TOD Bangkitan Ekonomi Baru
AWAL tahun 2019, Jakarta akan memasuki babak baru, yaitu dengan pengoperasian angkutan umum berbasis rel transportasi massal cepat (MRT) fase 1 dari Lebak Bulus ke Bundaran Hotel Indonesia.
Untuk pengoperasian itu, dari perhitungan awal, MRT akan mengangkut 170.000-an penumpang per hari. Ada crowd, keramaian, yang muncul karena banyaknya penumpang. Apalagi di sejumlah stasiun, seperti Stasiun Dukuh Atas, selain MRT, ada juga keramaian lain yang tercipta, yaitu adanya stasiun kereta komuter, halte bus transjakarta, dan nantinya akan ada penumpang yang naik turun dari stasiun kereta bandara, LRT Jakarta, serta LRT Bodetabek.
”Keramaian dari berbagai moda ini harus diatur. Kalau tidak, akan menimbulkan masalah baru,” ujar Danang Parikesit, Ketua Komisi Teknis Transportasi Dewan Riset Nasional, Rabu (4/10). Pengaturan artinya pengelola MRT, juga Pemprov DKI, mesti melihat MRT sebagai bagian dari jaringan transportasi yang terintegrasi, dan bukan hanya satu moda angkutan.
Selain itu, melihat potensi kawasan dengan adanya kepadatan orang, kawasan sekitar stasiun bisa direka kembali menjadi area yang bukan hanya sebagai pelintasan semata, melainkan juga area gaya hidup. Area yang bisa menjadi pusat kegiatan ekonomi baru.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengatakan, pemikiran tentang adanya kawasan transit oriented development (TOD) sudah diantisipasi dalam Perda No 1 Tahun 2012 tentang RTRW 2030 serta Perda No 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi.
Konsep tentang pengembangan kawasan TOD itu diatur lebih rinci dalam Peraturan Gubernur (Pergub) DKI No 44 Tahun 2017 tentang pengembangan kawasan TOD. Dalam Pasal 5 Ayat (2) disebutkan, suatu kawasan bisa ditetapkan sebagai TOD apabila ada perpotongan koridor angkutan massal (dua atau lebih) dengan salah satunya berbasis rel.
Kawasan TOD bisa ada di radius 400-800 meter di sekitar perpotongan moda. Dalam radius itu, ada zona perkantoran, perdagangan, dan jasa; zona perumahan; zona campuran; zona pemerintahan; serta zona pelayanan umum dan sosial.
”Jadi, kalau hanya ada satu jenis moda angkutan, lalu di sekitarnya dibangun hunian atau area bisnis, itu bukan TOD,” ujar Tuty.
Dalam Ayat 2 juga dinyatakan, kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan TOD memiliki nilai ekonomi tinggi atau yang diprediksi akan memiliki nilai ekonomi tinggi. Kriteria ketiga, lanjut Tuty, kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan TOD adalah kawasan yang direncanakan dan atau ditetapkan sebagai pusat kegiatan.
Kawasan yang boleh dikembangkan sebagai TOD ada dalam radius 350 meter di sekitar stasiun atau perpotongan beberapa jenis moda. Meski demikian, dalam kajian ITDP ataupun yang diusulkan Danang, kawasan TOD bisa ada di radius 400-800 meter di sekitar perpotongan moda. Dalam radius itu, ada zona perkantoran, perdagangan, dan jasa; zona perumahan; zona campuran; zona pemerintahan; serta zona pelayanan umum dan sosial.
Melihat kriteria itu, ujar Tuty, kawasan yang akan dikembangkan terlebih dahulu adalah kawasan Dukuh Atas. Jenis moda yang berpotongan di kawasan itu ada sekitar enam. Kemudian, kawasan itu juga menjadi pusat perkantoran dan salah satu kegiatan ekonomi perdagangan.
Danang setuju apabila pembangunan TOD menerapkan prinsip prioritas. Dari kajian, untuk mengembangkan satu kawasan TOD, diperlukan dana sedikitnya Rp 2 triliun. Dengan demikian, apabila fase 1 MRT Jakarta dari Lebak Bulus ke Bundaran HI ada 13 stasiun, butuh dana lagi Rp 26 triliun untuk membangun TOD. ”Karena dana yang dibutuhkan besar, ini tantangan buat PT MRT menarik investor,” ucap Danang.
Tuty menyebutkan, untuk memastikan PT MRT bisa menarik investor dalam mengelola TOD, perlu ada penunjukan, yaitu untuk memperkuat amanat Perda No 3 Tahun 2008 tentang pembentukan PT MRT. Dikatakan bahwa PT MRT diberi mandat untuk menyelenggarakan, membangun, dan memelihara prasarana dan sarana perkeretaapian serta mengelola properti atau kawasan di sekitar stasiun.
Perencanan awal TOD secara matang menjadi penting. Prinsip utama TOD adalah walkability atau kemudahan pengguna angkutan umum untuk mencapai jenis-jenis moda dengan berjalan kaki.
”Bahkan, dalam Pergub No 44 Tahun 2017 sudah disebut perlu ditunjuk BUMD untuk menjadi operator utama TOD. Ini kami sedang siapkan pergub untuk menunjuk PT MRT sebagai operator utama TOD Dukuh Atas,” kata Tuty tanpa merinci kapan pergub itu terbit.
Pergub tersebut memungkinkan PT MRT melakukan perencanaan, mengoordinasikan pengembangan kawasan, serta bagaimana membangun kembali kawasan. Memang, saat MRT beroperasi pada 2019, pembangunan TOD masih terus berlangsung. Namun, yang terpenting, keterhubungan dan integrasi antarmoda setidaknya terbentuk.
Padraic Kelly, Direktur Buro Hapold, konsultan pengembang TOD, dalam forum grup diskusi tentang TOD yang digelar PT Jakarta Propertindo, awal September lalu, menjelaskan, perencanaan awal TOD secara matang menjadi penting. Prinsip utama TOD adalah walkability atau kemudahan pengguna angkutan umum untuk mencapai jenis-jenis moda dengan berjalan kaki.
Nantinya TOD kita kembangkan juga sebagai lifestyle hub. Modalnya dari integrasi transportasi di mana hub sudah didapat. Namun, bagaimana bisa kita kembangkan untuk mix-use sehingga bisa memenuhi semua kebutuhan masyarakat.
Kemudahan mencapai moda angkutan dengan berjalan kaki akan didukung dengan pengembangan kawasan. ”Nantinya TOD kita kembangkan juga sebagai lifestyle hub. Modalnya dari integrasi transportasi di mana hub sudah didapat. Namun, bagaimana bisa kita kembangkan untuk mix-use sehingga bisa memenuhi semua kebutuhan masyarakat,” papar Tuty.
Pengembangan TOD diharapkan bisa menjadi sumber pendapatan nontiket bagi PT MRT. Danang menyebutkan, dalam model bisnis pengelolaan angkutan berbasis rel, contoh sukses adalah MTR Hongkong. Dengan memaksimalkan pendapatan nontiket, di mana MTR Hongkong mengelola banyak properti di sekitarnya, MTR Hongkong bisa memiliki pendapatan nontiket 70-90 persen. Sisanya baru dari tiket.
Bagi MRT Jakarta yang sangat mengacu pada MTR Hongkong untuk mengelola, cara itu bisa dicontoh. Apalagi saat ini MRT Jakarta masih menghitung besaran tarif tiket, dengan perhitungan mempertimbangkan tiga komponen, yakni biaya produksi, subsidi dari pemerintah, dan pendapatan nontiket.
Pengembangan TOD diharapkan bisa menjadi sumber pendapatan nontiket bagi PT MRT.
Jika pendapatan nontiket rendah dan subsidi dari pemerintah rendah, tarif pasti tinggi. Sebaliknya, apabila tarif ditentukan rendah, operator harus bekerja keras meminta subsidi ke pemerintah atau ke swasta untuk berinvestasi.
Doni P Joewono, Kepala Perwakilan BI DKI Jakarta, mengungkapkan, bagi Jakarta, pengembangan kawasan TOD bisa menjadi salah satu alternatif sumber pendapatan baru, khususnya dari pajak perdagangan di area itu. ”TOD bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru,” ujar Doni.