Bareskrim Polri Teliti Laporan tentang Anies Baswedan
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR dan IWAN SANTOSA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Reserse Kriminal Polri masih meneliti laporan dugaan tindak pidana diskriminatif ras dan etnis yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Selain itu, penyidik juga memerlukan waktu untuk memeriksa sejumlah berkas dalam laporan itu sebelum memanggil pihak terlapor.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengatakan, laporan tersebut akan disampaikan kepada direktorat terkait, yaitu Direktorat Tindak Pidana Kriminal Umum, untuk dikaji dan diperiksa kelengkapan berkas. Setelah itu, penyidik akan memanggil saksi pelapor untuk mengetahui perkara yang dilaporkan itu.
Laporan tersebut akan disampaikan ke Direktorat Tindak Pidana Kriminal Umum untuk dikaji dan diperiksa kelengkapan berkas. Setelah itu, penyidik akan memanggil saksi pelapor untuk mengetahui perkara yang dilaporkan itu.
”Untuk kapan pelapor akan diperiksa? Tunggu nanti dari penyidik,” kata Setyo, Rabu (18/10), di Jakarta.
Seperti diketahui, Selasa (17/10), seseorang bernama John Boyd Lapian melaporkan Anies terkait pidato pertamanya sebagai Gubernur DKI Jakarta, Senin. Anies dilaporkan terkait dugaan melanggar Pasal 4 Hurf B ke-1 dan 2 serta Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Laporan itu pun diterima Bareskrim dengan nomor TBL/735/X/2017/Bareskrim.
PSI kritik pidato Anies Baswedan
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengkritik pidato pelantikan Anies Baswedan yang dinilai tidak mencerminkan jiwa kepemimpinan Bhinneka Tunggal Ika. Rian Ernest, Ketua PSI Jakarta, menyatakan, Selasa, PSI melihat sosok Anies Baswedan sebagai doktor bidang ilmu politik lulusan Amerika Serikat, mantan rektor termuda di Indonesia, penggagas gerakan Indonesia Mengajar, dan mantan Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah di Kabinet Kerja.
”Penggunaan istilah pribumi di dalam pidato Anies menyegarkan ingatan pada Peristiwa Mei 1998 dan Kampanye Pilkada DKI 2017. Istilah pribumi digunakan pada masa-masa krusial dalam politik untuk menciptakan ketegangan. Presiden BJ Habibie bahkan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 untuk menghentikan penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan,” kata Rian.
PSI Jakarta bersikap membela toleransi di Ibu Kota negara, menggarisbawahi ketidakpantasan Anies Baswedan sebagai kepala daerah yang baru dilantik, menggunakan istilah pribumi. Sejarah Indonesia, menurut Rian, label pribumi dilakukan penjajah Belanda dengna tujuan membedakan perilaku dan hak sesama warga yang hidup dan tinggal di Indonesia. Ini adalah bagian dari politik pecah belah, yakni devide et impera. Belanda membagi penduduk dalam golongan Eropa, Timur Asing, dan Pribumi.
PSI menilai Anies menikmati ombak dari polarisasi agama. Padahal, dahulu, Anies penggagas ’Tenun Kebangsaan’ yang menyatakan Republik Indonesia dirancang untuk melindungi segenap warga negara.
PSI menilai Anies menikmati ombak dari polarisasi agama. Padahal, dahulu, Anies adalah penggagas ”Tenun Kebangsaan” yang menyatakan Republik Indonesia dirancang untuk melindungi segenap warga negara. Tenun kebangsaan dirajut dari berbagai suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, dan geografis yang unik. Ucapan pribumi oleh Anies dianggap memperbesar perbedaan atas nama suku bangsa yang dahulu justru dilakukan penjajah untuk melanggengkan kekuasaan di Nusantara.
PSI Jakarta menyatakan tidak sepakat dengan penggunaan istilah pribumi yang digunakan Anies karena merupakan warisan kolonial untuk memecah belah rakyat, Anies dinilai mengingkari janji sebagai pemimpin seluruh kelompok masyarakat, dan terakhir Anies diminta bekerja dan memberikan bukti serta tidak membangkitkan intoleransi warisan penjajah.
Secara terpisah, Ketua Setara Institute Hendardi menyatakan, isu SARA semula hanya dinilai digunakan dalam pilkada oleh pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, tetapi dalam pidato politik Anies justru muncul visi politik rasisme. Itu hendak dijadikan landasan dalam memimpin Jakarta.
Pidato penuh paradoks yang satu sisi mengutip Soekarno tentang negara semua untuk semua, tetapi di sisi lain menggelorakan supremasi etnisitas dengan berulang kali menegaskan pribumi dan nonpribumi sebagai diksi untuk membedakan pemenang dan yang lainnya.
”Pidato penuh paradoks yang satu sisi mengutip Soekarno tentang negara semua untuk semua, tetapi di sisi lain menggelorakan supremasi etnisitas dengan berulang kali menegaskan pribumi dan nonpribumi sebagai diksi untuk membedakan pemenang dan yang lainnya. Pernyataan Anies bukan hanya keluar dari nalar etika seorang pemimpin provinsi yang menjadi melting pot yang plural. Dia juga membangun jurang perbedaan atas dasar ras. Kebencian rasial adalah awal dari praktik genosida seperti terjadi di Myanmar. Genosida tidak hanya dalam tindakan fisik, tetapi juga dalam penegasian ras dan etnis lain dalam membangun Jakarta,” kata Hendardi.
Menurut dia, Anies Baswedan bisa dianggap melanggar semangat etis Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
”Pada hari pertama seharusnya Anies melakukan emotional healing atas keterbelahan warga Jakarta akibat politisasi identitas, tetapi justru mempertegas perbedaan sosial atas dasar ras dan etnis. Itu tidak sesuai dengan demokrasi dan Pancasila karena mengutamakan supremasi golongan dan mengoyak persaudaraan warga,” kata Hendardi.