Nestapa Semalam di Pengungsian
Sepi. Hanya sayup-sayup suara batuk dan tangis anak kecil yang terdengar di kompleks GOR Swecapura, Klungkung, Bali, Rabu (11/10) malam. Jarum jam menunjukkan pukul 23.00 Wita. Namun, malam tak sepenuhnya terlelap. Jauh dari gemerlap kota, lampu harapan masih berusaha dinyalakan.
Malam itu seharusnya istimewa bagi I Made Pageh (17). Lebih dari tiga minggu mengungsi meninggalkan rumah, untuk pertama kalinya ia tidur di kasur empuk. Tak lagi beralas tikar tipis di lantai dingin seperti di rumahnya.
Akan tetapi, Pageh sepertinya tidak bisa menikmati kasur empuk di pengungsian. Ia demam tinggi. Suhu tubuhnya 40 derajat celsius. Pageh bahkan mungkin tak sadar bahwa malam itu ia tidur di kasur.
Pageh adalah satu dari sekitar 1.500 pengungsi Gunung Agung di kompleks GOR Swecapura. Dia pergi meninggalkan rumah sejak status Awas Gunung Agung pada 22 September. Rumahnya berada di Duda Utara, Kecamatan Selat, Karangasem, di dalam zona rawan radius 9 kilometer dari puncak gunung. Ada 170 warga Duda Utara lainnya yang harus angkat kaki dari rumah untuk sementara waktu.
Tak kebagian tempat di dalam gedung GOR dan tenda darurat, Pageh dan sebagian warga Duda Utara tidur di pendopo di halaman. Tanpa sekat, angin dingin malam dan siang yang lembab sangat menyiksa. Beragam penyakit rentan berdatangan. Pageh menjadi korbannya.
Tubuhnya menggigil. Tidurnya pasti tak nyenyak. I Wayan Sumantra (32), paman Pageh, beberapa kali mengusap tubuh keponakannya. Semalaman, Sumantra setia duduk di pinggir kasur menemani Pageh. ”Apabila panasnya tambah tinggi, mau dibawa ke dokter,” katanya.
Mata Sumantra tak lepas dari Pageh saat berkisah sedih di pengungsian. Tak pernah mudah tinggal jauh dari rumah. Apalagi, kondisinya serba terbatas berada di pengungsian.
Akan tetapi, Sumantra mengatakan, mungkin inilah cara terbaik yang harus ditempuh saat Gunung Agung menggeliat. Ia berharap tetap diberi kesabaran menunggu kabar baik di antara keadaan serba tak pasti.
Mudah terjadi gesekan
Bukan hanya warga di pengungsian yang hidupnya tak pasti. Eks pengungsi pun merasakan hal sama meski sudah diperbolehkan pulang ke rumah.
Nyoman Artha (45), warga Banjar Benekasa, Desa Muncan, Kecamatan Selat, Karangasem, misalnya. Dia pernah dua minggu mengungsi di Banjar Gunung Hyang, Kelurahan Semarapura, Kabupaten Klungkung. Ia pulang setelah rumahnya berada di luar zona rawan.
Tiba di rumah, buruh tani itu enggan istirahat. Cangkul diayunkan untuk menggarap sawah. Parang ditebas untuk memotong rumput. Ada dua sapi yang harus diberi makan. Semua jadi modal membayar utang.
Nyoman harus bekerja keras. Utangnya mencapai Rp 2,5 juta, yang dipakai modal menanam padi. Setiap bulan ia harus membayar Rp 240.000 hingga setahun ke depan.
”Sepertinya bulan ini belum bisa bayar, nanti minta digabung sekaligus bulan depan. Selama di pengungsian saya tidak bekerja, hidup terkatung-katung,” kata Nyoman.
Kondisi itu harus menjadi perhatian semua pihak. Tanpa harus memaksa menurunkan status Awas Gunung Agung saat ratusan gempa masih datang setiap hari, terobosan harus dilakukan pemerintah agar pengungsi tak sengsara. Kisah suram pengungsi Gunung Sinabung di Sumatera Utara bisa jadi pelajaran berharga.
Meletus pada 2010, status Awas Sinabung belum turun dalam dua tahun terakhir. Sebanyak 7.475 jiwa sampai saat ini masih mengungsi di delapan posko. Lama hidup dalam keterbatasan, mereka rentan terus memelihara nestapa.
Nasib Monas Sitepu bisa jadi cermin kisah sedih itu. Saat Sinabung pertama meletus, ia belum sekolah. Kini, Monas sudah duduk di kelas VI SD di Kabanjahe. Sudah empat kali ia pindah sekolah, ikut orangtuanya mengungsi.
Ditemui saat sedang menunggu bus sekolah di Posko Pengungsian Gedung KNPI Kabanjahe, Selasa (10/10), wajah Monas sekusut seragam merah putihnya yang belum disetrika.
”Tidak enak jadi pengungsi,” kata Monas.
Ia kerap dicemooh di sekolah. Cap buruk sebagai anak pengungsi diberikan kepadanya. Cemoohan itu mungkin berasal dari kondisi seadanya di pengungsian. Gedung KNPI Kabanjahe, tempat tinggal Monas dan keluarganya, misalnya, kondisinya tak ideal. Ruangan berukuran 5 meter x 5 meter dihuni 20 keluarga asal Sukanalu Teran, termasuk keluarga besar Monas.
Mereka tidur bersama tumpukan beragam barang. Kain-kain dan baju digantung berderet di dinding. Malam terasa pengap saat pengungsi tidur berimpitan.
Perselisihan antar-pengungsi juga mudah terbakar di tempat sekecil itu. Tak ada ruangan yang layak membuat Monas dan anak-anak lainnya enggan belajar. Mereka baru belajar saat ada relawan datang.
Warga berharap relokasi dan hunian sementara segera terwujud. Mereka tidak ingin terlalu lama hidup seperti itu di pengungsian. Meski Gunung Agung belum erupsi, para pengungsinya jelas tak ingin merasakan getir di Sinabung.
Biaya sendiri
Dalam senyap, malam berganti pagi di pengungsian. Namun, bagi I Komang Linggih Astawa (28) rasanya tetap sama. Tugasnya masih menumpuk. Baru lima bulan menjabat kepala dusun di Pendem, Desa Muncan, Kecamatan Selat, masa depan sebagian pengungsi ada di tangannya.
Lampu di tendanya masih menyala saat langit masih gelap. Cahaya lampu yang kuning itu temaram, tapi mampu menuntun Linggih mengerjakan tugas.
Ada banyak lembar kartu identitas pengungsi yang harus diisi. Linggih ingin memastikan warga dusun memiliki kartu itu agar bisa mendapatkan bantuan logistik selama mengungsi, termasuk untuk dirinya dan keluarganya. ”Saya pengungsi yang urus pengungsi,” katanya.
Tak mudah bagi Linggih mengumpulkan data dari 221 rumah tangga pengungsi asal Pendem. Mereka tersebar di sejumlah tempat. Beberapa masih ada di Karangasem dan Klungkung. Sebagian lainnya ada yang mengungsi ke Bangli, Buleleng, hingga Gianyar.
Menggunakan sepeda motor yang bensinnya dibeli sendiri, Linggih mendatangi warganya satu per satu. Butuh empat hari untuk bisa mendapatkan semua data tersebut. Linggih ikhlas melakukan semuanya. Kartu pengungsian sangat vital bagi pengungsi. Saat kebutuhan logistik terpenuhi, Linggih yakin pengungsi sedikit lebih tenang menata hidup.
Tak ada yang tahu kapan bencana alam bisa terjadi. Hanya persiapan terbaik yang bisa menentukan akhir ceritanya berujung bahagia.
(KRN/NIK/WSI)