Hakim Korupsi karena Tamak
Padahal, menurut Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah, di Jakarta, Selasa (10/10), regulasi dan remunerasi yang diterima hakim relatif cukup.
Fasilitas
Untuk gaji pokok, Abdullah menjelaskan, yang diperoleh jajaran MA, mulai dari hakim hingga staf pengadilan, setara dengan tingkatan dalam pegawai negeri sipil. Akan tetapi, ada perbedaan dalam besar tunjangan yang disesuaikan dengan jabatan dan pangkat aparat peradilan terkait.
Sebagai contoh, Sudiwardono yang ditangkap KPK hanya menerima gaji Rp 2,6 juta atau 50 persen dari gaji pokoknya karena saat ini dirinya dalam posisi diberhentikan sementara. Namun, mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah MA, hakim tingkat banding yang menjabat sebagai ketua seperti Sudiwardono berhak mendapatkan tunjangan Rp 40,2 juta setiap bulan. ”Jadi, yang besar itu tunjangan jabatannya,” kata Abdullah.
Selain mendapatkan gaji pokok dan tunjangan, dalam Pasal 2 PP No 94/2012 juga disebutkan, hakim juga mendapatkan fasilitas seperti rumah negara, transportasi, jaminan kesehatan dan keamanan, serta biaya perjalanan dinas dan kedudukan protokol.
Terkait hal itu, jika ada hakim yang korupsi seperti menerima suap, hal itu bukan karena faktor pendapatan. ”Namun, itu dipicu oleh faktor keinginan dan gaya hidup,” kata Abdullah.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Miko Ginting, juga berpendapat, remunerasi yang diterima hakim sudah cukup. Oleh karena itu, langkah utama untuk mencegah terulangnya korupsi di lembaga itu adalah dengan membuka seluas-luasnya ruang akuntabilitas.
Pengawasan
Menurut Miko, korupsi di peradilan muncul karena kewenangan besar yang dimiliki hakim belum diikuti akuntabilitas yang kuat. Pengawasan terhadap hakim dan aparatur peradilan belum maksimal. MA memang memiliki Badan Pengawasan. Untuk memperkuat pengawasan hingga ke daerah, Badan Pengawas MA ini antara lain memanfaatkan 10 petugas yang telah dilatih KPK. Namun, jumlah personel itu dinilai masih amat terbatas dibandingkan jumlah sumber daya manusia yang harus diawasi.
Sistem pengawasan berjenjang juga belum sepenuhnya berjalan. Sudiwardono, yang ditangkap KPK, seharusnya menjadi perpanjangan tangan MA di provinsi untuk pengawasan. Namun, dia justru diduga terlibat kasus suap.
Sementara pengawasan oleh Komisi Yudisial (KY), dinilai Miko, belum maksimal karena masih adanya persoalan klasik sulitnya mendefinisikan teknis yudisial. Hal ini membuat rekomendasi KY akhirnya banyak yang tidak dijalankan karena dinilai merupakan teknis yudisial.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, menuturkan, perlu pula memperketat pengawasan terhadap hakim-hakim yang menjelang usia pensiun.
Selain itu, MA juga perlu mengeluarkan larangan mengadakan acara yang memerlukan biaya besar yang tidak ditanggung anggaran negara. Pendanaan acara itu bisa memaksa pejabat pengadilan untuk melakukan korupsi, apakah dengan memperdagangkan putusan atau komersialisasi jabatan.
Tidak kalah penting, menurut dia, ialah membangun keteladanan gaya hidup yang tidak berlebihan oleh pejabat peradilan paling atas hingga paling bawah. Gaji dan tunjangan pejabat peradilan ataupun hakim terukur sehingga sangat mudah untuk mengetahui apakah pejabat atau hakim itu korupsi atau dengan melihat gaya hidup dan profil rekeningnya.
Pembinaan karier
Pembinaan karier di lembaga peradilan juga perlu diperbaiki. Pasalnya, hal itu juga dapat menjadi awal mula terjadinya mafia peradilan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Lalola Easter, mengatakan, fenomena promosi dan mutasi di lembaga peradilan sudah menjadi rahasia umum. Misalnya, untuk tidak dimutasi, harus dekat dengan seseorang, bahkan kadang tak gratis. Padahal, semua jenjang dalam peradilan berkaitan satu sama lain, mulai dari perekrutan, promosi, hingga mutasi. Oleh karena itu, kecenderungan buruk pada promosi dan mutasi adalah salah satu penyebab gagalnya reformasi peradilan.
Juru Bicara KY Farid Wajdi mengatakan, pembinaan karier di peradilan masih diskriminatif. Ada hakim yang terus bertugas di Pulau Jawa, tetapi juga ada yang di pelosok daerah.
”Banyak keluhan hakim yang menyampaikan, dia tidak akan pernah bisa menjadi hakim di Jawa, apalagi Jakarta, kalau tidak punya cantelan,” ujar Farid.
Sementara, menurut Farid, hakim yang dimutasi ke daerah terpencil masih terkendala isu kesejahteraan. ”Banyak yang dipindahkan jauh dari tempat asalnya tanpa memikirkan kebutuhan. Salah satunya tempat tinggal. Padahal, mereka punya hak perumahan, transportasi, dan protokoler lainnya,” ujarnya.
Kesejahteraan, lanjut Farid, memang bukan segalanya di peradilan. Tingkat kesejahteraan yang mungkin belum baik juga tidak bisa dijadikan kambing hitam dalam belum optimalnya reformasi peradilan.
”Yang terpenting adalah integritas. Profesi hakim merupakan salah satu jabatan aparatur sipil negara dengan pendapatan paling tinggi,” ujarnya. (IAN/GAL/DD06)