JAKARTA, KOMPAS — Jagat media sosial hingga Selasa (17/10) malam masih gaduh memperbincangkan isi pidato Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan setelah pelantikan, khususnya terkait penyebutan kata pribumi. Penggunaan kata itu melanggar aturan dan kurang bijaksana.
Anies mengatakan, kalimat dalam naskah pidato yang ia akui ia buat sendiri itu dalam konteks era penjajahan. ”Jakarta adalah kota yang paling merasakan penjajahan. Kota-kota lain, kan, tidak melihat Belanda dari dekat. Yang lihat Belanda dari dekat siapa? Jakarta,” ujar Anies, kemarin.
Dalam pidatonya di halaman Blok G, Balai Kota, pidato Anies menyebut, ”Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri.” Kalimat itu diucapkan setelah ia menyebut rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan kolonialisme.
Saat itu, di luar halaman Balai Kota dibentangkan spanduk putih berhuruf hitam yang menyebut kebangkitan pribumi. Pada Senin malam, media sosial mulai ramai dan sejumlah situs media daring turut memuatnya.
Anies menilai media itu memelintir berita dan meminta agar dikoreksi.
Sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 26 Tahun 1998, penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dilarang, terutama dalam perumusan, perencanaan, dan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Kata-kata itu diminta dihindari karena mengandung arti kata yang diskriminatif.
Dalam siaran persnya, peneliti retorika dan media Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Desideria Murti, dari Perth, Australia, menyatakan, penyebutan kata pribumi bisa mengganggu proses rekonsiliasi sehingga disarankan bijak memilih kata agar tak menimbulkan polemik.
Pemilihan kata pribumi biasa dilakukan pejabat. Namun, kekuatan dampaknya bergantung pada siapa dan bagaimana dipakai.
Selain diatur dalam Inpres No 26/1998, larangan juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. ”Tidak ada pribumi dan nonpribumi. Yang ada warga negara Indonesia dan warga negara asing,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono.
Karena itu, ia mengimbau kepala daerah tak lagi menggunakan istilah itu. Sekalipun maksudnya memantik semangat
pemberdayaan warga lokal, pemilihan kata itu tetap tidak pas.
”Sebaiknya dihindari, dan saya ingatkan lagi kepala daerah lain dan warga, jangan digunakan lagi. Kita semua harus menjaga suasana teduh. Semua harus menjaga nilai keberagaman dalam kebersamaan,” kata Sumarsono.
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan berharap gubernur terpilih bisa bekerja baik dan mengayomi seluruh rakyat Jakarta dengan latar belakang berbagai golongan, suku, dan agama.
”Jangan ada dikotomi pribumi-nonpribumi. Harus jadi gubernur semua pihak, golongan, suku, semua agama,” katanya dalam acara coffee morning.
Tidak masalah
Di tempat terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai pidato politik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak bermasalah. Hal itu dianggap sebagai bahan refleksi menjadikan warga Jakarta lebih maju. Masih banyak persoalan serius yang harus diselesaikan bersama agar Jakarta nyaman bagi siapa pun.
Kalla memandang tidak ada yang perlu dipersoalkan dari pidato itu. ”Kita lihat konteksnya. Dia bicara dalam zaman kolonial, konteksnya sejarah. Jadi jangan dilihat hanya di satu kata. Di zaman kolonial, pribumi terpuruk, sekarang jangan lagi. Harus maju,” kata Kalla.
Secara khusus, Wapres mengingatkan, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemimpin Jakarta yang baru. Jakarta sebagai ibu kota negara harus mampu menjadi etalase Indonesia. ”Saya ingin Pemprov DKI melanjutkan program yang dibutuhkan warga, seperti MRT. Proyek ini juga dibantu pemerintah,” kata Kalla.
Berbeda dengan Kalla, Amnesty International Indonesia berpendapat, istilah pribumi dan nonpribumi seharusnya tidak dipakai dalam pernyataan publik. Hal itu penggolongan diskriminatif yang digunakan dalam konteks penjajahan Belanda.
”Itulah sebabnya penggunaan kata pribumi dan nonpribumi telah dilarang dalam Inpres No 26/1998, khususnya untuk para pengambil kebijakan karena berpotensi memecah belah dan mengotak-ngotakkan masyarakat pascareformasi,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Dilaporkan polisi
Pada Selasa siang, DPD DKI Banteng Muda Indonesia melaporkan Anies ke polisi berdasar pidatonya itu. Laporan disertai bukti video dan transkrip berita.
”Kami bicara dalam konteks hukum karena pidato Anies akan jadi bola liar. Kami perlu melaporkan karena itu tidak sesuai UU No 40/2008 dan Inpres No 26/1998,” kata Kepala Departemen Pidana Bidang Hukum dan HAM DPD Banteng Muda Indonesia DKI Jakarta Pahala Sirait di Polda Metro Jaya.
Awalnya, mereka akan melaporkan ke Polda Metro Jaya, tetapi disarankan melapor ke Bareskrim Polri karena yang dilaporkan gubernur.
(DEA/WAD/LKT/NDY)