Dua minggu tinggal seadanya di pengungsian bukan hal mudah bagi sebagian warga Bali. Namun, harapan tetap tumbuh meski nasib mereka diselimuti ketidakpastian.
I Gusti Nengah Ayu (50) menatap kosong saat beberapa temannya pergi dengan pakaian rapi untuk sembahyang, Kamis (5/10). Mereka menuju Pura Puseh Ulakan, Karangasem, yang berjarak sekitar 500 meter dari Pos Pengungsian Ulakan, tempat Nengah Ayu tinggal pasca-Gunung Agung ditetapkan berstatus Awas sejak 22 September 2017. Hari itu bertepatan dengan upacara Purnama Kapat, salah satu momen penting meraih berkah dan kesucian bagi umat Hindu Bali.
”Untuk pertama kali saya absen upacara Purnama Kapat. Jauh dari kampung halaman. Saya tidak membawa baju doa dan persembahan. Mau beli tidak punya uang,” katanya sedih.
Nengah Ayu adalah warga Subagan, Karangasem. Rumahnya berjarak sekitar 15 kilometer dari Ulakan. Rumahnya berada di zona rawan, radius 9 kilometer (km) dari puncak Gunung Agung. Sehari setelah status Awas ditetapkan, bersama kerabatnya ia pun mengungsi.
Di Ulakan, ia tinggal bersama ribuan pengungsi lain. Meninggalkan rumah yang nyaman, tinggal beratap tenda dan beralas tanah keras dilapisi terpal.
”Makanan olahan untuk Purnama Kapat sudah saya siapkan di rumah sejak sebulan lalu. Bahannya sekitar 4 kilogram beras. Sudah ada yang dicampur kelapa. Itung-itung dicicil. Namun, saat mengungsi, bahan-bahan itu tak sempat saya bawa,” kata Nengah Ayu.
Meski demikian, harapan tak pernah mati. Walaupun tak pergi ke pura, Nengah Ayu tetap memanjatkan doa di pengungsian. Dia yakin, Ida Sang Hyang Widhi Wasa memahami keterbatasan yang dia alami bersama para pengungsi lainnya.
Pasrah
Meski tak tahu sampai kapan, Nengah Ayu enggan pulang ke rumah. Ia sadar itu berbahaya. Gunung Agung bisa meletus kapan saja. Mengungsi diyakini merupakan pilihan terbaik mensyukuri kehidupan. Ida Sang Hyang Widhi Wasa pasti tetap melindungi, sekarang dan selamanya.
”Semoga kami selalu diberi berkah. Saya ingin Gunung Agung tidak meletus, tetapi saya pasrah,” kata Nengah Ayu, yang banyak belajar tentang potensi bencana Gunung Agung saat berada di pengungsian.
Baca: Perjuangan wartawan Kompas saat meliput Gunung Agung.
Kesabaran Nengah Ayu patut jadi contoh. Hingga kini masih banyak orang yang nekat menerobos zona rawan Gunung Agung. Tak hanya warga biasa, juga para pejabat. Rekomendasi larangan beraktivitas yang ditetapkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dalam zona rawan 9 km dan perluasan sektoral 12 km tidak diindahkan.
Tinggal di Banjar Karya Nadi di Padang Bai, Nyoman Raka (43) lebih beruntung. Dia ikut upacara Purnama Kapat. Saat mengungsi dari rumahnya di Kampung Yeh Bungah, Desa Jungutan, Kecamatan Bebandem, Karangasem, ia membawa banyak bekal, salah satunya baju doa terbaiknya.
”Meski tak punya ayam atau hasil bumi untuk persembahan, saya berbaur dengan warga setempat berdoa di Pura Segara agar semakin akrab,” katanya. Pura Segara berjarak sekitar 100 meter dari Banjar Karya Nadi.
Nyoman Raka mengatakan, keakraban itu adalah modal terbesar yang dia pertahankan saat tinggal di tanah orang. Buahnya sudah ia rasakan, kemurahan dan kerelaan warga.
Selama Gunung Agung masih berstatus Awas, dia dan 240 warga Desa Jungutan lain diperbolehkan tinggal di banjar. Akan tetapi, kenikmatan mengungsi tentu tak sepadan dibandingkan tinggal di rumah sendiri. Selain khawatir merepotkan, banyak hal ingin dilakukan.
”Saya ingin cari kerja lagi supaya jadi bekal setelah tidak tinggal di sini. Tentu setelah saya diperbolehkan pulang oleh pemerintah,” katanya.
Shalat jemaah
Warga Muslim di Bali juga memanjatkan doa. Mereka memanjatkan harapan dilindungi dari potensi erupsi Gunung Agung. Di Pos Pengungsian Desa Buitan, Kecamatan Manggis, misalnya, umat Muslim rutin shalat berjemaah dan berdoa bersama. Kumandang ayat-ayat suci Al Quran terdengar nyaris setiap malam. Sebanyak 125 pengungsi yang mayoritas berasal dari Subagan, Bungaya Kangin, dan Karangasem menginap di lahan kosong milik Masjid Al Hikmah, Buitan.
Penanggung jawab Pos Pengungsian Buitan, Yaya Sukarna, mengatakan, shalat jemaah dan doa bersama dilakukan agar pengungsi tetap tenang menghadapi ketidakpastian erupsi Gunung Agung. ”Kami berdoa memohon yang terbaik kepada Allah,” ujar Yaya.
Di tengah ketidakpastian, mereka belajar hidup bersama bencana. Dibantu para relawan bencana, warga menyerap banyak ilmu baru. Pengungsi antusias mencari pengetahuan tentang mitigasi bencana. Mulai dari pemetaan wilayah bahaya, pengetahuan tentang pemetaan jalur evakuasi, hingga simulasi gunung meletus dilahap antusias.
”Kami ingin mempersiapkan semuanya untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Semoga semua yang terjadi memberikan hikmah dan berkah di kemudian hari,” kata Yaya.
Dan, doa dari beragam keyakinan pun mewarnai Bali hari Kamis itu. Meski sore di Pelabuhan Padang Bai semakin tua, Nyoman Raka belum beranjak dari posisinya. Harapan dan terima kasih masih disampaikannya kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
”Semoga Gunung Agung tidak meletus. Namun, jika terjadi, semoga tidak menghancurkan, tetapi memberikan kehidupan lebih baik untuk masa depan Bali,” ujar Nyoman Raka penuh harap.
Dalam duka, sebagian pengungsi mengajarkan banyak hal. Lelah tak membuat mereka menyerah. Selalu berharap terbaik menghadapi segala kemungkinan yang bisa datang tiba-tiba. Doa membantu mereka untuk pasrah.