Nama Bemo di Atap Qute
Bersama dua Bajaj Qute lainnya, kendaraan Rusli berjajar rapi di seberang Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan. Di sana, mereka menunggu penumpang. Di bagian atas kaca depan si Qute terpasang stiker bertuliskan ”Manggarai-RSCM” yang merupakan rute warisan bemo.
”Ini, kan, pengganti bemo, jadi, ya, kami pasangi stiker seperti ini. Biar orang tidak bingung, soalnya bentuknya, kan, mirip bajaj,” ujar Rusli, mantan sopir bemo yang kini menjadi sopir Qute, Jumat (6/10).
Rusli baru menjadi sopir Qute selama dua bulan. Agustus lalu, bemo miliknya diderek petugas Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Hal tersebut memaksa Rusli, yang hampir 30 tahun menjadi sopir bemo, beralih pekerjaan menjadi sopir Qute. ”Saya ini semacam merintis lagi,” ujarnya.
Meskipun sama-sama berwarna biru seperti bajaj, Qute beroperasi dengan trayek yang sama seperti bemo. Sopir mulai menginjak gas setelah bangku penumpang terisi.
Total ada empat penumpang yang bisa diangkut Qute. Kadang sopir memaksakan agar lima penumpang terangkut sekaligus. Sementara bemo bisa mengangkut hingga tujuh penumpang. Berbeda dengan penumpang bemo yang duduk berhadap-hadapan, semua penumpang Qute duduk menghadap ke depan.
Selain di Manggarai, Qute juga beroperasi di kawasan Bendungan Hilir dan Pejompongan, Jakarta Pusat. Setiap 2-3 kilometer setidaknya ada dua atau tiga Qute berlalu-lalang mengangkut penumpang. Adapun enam lainnya mengetem di dekat Pasar Bendungan Hilir.
Asep (48), sopir Qute, umumnya menjalankan kendaraan sesuai rute bemo. ”Kalau ada carteran, ya, diambil. Tetapi, lebih sering ngangkut sewa (mengangkut orang sesuai trayek), lebih pasti soalnya,” ujarnya. Meskipun sudah berupaya melayani kebutuhan penumpang, rupiah yang dikantongi sopir Qute ini tergolong pas-pasan.
Ratoni (48), sopir Qute di Pejompongan, mengaku sehari paling banter mengantongi Rp 250.000. ”Itu harus disetorkan Rp 125.000 (kepada pemilik Qute) dan dipotong bensin Rp 20.000,” katanya.
Jika sedang ramai, Ratoni membawa pulang Rp 105.000. Uang itu ia gunakan untuk menafkahi istri dan tiga anaknya yang berada di Tegal, Jawa Tengah. Namun, itu tak sering. Beberapa kali pendapatan hari itu hanya cukup untuk makan Ratoni pada hari itu saja.
Ratoni, yang juga mantan sopir bemo, mengakui Qute lebih nyaman dikendarai. ”Namanya juga barang baru, jadi enggak mogok. Beda kayak waktu naik bemo dulu,” katanya.
Bemo lawasnya bisa dua kali mogok dalam satu minggu.
Berubah-ubah
Sejak lama, angkutan umum di Jakarta saling menggantikan. Lahirnya Qute menggantikan bemo yang dilarang beroperasi sejak awal Juni lalu.
Adolf Heuken SJ dalam Atlas Sejarah Jakarta (Cipta Loka Caraka, 2014) menuliskan, bemo diimpor pertama dari Jepang untuk menyambut Asian Games IV tahun 1962. Keberadaan bemo atas pesanan khusus presiden pertama RI Soekarno.
Gubernur DKI Ali Sadikin, tahun 1970-an, mengganti becak dengan bemo atau becak motor. Becak dinilai tidak manusiawi. Pemprov DKI waktu itu mengatur tarif bemo.
Seiring dengan waktu, pelarangan bemo muncul sejak 1996. Penindakan tegas berupa penderekan paksa baru dilakukan pertengahan tahun ini.
Sebagai gantinya, muncullah Qute yang dianggap lebih ramah lingkungan dan lebih aman karena memiliki empat roda.
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26 Tahun 2017, Qute dimasukkan dalam kategori angkutan kawasan tertentu.
”Di Permenhub memang tidak disebutkan secara jelas kalau Qute tidak boleh mengangkut orang di pinggir jalan meskipun sudah ada penumpang yang diangkut sebelumnya. Tetapi, sebenarnya kendaraan itu peruntukannya semacam diborong satu orang,” kata Kepala Bidang Angkutan Jalan Dinas Perhubungan DKI Jakarta Massdes Arouffy di kantornya, Rabu (4/10).
Massdes mengatakan, saat ini jumlah Qute sekitar 70 unit.
Petrus Tukimin, Ketua Unit Angkutan Lingkungan Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda), punya pendapat berbeda. ”Kebanyakan penumpang Qute itu, kan, mantan penumpang bemo, jadi mikir-nya masih sama kayak naik bemo,” katanya.
Azimah (52), penumpang Qute, juga berpikir bahwa Qute merupakan angkutan peremajaan dari bemo. ”Saya pikir sama saja dengan bemo, cuma ukurannya saja yang lebih kecil,” kata warga Pejompongan ini seusai pulang dari Pasar Bendungan Hilir.
Harga mahal
Meski bemo sudah dilarang, sebagian mantan pemilik bemo enggan beralih ke Qute. Alasan utamanya, harga Qute Rp 65 juta dinilai mahal.
Apabila membeli secara kredit, calon pembeli harus menyediakan Rp 10 juta sebagai uang muka serta menyerahkan bemonya untuk dibongkar dan dijadikan besi tua. Tanpa menyerahkan bemo, calon pembeli harus membayar uang muka Rp 17 juta. Selain itu, pemilik juga harus membayar angsuran Rp 2,3 juta per bulan selama empat tahun.
Di wilayah Bendungan Hilir dan Pejompongan, Jakarta Pusat, bemo masih terlihat beroperasi awal bulan ini. ”Saya belum yakin dengan Qute. Makanya, belum berani untuk membeli,” ujar Iis (45), pemilik bemo.
Selain itu, bemo juga dianggap sebagai bagian hidupnya. ”Saya agak enggak rela kalau mau diganti jadi bajaj (Qute),” ucap Iis.
Iis kini memiliki empat unit bemo. Satu bemonya ia kirimkan ke Sragen, kampung halaman suaminya, untuk dijadikan pajangan. Tiga lainnya masih beroperasi. Jika ketiga bemo yang ia miliki itu ditangkap dan diderek oleh Dishub, ia bertekad mengambilnya kembali.
Pada 2009, ia memiliki sekitar 10 bemo. Namun, satu per satu bemo ia jual untuk membangun usaha lain. (DD16/DEA)