atas berbagai kondisi itu, Sumarsono menegaskan, standar pelayanan yang diterapkan gubernur dan wakil gubernur periode 2013-2017 sudah tinggi. Pemimpin baru tak cukup sekadar bekerja, termasuk misalnya mengendalikan laju inflasi Jakarta seperti dilakukan sebelumnya.
”Mereka mesti bekerja luar biasa untuk mencapai standar pelayanan dan kinerja yang sama dengan periode sebelumnya,” kata Sumarsono, yang dua kali menjadi Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta.
Di tengah rutinitas pembangunan, Jakarta juga akan menjadi tuan rumah Asian Games 2018. Pemerintah provinsi masih harus menyelesaikan pembangunan sejumlah proyek penting, seperti kereta ringan (LRT) untuk mengangkut atlet, wisma atlet, dan sejumlah stadion pertandingan yang hingga kini masih membutuhkan pembahasan untuk masuk dalam APBD.
Serapan anggaran rendah
DPRD DKI mengapresiasi kinerja tiga gubernur DKI sebelumnya, yakni Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, dan Djarot Saiful Hidayat. Pembangunan infrastruktur di era mereka menonjol meski ada sejumlah catatan, seperti dalam program penertiban kawasan bantaran sungai.
Ada persoalan lain yang disorot DPRD, yakni serapan anggaran. Serapan anggaran sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di bawah 50 persen. Padahal, tunjangan kinerja daerah (TKD) PNS yang diberikan di era Basuki tinggi.
Wakil Ketua DPRD DKI Muhammad Taufik menyatakan, serapan anggaran yang rendah itu menunjukkan SKPD lemah dalam perencanaan atau eksekusi program. Selama ini, TKD dibayarkan 150 persen dari gaji PNS, setara dana Rp 19 triliun dari total APBD Rp 71 triliun.
”Saya beri contoh, satu SKPD 72 orang, TKD-nya Rp 200 miliar. Padahal, serapan anggarannya 50 persen ke bawah. Serapan rendah itu menunjukkan SKPD tidak bekerja,” kata Taufik.
Sorotan pada kualitas sumber daya manusia di dinas-dinas juga disampaikan anggota DPRD DKI, Meity Magdalena Ussu, dalam laporan, Senin (2/10). Dinas-dinas dinilai lambat membuat perencanaan yang adaptif, sistematis, terukur, dan tepat sasaran.
DPRD juga masih menemukan duplikasi program dan kegiatan serta ketidakjelasan antara sasaran dan target yang ingin dicapai. SKPD diharapkan mampu menyinkronkan seluruh program dan kegiatan sehingga lebih terintegrasi dan program berjalan dengan baik sesuai rencana.
Namun, kata Meity, hasil berbagai lembaga survei, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja lima tahun terakhir cukup tinggi. Rendahnya serapan anggaran tak lepas dari kegaduhan antara legislatif dan eksekutif sehingga membuat proses lambat.
Terobosan
Untuk menyiasati lambatnya pembahasan soal pencairan anggaran, Pemprov DKI menggunakan dana partisipasi masyarakat dan swasta, seperti tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan koefisien lantai bangunan. Penggunaan dana itu tak memerlukan pembahasan dengan legislatif.
”Itu terobosan di mana ada partisipasi masyarakat. Meski akhirnya penyerapan APBD rendah, pembangunan tepat sasaran karena adanya partisipasi masyarakat itu,” ujar Sumarsono.
Partisipasi itu antara lain mewujud dalam bentuk RPTRA, bus tingkat, rusun, pemeliharaan waduk dan kali, dan jalan. Warga DKI bisa menikmati langsung.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Tuty Kusumawati menjelaskan, terobosan dilakukan karena Pemprov tak ingin ada penundaan dalam pembangunan.
Terobosan lain adalah transparansi. Dua tahun terakhir, Pemprov DKI mengunggah semua detail APBD dan APBDP (e-budgeting), e-catalog, juga semua kebijakan melalui laman resmi. Melalui Qlue, keluhan/pengaduan langsung direspons dinas terkait, mulai dari jalan berlubang, kesehatan, hingga saluran air yang mampat.
Ke depan, masih ada tantangan yang mesti dituntaskan, antara lain memastikan Kartu Jakarta Pintar tepat sasaran serta kemacetan dikendalikan lewat infrastruktur jalan dan angkutan umum berbasis rel. (DEA/HLN)