Gunung Agung ”Guru” untuk Semuanya
I Nyoman Pasek (60) semringah menyambut puluhan tetangganya pulang kampung, Sabtu (7/10). Setelah dua minggu tinggal terpencar di pengungsian, warga Hyang Api, Desa Muncan, Kecamatan Selat, Karangasem, Bali, berkumpul lagi.
”Baru tiba?” tanya Pasek.
”Iya. Kami mengungsi
di Banjar Lebah, Semarapura Kaja,” ujar I Nyoman Tirta (54), salah seorang pengungsi.
Pasek pulang dari pengungsian dua hari sebelumnya. Namun, ia masih saja ketakutan. Sejak dua pekan lalu, kekhawatiran jadi temannya. Lama tak terjadi, belasan gempa menyapa pertengahan September 2017.
Kecemasannya semakin menjadi saat Gunung Agung ditetapkan berstatus Awas, level tertinggi bahaya gunung api, 22 September 2017. Dia masih bertahan di rumah hingga empat hari kemudian.
Tak punya banyak pengetahuan kegunungapian, pikiran Pasek kalut. Gempa masih ia rasakan. Ironisnya, dia pernah merasakan hal serupa 54 tahun lalu pada tahun 1963, tetapi masih saja minim informasi.
Pasek masih trauma. Ia belum pernah ikut pelatihan bencana. Buruh tani ini bahkan tak tahu apakah rumahnya masuk zona rawan, di dalam radius 9 kilometer dan 12 km sektoral dari puncak gunung atau tidak.
Di pengungsian, ilmu tentang bencana bertambah secuil. Setidaknya, ia tahu rumahnya ada di zona aman. Tawaran pulang ke rumah ia terima. ”Dulu setelah letusan 1963, saya tidak belajar tentang banyak hal karena miskin. Akibatnya, sampai sekarang saya buta huruf,” kata Pasek.
Ia ikut dalam rombongan warga Bali yang menjadi transmigran di Lampung setelah erupsi 1963. Naik kapal laut dan kereta api. Namun, kehidupan berat di tanah rantau membuatnya kembali ke Bali 10 tahun kemudian. Hidupnya urung berbuah manis karena tak pernah sekolah. Seumur hidupnya, pekerjaannya hanya dua, buruh tani dan bangunan.
I Nyoman Tirta juga merasakan hal serupa. Geliat Gunung Agung memberikan banyak pelajaran. Berusia dua bulan saat Gunung Agung meletus tahun 1963, ia hanya mendapat cerita mengerikan. ”Di pengungsian saya belajar. Rumah saya mungkin hanya terkena hujan abu, tetapi harus waspada, jaga-jaga jika keadaannya berubah,” kata buruh tani dengan upah Rp 50.000 per hari itu.
Istri Tirta, Ni Ketut Tunas (54), juga demikian. ”Jujur, waktu di pengungsian, saya baru tahu tentang daerah bahaya. Di sana juga diberi tahu pentingnya pakai baju lengan panjang, pakai masker, hingga tinggal di rumah jika ada hujan abu,” katanya.
Pelajaran baru
Akan tetapi, kali ini Gunung Agung tak hanya memberikan pelajaran baru bagi warga setempat. Ahli gunung api dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi juga merasakan hal serupa. Di tengah minimnya data sejarah letusan, mereka mendapat ujian besar.
Laporan-laporan lawas tentang Gunung Agung tak terlalu banyak membantu. Karakteristik tak banyak diketahui. Pos pemantauan Gunung Agung di Kecamatan Rendang, Karangasem, bahkan baru berdiri setahun setelah letusan 1963.
Dinamika seputar alat pemantau juga mewarnai geliat Gunung Agung kali ini. Tiga dari sembilan transmiter seismograf di sekitar Gunung Agung dan Gunung Batur sempat rusak. Peralatan tambahan didatangkan guna mengoptimalkan pemantauan, seperti 3 seismometer, 2 kamera pemantau, dan 2 tiltmeter.
Terakhir, pada 10 Oktober, untuk menguatkan pemantauan, PVMBG bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengamati kawah menggunakan pesawat tanpa awak (drone) meski hasilnya belum maksimal.
Gunung Agung juga mengajarkan Pemerintah Provinsi Bali cara menangani pengungsi dengan benar. Pengungsi bolak-balik pulang memberi pakan ternak, perubahan daerah rawan tetapi minim sosialisasi kepada warga, hingga ada warga yang enggan mengungsi masih menjadi masalah.
Puncaknya saat data penghitungan pengungsi meleset jauh dari perhitungan awal. Kesalahan data itu baru diketahui setelah status Awas masuk minggu ketiga. Dari perkiraan awal hanya 70.000 orang, melonjak dan potensinya mencapai 185.865 orang dari 54.788 rumah tangga. Padahal, pendataan yang benar sangat memengaruhi distribusi logistik.
Akan tetapi, harapan itu tak semudah yang dibayangkan. Hati Pasek belum sepenuhnya tenang. Tak sekadar butuh logistik, ia juga waswas karena Gunung Agung masih Awas. Pasek masih menyesuaikan diri. Tidur di atas pukul 24.00 Wita dan bangun 3-4 jam kemudian. Ia khawatir gempa datang lagi, berpotensi menghancurkan rumahnya yang berdinding batako.
Pasek berharap, pemerintah terus mendampingi warga minim ilmu seperti dirinya. Semuanya bisa jadi modal belajar hidup baru meski dibangun di atas puing kekhawatiran.
”Saya miskin, tidak punya apa-apa selain mendoakan semua pihak agar bekerja dengan baik. Semoga Gunung Agung tak pernah berhenti mengajarkan banyak hal bagi kita semua,” katanya.
Bangun dari tidur panjang, Gunung Agung kembali memperlihatkan keperkasaannya, serupa dengan namanya. Dia menjadi guru, memberikan pelajaran bagi manusia untuk tak berhenti belajar hidup aman di sekitarnya. (NIK/CHE/KRN)