Kisruh PT RAPP – KLHK : Jangan Sampai Menang Jadi Arang, Kalah Jadi Abu
Masyarakat dan bangsa ini membutuhkan ketenangan dan kesejukan. Rakyat membutuhkan pemimpin yang bisa memberikan semangat, pemimpin yang bisa memberikan inspirasi, dan bukan yang justru membuat masyarakat bertanya-tanya atau malah membuat masyarakat menjadi khawatir. Presiden Joko Widodo, Harian Kompas (20/10).
Berita mengejutkan buat masyarakat Riau, datang dari manajemen PT Riau Andalan Pulp and Paper di Jakarta pada Kamis (19/10) kemarin. Secara tiba-tiba petinggi salah satu perusahaan bubur kertas dan kertas terbesar di Indonesia itu, mengumumkan penghentian operasi, dari fase pembibitan, penanaman, pemanenan hingga pengangkutan untuk produksi bubur kertas dan kertas di lima kabupaten di Riau mulai 18 Oktober 2017.
Keputusan itu ternyata terkait Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan no 5322/2017 yang membatalkan SK Menteri Kehutanan (sebelumnya) no 173/2010 dan SK 93/2013 tentang Persetujuan Revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri 2010-2019.
Untuk sekadar pemahaman, RKU itu ibarat prosesor yang berfungsi mengontrol jalannya sebuah sistem komputer. Dengan berbekal RKU yang disetujui oleh pemerintah cq Kementerian LHK, perusahaan HTI baru dapat menyusun jadwal pembibitan, penanaman sampai saatnya panen dan berproduksi untuk menghasilkan produk bubur kertas atau kertas. Tanpa RKU, tiada pekerjaan lagi yang dapat dilakukan. Artinya, pencabutan RKU sama saja dengan mencabut nyawa perusahaan HTI.
Kementerian LHK tentu memiliki dasar untuk mencabut RKU PT RAPP. Perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto itu dianggap “membandel” terhadap aturan KLHK terutama Peraturan Menteri no 17/2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.
Aturan menteri tersebut memuat ketentuan perusahaan HTI wajib mengalihfungsikan kawasan gambut dalam (lebih dari tiga meter) yang semula diberi izin budidaya menjadi fungsi lindung gambut. Kalau perusahaan sudah menanam di areal lindung, masih diberi waktu untuk memanen kayu hanya untuk satu daur saja dan kemudian menghentikan penanaman selanjutnya.
Kementerian LHK tentu memiliki dasar untuk mencabut RKU PT RAPP. Perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto itu dianggap “membandel” terhadap aturan KLHK terutama Peraturan Menteri no 17/2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.
Untuk itu, perusahaan wajib menyesuaikan tata ruang baru dengan membuat revisi. Jangka waktu revisi berlangsung singkat, hanya 30 hari setelah KLHK memberikan peta fungsi ekosistem gambut (pasal 8A). Apabila revisi tidak dilakukan, ada ancaman nyata pada pasal 23A berupa sanksi administratif berupa paksaan pemerintah, pembekuan, atau pencabutan izin.
Di lain pihak, sebenarnya ada pasal lain dalam Permen no 17/2017 yang menyebutkan bahwa apabila 40 persen atau lebih lahan HTI harus dialihfungsikan menjadi kawasan lindung gambut, perusahaan dapat mengajukan permintaan lahan pengganti di tempat lain.
Kebandelan PT RAPP itu rupanya terkait dengan pasal permintaan lahan pengganti itu. Maklum sekitar 50 persen lahan HTI PT RAPP berada di lahan yang harus dijadikan kawasan lindung gambut. Artinya, lahan total semula seluas 338.000 hektar harus diciutkan menjadi sekitar 169.000 hektar saja.
Perusahaan itu tentu bertanya, kalau lahan sudah dialihfungsikan dan tidak boleh ditanami lagi, lalu darimana menyediakan bahan baku? PT RAPP menyatakan bersedia melakukan alih fungsi, namun dengan persyaratan pemerintah segera menyediakan lahan pengganti.
Perusahaan itu tentu bertanya, kalau lahan sudah dialihfungsikan dan tidak boleh ditanami lagi, lalu darimana menyediakan bahan baku? PT RAPP menyatakan bersedia melakukan alih fungsi, namun dengan persyaratan pemerintah segera menyediakan lahan pengganti.
Persyaratan PT RAPP itu agaknya tidak didengar pemerintah. Buktinya, meski RAPP membuat empat revisi alihfungsi, Menteri LHK tetap memberikan surat peringatan pertama pada 28 September, kedua pada 6 Oktober dan ketiga berupa surat pembatalan RKU pada 17 Oktober 2017.
Sebenarnya, ada persoalan hukum baru terkait Permen LHK no 17/2017 yang ternyata sudah diuji materi oleh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia – Riau, ke Mahkamah Agung RI. Menurut Nursal Tanjung, MA telah membatalkan aturan itu pada 2 Oktober 2017, berdasarkan pengumuman di situs resmi MA. Implikasinya, secara otomatis, ketentuan tentang alih fungsi lahan dan revisi tata ruang itu dinyatakan tidak sah.
Hanya saja, sampai sekarang ini salinan putusan MA itu belum keluar. Seluruh pihak terkait sekarang sedang menantikan salinan itu.
Terlepas dari penantian putusan MA itu, KLHK telah mencabut izin operasi HTI PT RAPP. Menanggapi pencabutan nyawa HTI itu, manajemen PT RAPP langsung mengumumkan penghentian operasional sejak tanggal 18 Oktober 2017. Itulah yang mengejutkan masyarakat Riau.
Mengapa?
Menurut manajemen PT RAPP, berhentinya operasi membuat perusahaan terpaksa merumahkan 4.600 karyawan bidang kehutanan secara bertahap. Sebanyak 1.300 karyawan pabrik, berpotensi akan dirumahkan pula dalam beberapa pekan ke depan. Dampak lainnya akan dilakukan pemutusan kontrak kerjasama dengan mitra pemasok yang memiliki 10.200 karyawan.
Terganggunya operasional PT RAPP dipastikan akan terimbas pula pada orang-orang yang terkait secara tidak langsung. Berdasarkan kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia tahun 2014, tenaga kerja yang langsung dan tidak langsung terkait dengan perusahaan yang berdomisili di Riau itu, mencapai 90.000 orang. Menurut SPSI Riau jumlahnya bahkan mencapai 250.000 orang.
Berhentinya operasi PT RAPP jelas akan membuat Riau akan menjadi riuh. Sudah terdengar selentingan pada Senin 23 Oktober mendatang, ribuan pekerja PT RAPP dan mitranya akan melakukan aksi unjuk rasa besar di Pekanbaru.
Pemberitahuan penghentian kerja itu jelas akan menimbulkan dampak sosial dan ekonomi buat Riau ke depan. Maklum, PT RAPP adalah perusahaan besar yang memiliki aset dari hulu ke hilir, mencapai Rp 100 triliun.
Berhentinya operasi PT RAPP jelas akan membuat Riau akan menjadi riuh. Sudah terdengar selentingan pada Senin 23 Oktober mendatang, ribuan pekerja PT RAPP dan mitranya akan melakukan aksi unjuk rasa besar di Pekanbaru.
Sebaliknya, bersamaan dengan pengumuman manajemen PT RAPP pada 19 Oktober kemarin, di media sosial beredar surat Menteri LHK kepada Gubernur Riau, Bupati Pelalawan. Bupati Siak dan Walikota Pekanbaru. Surat yang langsung ditandatangani oleh Menteri Siti Nurbaya itu juga ditembuskan kepada Presiden, Wakil Presiden, Kepala Polri dan Kapolda Riau.
Isi surat berisi permintaan Menteri LHK kepada kepala daerah di Riau untuk menjaga stabilitas dan tidak terprovokasi secara sepihak. Berdasarkan pengamatan KLHK, PT RAPP masih melakukan kegiatan ekspor dan pengangkutan kayu sampai 19 Oktober. Gubernur diminta berkoordinasi dengan Kapolda (Riau) untuk mengantisipasi konflik sosial yang diciptakan.
Isi lainnya, Menteri LHK juga berencana akan “menggebuk” PT RAPP lewat kasus lain. Pemerintah pusat terus mengikuti perkembangan PT RAPP dan grupnya dengan berbagai persoalan dan pelanggaran seperti pencemaran dan perambahan hutan negara yang sedang diteliti.
Apa yang akan terjadi ke depan? Benturan besar kemungkinan akan terjadi sebentar lagi. Semestinya masih ada cara lain untuk mebereskan masalah ini. Konflik sosial ini dapat saja berubah berdarah-darah, karena menyangkut nasib dan hajat hidup puluhan ribu orang.
Apa yang akan terjadi ke depan? Benturan besar kemungkinan akan terjadi sebentar lagi. Semestinya masih ada cara lain untuk mebereskan masalah ini. Konflik sosial ini dapat saja berubah berdarah-darah, karena menyangkut nasib dan hajat hidup puluhan ribu orang.
Alangkah baiknya, ucapan Presiden Joko Widodo pada pembukaan tulisan ini dibaca ulang dengan saksama. Ada pepatah Melayu mengatakan, Bagai menarik rambut dalam tepung. Rambut tidak terputus, tepung tidak berserak. Artinya kira-kira, baiknya dalam menyelesaikan masalah harus bijaksana tanpa menimbulkan persoalan lain yang tidak kalah buruknya. Masih ada pepatah lainnya, Jangan sampai menang jadi arang, kalah jadi abu.