JAKARTA, KOMPAS — TNI dan Polri mendukung diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan oleh Presiden Joko Widodo.
Kepala Inspektorat Jenderal TNI Letnan Jenderal Dodik Wijanarko dan Kepala Divisi Hukum Polri Inspektur Jenderal Raja Erizman menyampaikan hal itu saat rapat dengar pendapat umum dengan Komisi II DPR di Jakarta, Kamis (19/10). Rapat digelar sebagai bagian dari pembicaraan tingkat I Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2/2017 oleh Komisi II DPR.
”TNI mendukung kebijakan politik negara. Adapun substansi perppu diserahkan ke pembuat undang-undang,” ujar Dodik.
Menurut Raja Erizman, perppu diterbitkan untuk menjaga Pancasila dan UUD 1945. ”Sebelum terbitnya perppu ini, paham atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila terbatas pada komunisme, leninisme, dan marxisme. Padahal, di luar itu ada ajaran atau paham lain yang juga mengancam Pancasila. Ini makanya terbitnya perppu sangat penting,” katanya.
Selain TNI dan Polri, Komisi II juga mengundang Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kejagung diwakili oleh Jaksa Agung Muda Intelijen M Adi Toegarisman dan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Soedarmo.
Menurut Adi, dari pengamatan Kejagung, memang ada ormas-ormas yang pergerakannya bisa mengganggu Pancasila sehingga dibutuhkan aturan hukum yang lebih kuat untuk menindak ormas tersebut. ”Kami memantau setahun lebih sehingga bisa diketahui ada kegiatan yang perlu diantisipasi secara hukum,” katanya.
Soedarmo menguatkan pernyataan Adi. Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan dengan Perppu 2/2017 didasarkan pada fakta, kegiatan mereka bertentangan dengan Pancasila.
Memang ada ormas-ormas yang pergerakannya bisa mengganggu Pancasila sehingga dibutuhkan aturan hukum yang lebih kuat untuk menindak ormas tersebut.
Tak sebatas menyuarakan khilafah untuk menggantikan Pancasila dan UUD 1945, HTI disebutnya telah menyusun rancangan undang-undang dasar khilafah. Ada 189 pasal di dalamnya. Selain itu, HTI disebut telah membuat skenario untuk merebut kekuasaan.
Hal lainnya, kegiatan HTI berpotensi menciptakan disintegrasi dan instabilitas keamanan. ”Sebab sudah banyak ormas ataupun kelompok-kelompok di masyarakat yang menolak kegiatan HTI. Maka, jika HTI dibiarkan, dan tak segera dicegah, bisa menciptakan kegaduhan, bahkan berpotensi mengarah pada konflik horizontal,” ujarnya.
Tangkal radikalisme
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Respublica Political Institute (RPI) Benny Sabdo menegaskan, kemunculan ancaman radikalisme dinilai telah mendorong pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Perppu No 2/2017 tentang Ormas. Saat ini, perppu tersebut menjadi polemik di masyarakat. Perppu juga sedang dibahas di DPR, sementara beberapa pihak mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (Kompas.id, 18 Oktober 2017).
Menurut Benny Sabdo, Presiden sebagai pemimpin eksekutif memiliki otoritas untuk menetapkan perppu dalam kegentingan yang memaksa (Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945). Namun, DPR selaku lembaga legislatif memiliki wewenang untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan perppu menjadi undang-undang.
”Perppu perlu disahkan untuk menangkal organisasi radikal yang mengancam eksistensi negara,” kata Benny. Ia menjelaskan, Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat digantikan oleh ideologi lainnya.
Sikap nasionalisme ini lahir berdasarkan konstruksi emosional, intelektual, dan ideologis yang diwujudkan oleh anggota BPUPKI. Dengan demikian, tidak ada tempat bagi pihak yang berusaha merongrong Pancasila di Republik Indonesia.
Purnawirawan dukung pemerintah
Sebelumnya, purnawirawan TNI dan Polri mendukung pemerintah untuk bertindak tegas menangani organisasi yang menyebarkan ideologi anti-Pancasila. (Kompas, 26 Juli 2017).
Perppu Ormas menjadi dasar pemerintah untuk membubarkan organisasi yang dianggap anti-Pancasila. Salah satu ormas yang sudah dibubarkan dengan dasar perppu ini adalah HTI. ”Apabila ada upaya pihak mana pun untuk mengganggu Pancasila, kami akan bereaksi dan mendukung (pemerintah),” kata Ketua Umum Pepabri Agum Gumelar di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (25/7).
Pada Juli lalu, Presiden Joko Widodo bersilaturahim dengan beberapa organisasi purnawirawan. Hadir dalam acara tersebut, antara lain, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, mantan Panglima TNI Marsekal (Purn) Djoko Suyanto, mantan KSAD Jenderal (Purn) Wismoyo Arismunandar, mantan Kapolri Jenderal (Pol) (Purn) Awaloedin Djamin, mantan Kapolri Jenderal (Pol) (Purn) Bambang Hendarso Danuri, dan mantan KSAL Laksamana (Purn) Tanto Kuswanto.