SOROT lampu, panggung yang tinggi, dan taburan pujian bagi Dwi Hartanto harus usai. Mahasiswa S-3 di Fakultas Teknik Elektro, Matematika, dan Ilmu Komputer di Technische Universiteit Delft ini mengakhiri rangkaian kebohongannya. Bangunan cerita akan kesuksesan dan prestasi yang dirintis selama dua tahun terakhir akhirnya harus ambruk dalam sekejap.
Kisah kesuksesan yang diciptakan sendiri memang terdengar mengagumkan dan membanggakan, begitu membanggakan sampai memabukkan. Mulai dari klaim keterlibatan dalam proyek roket strategis, pemenang lomba riset teknologi lembaga penerbangan dan antariksa dunia, sampai permintaan yang diterima untuk meningkatkan teknologi pesawat tempur Eurofighter Typhoon menjadi jet tempur generasi kelima.
Dwi sempat dijuluki sebagai ”Habibie berikutnya”, merujuk kepada Presiden ketiga Indonesia yang berlatar belakang sebagai insinyur dirgantara.
Dwi sempat dijuluki sebagai ”Habibie berikutnya”, merujuk kepada Presiden ketiga Indonesia yang berlatar belakang sebagai insinyur dirgantara, BJ Habibie. Habibie pun sampai ingin bertemu dengannya di sebuah restoran di Den Haag pada awal Desember 2016.
”Keberhasilannya” dengan mudah mengundang decak kagum dan pujian dari Tanah Air. Makin banyak media massa yang mengangkatnya dengan sudut pandang yang sama, belum lagi blog ataupun pujian di media sosial. Program televisi ”Mata Najwa” yang naik daun pun tidak ketinggalan mewawancarainya saat mengadakan tur di Belanda.
Sampai akhirnya sandiwara ini pun harus berakhir. Dimulai dari rekan-rekan di sekitar Dwi yang memintanya menghentikan kebohongan hingga mendesak pihak universitas untuk mengadakan sidang etik untuknya.
Makin banyak media massa yang mengangkatnya dengan sudut pandang yang sama.
Puncaknya adalah tanggal 7 Oktober lalu saat Dwi menuliskan surat pernyataan yang berisi segala klarifikasi atas semua fabrikasi cerita yang dia buat. Pemerintah Indonesia pun sampai kecolongan dengan memberikan penghargaan kepadanya, berdasarkan artikel berjudul ”KBRI Kurang Teliti Prestasi Dwi Hartanto” di harian Kompas hari Selasa (10/10), peristiwa ini menjadi pelajaran bersama untuk lebih berhati-hati dalam memeriksa rekam jejak seseorang.
Di linimasa, kasus ini juga tidak ketinggalan dibahas. Sebagian mencaci, sebagian juga mengingatkan bahwa apa yang dilakukan Dwi sebetulnya juga pernah terjadi di dunia akademik atau di sektor lainnya.
Namun, kritik yang paling keras juga dilayangkan kepada lembaga pemberitaan yang dinilai ceroboh dalam memberitakan Dwi, memberinya panggung tanpa memverifikasi segala klaimnya. Pada akhirnya, ikut larut dalam euforia pemberitaan hingga ikut menghujat saat Dwi harus mengakhiri sandiwaranya.
Apa yang dilakukan Dwi memang salah, yakni berbohong, tapi setidaknya dia sudah mengakuinya dan tinggal membayar konsekuensinya. Begitu pula dengan pemerintah yang harus lebih cermat lagi memverifikasi segala klaim yang beredar di internet, bahkan diperbincangkan oleh warganet dalam jumlah signifikan.
Pelajaran terakhir barangkali juga harus ditarik oleh media massa yang tidak begitu saja mencomot informasi yang berserakan dari internet. Sebagus apa pun keterangan atau klaim yang dilontarkan seseorang, meluangkan waktu sejenak untuk cek sederhana di mesin pencari Google setidaknya bisa menjadi rutinitas yang bisa dilakukan.
Karena di masa mendatang, bukan Dwi Hartanto saja yang akan datang sambil membawakan cerita-cerita membanggakan. Banyak orang yang mengantre dengan kisah emosional yang bisa menjadi viral di internet dan membangun literasi digital publik bisa dimulai dengan menghadirkan konten yang bisa dipercaya. (ELD)