Sehari Jadi Menteri, Forum Menyuarakan Isu Perkawinan Anak dan Kesetaraan Jender
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hari Anak Perempuan Internasional 2017 diperingati sejumlah anak-anak dan remaja dari beberapa daerah di Tanah Air dengan cara berbeda, Rabu (11/12). Sebanyak 21 anak dan remaja mendatangi Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menyuarakan harapan-harapan mereka melalui acara Sehari Menjadi Menteri.
Acara Sehari Menjadi Menteri yang digelar Plan International Indonesia, organisasi nonprofit yang peduli terhadap pemenuhan hak-hak anak dan kesetaraan anak perempuan, bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengajak 21 anak dan remaja perwakilan dari sejumlah daerah mengikuti acara tersebut. Salah satu dari 21 anak itu dipilih menjadi menteri PPPA.
Mereka hadir berkantor di Kementerian PPPA dan menjalankan peran sebagai menteri, sekretaris menteri, deputi, dan asisten deputi. Di sebuah ruang rapat mereka menggelar rapat layaknya rapat kementerian, dipimpin Ayu Juwita Bustomi yang terpilih sebagai menteri. Pada rapat tersebut mereka membahas permasalahan seputar anak dan perempuan, terutama perkawinan usia anak di Indonesia yang kini menjadi salah satu isu utama.
Seusai menggelar rapat, mereka menyerahkan sembilan butir rekomendasi kepada Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA Lenny N Rosalin. Dari sembilan rekomendasi tersebut, rekomendasi utamanya adalah menghentikan perkawinan anak.
Mereka segera menindaklanjuti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak, yang harus ditindaklanjuti dengan peraturan menteri. Selanjutnya, setiap daerah direkomendasikan membuat peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan wali kota, dan peraturan desa untuk menaikkan usia perkawinan anak.
Kampanye lewat media sosial
Untuk mendorong kampanye menghentikan perkawinan usia anak ini, Juwita dan kawan-kawan mendorong adanya gerakan melalui media sosial dengan 10.000 tagar dan 5.000 surat yang ditulis oleh masyarakat.
Tak hanya itu, butir rekomendasi yang lain juga menyuarakan agar legislatif dan eksekutif serta merampungkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan mengesahkan menjadi UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Ini penting untuk menghentikan kekerasan seksual terhadap anak.
Rekomendasi berikutnya adalah soal perlunya kampanye melalui berbagai media, terkait bahaya perkawinan usia anak dan pornografi yang bisa diakses oleh seluruh kalangan masyarakat.
Mereka juga meminta anak perempuan korban pernikahan usia anak agar diberi kesempatan berkembang, berpendapat, serta memutuskan dengan cara membuat program untuk mendorong korban kembali bersekolah. Harapan juga disampaikan kepada tokoh keagamaan dan tokoh adat untuk ikut menyosialisasikan pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif dan pencegahan perkawinan usia anak di komunitas dan sekolah dengan bekerja sama dengan anak yang memiliki bakat teater, puisi, musik, komik, dan cerpen
Di antara rekomendasi tersebut, para anak dan remaja perempuan tersebut menyampaikan rekomendasi yang meminta adanya pemerataan dan penguatan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) dan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) untuk mencegah perkawinan usia anak melalui berbagai program.
Mereka menawarkan tiga program. Pertama, program SERAK, yakni sekolah keterampilan untuk anak yang terpinggirkan dengan cara membuat pelatihan guna menambah keterampilan dan kemampuan kewirausahaan. Kedua, program NEW (No Exploitation to Women), yakni gerakan baru untuk tidak mengeksploitasi perempuan dan anak perempuan dengan cara mengombinasikan kegiatan seni dengan edukasi dan pemberian informasi mengenai pernikahan usia anak. Ketiga, Pekan Kreatif yang melibatkan komunitas dengan menyelipkan seni budaya.
Tak cuma itu, pemerintah diminta membuat program TVMas (Tim Evaluasi masyarakat) sebagai wadah independen dalam membantu pemerintah untuk mengevaluasi perda, perbup, perdes yang terkait perkawinan usia anak, kabupaten/kota layak anak (KLA), pelayanan kesehatan, dan akta kelahiran.
”Saya akan menyosialisasikan kepada teman-teman, baik di perguruan tinggi, sekolah, rumah, maupun komunitas agar tidak menikah di usia anak-anak. Kami akan sosialisasikan tentang bahaya kesehatan reproduksi dan dampak dari perkawinan usia anak,” kata Juwita yang juga pernah menjadi Sekretaris Forum Anak Daerah Sumatera Utara.
Menjadi pelopor
Lenny N Rosalin mengapresiasikan acara tersebut, terutama menyambut positif sembilan rekomendasi yang disampaikan dalam acara tersebut. ”Kalian akan menjadi pelopor pencegahan perkawinan anak-anak. Indonesia ingin memiliki anak-anak berkualitas dan hebat,” ujarnya
Terkait perkawinan anak, Lenny menegaskan, berbagai program telah dilakukan Kementerian PPPA. Setidaknya ada sejumlah langkah konkret yang dilakukan, yakni pendekatan terhadap anak melalui pembentukan Forum Anak di 402 daerah, pendekatan kepada keluarga melalui Puspaga dan PATBM, serta pendekatan kepada sekolah, tokoh masyarakat, dan pemda. ”Kabupaten/kota layak anak menjadi kulminasi semua proses intervensi pemerintah, saat ini sudah ada 327 kabupaten/kota yang komitmen menjadi KLA. Kalau sudah menjadi KLA berarti tidak ada lagi perkawinan anak di daerah itu,” tutur Lenny.
Country Director Plan International Indonesia Myrna Remata-Evora menegaskan, Hari Anak Perempuan Internasional bisa dijadikan momentum bagi semua pihak untuk memperkuat upaya pemberdayaan dan perlindungan anak perempuan, terutama dalam mendukung pencegahan perkawinan anak. Hal ini juga merupakan bentuk dukungan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin ke-5.
”Sehari jadi menteri merupakan satu langkah kecil kami untuk memberikan kesempatan bagi anak Indonesia maju, mau belajar, mengambil keputusan menjadi pemimpin untuk berhasil. Minimal mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya dengan kegiatan yang positif dan bermanfaat,” tuturnya.
Kegiatan yang didukung Unicef dan Aliasi Aksi Remaja Perempuan Indonesia (AKSI) ini bertujuan untuk memberi kesempatan bagi anak Indonesia, khususnya anak perempuan, belajar menjadi pemimpin; untuk memastikan anak perempuan di seluruh dunia dapat belajar (learn), memimpin (lead), memutuskan (decide), dan berkembang dengan baik (thrive).
Program Manager Plan International Indonesia Wahyu Kuncoro dan Gender and Inclusion Advisor Plan International Indonesia Nadira Irdiana menambahkan, 21 anak tersebut dipilih dari 1.800 kandidat yang ikut dalam kompetisi video blog berdurasi 90 detik untuk menyuarakan pendapatnya jika menjadi Menteri PPPA untuk menghentikan praktik perkawinan usia anak di Indonesia.
Sebelum menjalankan peran Sehari Jadi Menteri, mereka telah mendapatkan pelatihan dasar kepemimpinan selama 7-9 Oktober di Leadership Camp. Mereka belajar mengenai berbagai keterampilan kepemimpinan. Mereka juga diberikan pembekalan mengenai organisasi di Kementerian PPPA serta isu-isu hak anak dan kesetaraan gender, terutama isu yang berkaitan dengan pencegahan perkawinan usia anak.
”Tahun ini adalah tahun ke-2 kami menggelar acara Sehari Menjadi Menteri. Untik memastikan keberlangsungan program ini, anak-anak tersebut akan membuat program rencana kerja 100 hari yang akan dijalankan di daerah masing-masing,” kata Wahyu.