JAKARTA, KOMPAS — Unsur mahasiswa menjadi pihak yang paling dirugikan dari buruknya pengelolaan perguruan tinggi hingga berujung pada pencabutan izin operasional perguruan tinggi swasta. Kerugian yang dimaksud menyangkut waktu studi yang molor, biaya, dan trauma psikologis.
Sekretaris Pelaksana Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah IV (Jawa Barat) Subahi Idris mengungkapkan, penutupan PTS harus diikuti langkah untuk meringankan kerugian para mahasiswa. Mahasiswa perlu dipandu mencari PTS lain dengan program studi yang sesuai dengan yang mereka ambil di PTS asal. Dalam masa perpindahan ini, yayasan PTS asal diwajibkan membantu dengan mengeluarkan transkrip nilai dan surat rekomendasi.
”Mahasiswa ini adalah korban dan tak boleh dipersulit. Mereka pindah bukan karena keinginan pribadi, melainkan karena perguruan tingginya bermasalah,” ucap Subahi, Jumat (13/10).
Saat ini, nasib sekitar 6.400 mahasiswa eks Universitas PGRI Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak jelas menyusul konflik internal perguruan tinggi mereka sejak 2013. Juni 2017, izin operasional PTS itu dicabut Menristek dan Dikti. Universitas tersebut bagian dari 20 PTS yang dicabut izin operasionalnya sepanjang 2016-2017.
Menyusul pencabutan izin operasional, Kemristek dan Dikti mengaktifkan dua universitas baru di NTT. Menurut Kepala Biro Bina Sosial Sekretariat Daerah Provinsi NTT Barthol Badar, mahasiswa ditawari memilih salah satunya sebagai tempat melanjutkan pendidikan. Kedua universitas baru itu adalah Universitas Aryasatya Deo Muri dan Universitas Persatuan Guru 45 NTT.
Rafael Rinta (27), mahasiswa eks PGRI NTT, mengatakan, sebagian mahasiswa eks PGRI enggan melanjutkan pendidikan di salah satu dari dua universitas itu demi keamanan dan keabsahan ijazah mereka ke depan. ”Kami butuh penjelasan dan jaminan agar tidak menjadi korban kedua kalinya,” ujarnya.
Koordinator Forum Mahasiswa Eks Universitas PGRI NTT Kupang Mailani Yunus menyatakan, pihaknya mendesak Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan (YPLP) Perguruan Tinggi PGRI NTT agar mengganti semua biaya yang timbul akibat pencabutan izin operasional Universitas PGRI. Tuntutan ini merujuk pada SK pencabutan izin operasional oleh Menristek dan Dikti, Juni 2017, bahwa dampak yang timbul dari pencabutan ini ditanggung pihak yayasan.
Ketua YPLP Perguruan Tinggi PGRI NTT Suleman Radja mengatakan, persoalan terkait PGRI sudah selesai. ”Kami menerima mereka entah di semester berapa pun. Saat ini pendaftaran bagi mereka masih terbuka,” kata Radja.
Subahi menuturkan, dalam proses pemindahan mahasiswa, PTS penerima diimbau tidak memungut biaya tambahan seperti uang gedung dan uang pendaftaran. Namun, belum semua PTS bisa menerapkan hal ini, beberapa hanya bisa memberikan keringanan biaya pindah.
Meluruskan
Sementara itu, Kepala Biro Humas Kementerian Perindustrian Setia Utama meluruskan pemberitaan Kompas padaJumat (13/10). Dalam berita tertulis, yang dicabut izinnya adalah Sekolah Tinggi Manajemen Industri Indonesia (STMI) Jakarta yang kemudian berganti nama menjadi Politeknik STMI Jakarta. Menurut Setia, keduanya merupakan PT yang berbeda. STMI yang diberitakan sebenarnya merujuk pada STMII, sebuah PTS yang berlokasi di Jakarta Utara. Sementara STMI adalah PTN di bawah pengelolaan Kementerian Perindustrian yang berlokasi di Jakarta Pusat.
Berdasarkan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, program studi dan ijazah Politeknik STMI Jakarta dengan kode PT 435002 adalah legal. ”Karena itu, pernyataan seorang mahasiswa bahwa ijazah tidak diakui negara adalah tidak benar. Lulusan yang akan mendaftar CPNS tetap diakui ijazahnya,” kata Setia. (DNE/KOR/DD13)