Mendulang Uang dari Tanah Makam
Sebanyak 15 dari 44 tempat pemakaman umum atau TPU di Jakarta dinyatakan tertutup dan tidak digunakan lagi untuk pemakaman baru maupun pemakaman tumpangan. Penutupan TPU tersebut berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No III-e.2/1/4/73 tentang penutupan, pengosongan, dan penertiban TPU secara bertahap.
Fasilitas itu ditutup karena kondisi tanah dan secara teknis lokasinya sudah tidak sesuai dengan perencanaan kota. Untuk menampung pengosongan TPU-TPU tersebut telah ditetapkan TPU Jeruk Purut, TPU Tanah Kusir, dan TPU Tanjung Barat.
Berita tersebut dimuat harian Kompas yang terbit tanggal 20 Oktober 1977 atau tepat 40 tahun lalu.
Begitu ”kejamnya” Jakarta, sampai-sampai orang mati pun digusur. Ada pula masanya, ahli waris harus ”bernegosiasi” agar jenazah keluarganya bisa mendapat petak makam di tempat pemakaman umum (TPU). Tak sedikit cerita, ahli waris kesulitan mendapatkan petak karena petak-petak kosong yang ada sudah ”dijual”.
Terbayang kesulitan ahli waris untuk memakamkan jenazah keluarganya bila menghadapi masalah seperti itu. Biasanya ahli waris tak punya pilihan lain karena jenazah harus dimakamkan secepat mungkin. Mereka terpaksa memenuhi permintaan ”penguasa” atau preman petak makam TPU dan mengangsurkan sejumlah dana yang diminta.
Kondisi seperti itu seakan sudah menjadi rahasia umum. Warga tak punya pilihan lain karena tanah makam wakaf amat terbatas. Memakamkan jenazah keluarga di pekarangan rumah atau pemakaman keluarga sudah tidak dibenarkan lagi. Meskipun demikian, sampai sekitar pertengahan 1970-an masih ada ahli waris yang memakamkan jenazah di pemakaman keluarga (Kompas, 20 Mei 1976).
Baru sejak Gubernur DKI Jakarta dipegang Basuki Tjahaja Purnama, soal petak makam kosong atau disebut makam fiktif itu mencuat ke permukaan. ”Ada oknum (dinas pertamanan dan pemakaman) nakal. Makam-makam itu dikasih nisan. Kalau ada yang mau bayar Rp 10 juta, bisa digali, biasanya di area depan pemakaman,” kata Ahok, panggilannya, seperti dikutip Kompas, 27 Juli 2016.
Padahal, menurut Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No 3 Tahun 2007 tentang Pemakaman, tarif retribusi pelayanan pemakaman berkisar Rp 40.000-Rp 100.000. Pemerintah juga mengalokasikan lima persen dari luas area TPU gratis untuk warga miskin. Rupanya peraturan tersebut tak tersosialisasikan dengan baik.
Selain itu, pada Pasal 37 Perda 3 Tahun 2007 disebutkan, petak tanah makam TPU hanya diperuntukkan bagi jenazah atau kerangka dan tidak diperbolehkan untuk pesanan persediaan bagi orang yang belum meninggal dunia. Tahun 2016 didapati sekitar 230 petak makam fiktif. Jumlah makam fiktif itu, menurut catatan Kompas, 11 Agustus 2016, naik menjadi 422 petak.
Terkait makam fiktif tersebut, Ahok bertindak tegas. Setidaknya 48 pegawai negeri sipil (PNS) dipindahtugaskan dan enam pekerja harian lepas (PHL) di TPU diberhentikan. Ketegasan Ahok terbukti mampu membuat PNS dan PHL jera. Warga pun merasa tenang karena prosedur dan persyaratannya transparan.
Meskipun belum sepenuhnya berjalan, untuk pelayanan pemakaman Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI sudah menerapkan sistem pendataan digital dan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) di kelurahan. Ahli waris yang hendak memakamkan jenazah keluarganya di TPU relatif tak lagi dipersulit.
Sepanjang semua persyaratan lengkap, prosedur pemakaman berjalan sesuai peraturan dan tak ada pungutan liar. Bahkan, PHL di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan (Jaksel), misalnya, menolak diberi ”uang lelah” karena mereka sudah mendapat honor memadai. Mereka juga tak ingin diberhentikan karena dianggap menerima gratifikasi.
Bagaimanapun, keberadaan TPU tak lepas dari tradisi berziarah bangsa Indonesia. Setidaknya setiap menjelang bulan Ramadhan ada kebiasaan sebagian warga mengunjungi, membersihkan, menabur bunga, dan berdoa di makam keluarga yang telah wafat (Kompas, 22 Februari 1993).
Tradisi berziarah itu menumbuhkan geliat ekonomi di sekitar TPU. Tak sedikit orang yang mendapatkan penghasilan berkaitan dengan TPU, misalnya petugas parkir, penyapu makam, penjual bunga, sampai penjual makanan-minuman.
Digusur
Sejak awal 1970-an ketika Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI, penggusuran areal tanah pemakaman sudah dilakukan. Lewat keputusan Gubernur KDKI tertanggal 30 Juli 1973 tentang penutupan dan pengosongan beberapa TPU, sebanyak 44 TPU di lima wilayah kota dinyatakan ditutup. Kerangka di TPU yang ditutup dipindahkan ke TPU lain.
Penutupan TPU dilakukan antara lain karena di lokasi tersebut akan dibangun rumah susun, dibuat jalan baru atau pelebaran jalan, normalisasi kali yang mengalir di lahan TPU, atau untuk keperluan orang hidup lain (Kompas, 25 Agustus 1973).
Tahun 1975, misalnya, sebagian lahan TPU Karet Bivak, Karet Tengsin, Karet Banjir Kanal, dan Karet Pasar Baru Barat, Jakarta Pusat (Jakpus), terkena pelebaran jalan Jenderal Sudirman-Jembatan Kali Malang-H Fachrudin sepanjang 2,9 kilometer (km) dan lebar 25 meter (m). Bila ahli waris tak ingin memindahkan kerangka keluarganya ke TPU lain, mereka bisa melakukan dengan cara pemakaman tumpangan (Kompas, 13 Maret 1975).
Masih tahun 1975, sebanyak 17.307 kerangka di TPU Tanah Abang, Kelurahan Petojo Selatan, Kecamatan Gambir, Jakpus, dipindahkan ke TPU Tanah Kusir, Kebayoran Lama, Jaksel (Kompas, 17 Oktober 1975). Salah satu TPU yang ditutup tahun 1975 tetapi belum juga dilakukan pemindahan kerangka adalah TPU Blok P Kebayoran Baru, Jaksel. Bahkan, izin penggunaannya diperpanjang sampai 31 Maret 1978 (Kompas, 26 September 1977).
TPU Blok P yang termasuk kuburan tertua, sekitar tahun 1950-an, baru dibongkar tahun 1997 atau 22 tahun setelah ditutup. Lebih dari 4.600 kerangka dipindahkan ke TPU Srengseng Sawah dan TPU Kampung Kandang. Di atas lahan ini dibangun gedung Kantor Wali Kotamadya Jakarta Selatan (Kompas, 9 September 1997).
Tahun 1980 sekitar 7.000 kerangka dipindahkan dari TPU Banjir Kanal, Kelurahan Kebon Melati, Kecamatan Tanah Abang, Jakpus. Lokasi TPU itu diperlukan untuk pembangunan kantor kanwil agama, puskesmas, kantor kelurahan, madrasah, sekolah, dan pos pemadam kebakaran, sedangkan di areal bekas TPU Tanah Abang digunakan untuk rumah susun (Kompas, 3 September 1980).
Giliran penggusuran selanjutnya adalah TPU Menteng Pulo, Jaksel, untuk pembangunan jalan tembus Saharjo-HR Rasuna Said. Di sini, Gubernur DKI R Soeprapto meminta DPRD DKI mengubah peruntukan tanah di TPU Menteng Pulo menjadi jalan umum. Dari luas TPU 35 hektar (ha), yang terkena pembangunan jalan 18.450 meter persegi. Ini berarti harus memindahkan 5.989 kerangka (Kompas, 5 November 1986).
TPU lain yang juga terkena penggusuran adalah TPU Rawasari, seluas 8.000 meter persegi untuk pembangunan rumah sewa bertingkat, lalu sebagian TPU Menteng Pulo untuk pembangunan tempat parkir (Kompas, 13 Agustus 1988). Sebagian TPU Dobo, Jakarta Utara, juga tergusur untuk proyek perluasan terminal peti kemas (Kompas, 8 Maret 1992).
Calo
Di sisi lain, pemerintah membuka TPU baru seperti di kawasan Semper seluas 50 ha di Kapuk Muara diperluas menjadi sekitar 59 ha, dan Tanah Kusir dari pemakaman lama seluas 7-8 ha menjadi 42 ha (Kompas, 20 Mei 1976).
Soal penambahan luas TPU, pemerintah mesti menghadapi ulah para calo tanah. Kompas, 2 Maret 1979, mencatat, sebagian dari tanah seluas 73 ha di Pondok Kelapa, Kelurahan Malaka, Jaktim, yang hendak dibebaskan Pemda DKI untuk TPU ternyata sudah dikuasai para calo.
Seorang calo membeli tanah seluas 9 ha di daerah tersebut pada 1974 seharga Rp 150-Rp 200 per meter persegi. Tahun 1979 harganya sudah menjadi Rp 3.500-Rp 7.000 per meter persegi, atau dalam lima tahun harga tanah naik sampai 35 kali lipat! Pemerintah menghadapi dilema, dengan anggaran terbatas tak bisa membeli tanah makam sesuai kebutuhan.
Padahal, di Jakarta setiap hari rata-rata 150-200 orang meninggal dunia. Untuk memakamkan jenazah warganya, setiap tahun Jakarta memerlukan tambahan tanah makam sekitar 35 ha-50 ha (Kompas, 3 September 1980).
Luas areal tanah pun terus bertambah. Tahun 1979 luas tempat makam di Jakarta sekitar 300 ha. Tahun 1981 luas tempat pemakaman bertambah menjadi 350 ha (Kompas, 25 April 1981). Beberapa bulan kemudian luasnya bertambah lagi menjadi sekitar 500 ha (Kompas, 10 November 1981).
Data tahun 1985 menunjukkan, luas TPU di Jakarta menciut menjadi 428.821 meter persegi yang tersebar di 89 lokasi (Kompas, 26 Agustus 1988). Meskipun luas keseluruhan TPU berkurang, penyebarannya bertambah. Tahun 1980 di Jakarta terdapat 68 lokasi TPU, dan 15 TPU di antaranya sejak tahun 1974 dinyatakan tertutup. Tahun 1981 lokasi TPU tercatat ada di 58 lokasi.
Tahun 1992 luas TPU seluruhnya naik menjadi sekitar 550 ha yang tersebar di 104 lokasi TPU (Kompas, 4 Februari 1992). Data TPU berubah lagi pada 1995, total luas TPU di Jakarta 556 meter persegi di 101 lokasi (Kompas, 28 Februari 1995).
Sekitar tujuh tahun kemudian, luas TPU tak banyak bertambah. Kompas, 15 Agustus 2002, mencatat, luas TPU di Jakarta 575,19 ha. Itu pun sekitar 80 persennya sudah terisi. Luas TPU di Jakarta ibarat karet, bisa membesar atau menciut. Kompas, 30 September 2004, mencatat, lahan pemakaman DKI Jakarta 565 ha, lebih sempit sekitar 10 ha dari tahun 2002.
Ternyata tak hanya calo tanah yang tergiur menangguk rupiah dari lahan makam. Kompas, 18 Maret 2009, mencatat, mantan Wakil Wali Kota Jakarta Selatan Budiman Simarmata diadili karena didakwa korupsi pengadaan lahan makan Buddha di TPU Tanah Kusir tahun 2006. Negara pun dirugikan sebesar Rp 9,842 miliar.
Penghijauan
Bersamaan dengan pembukaan ataupun perluasan TPU, Gubernur Ali Sadikin juga memerintahkan dilakukan penghijauan di semua TPU. Dengan demikian, TPU tak hanya berfungsi sebagai tempat pemakaman, tetapi juga kawasan hijau untuk peresapan air sekaligus mengubah wajah TPU menjadi area yang terang, hijau, dan rindang (Kompas, 22 November 1976).
Selain tanaman peneduh, tahun 1980 di lima TPU ditanam ribuan pohon buah-buahan, seperti rambutan dan mangga. Ke-5 TPU itu adalah TPU Karet, Penggilingan, Tanah Kusir, Prumpung, dan Jatipetamburan. Pohon buah-buahan dianggap sebagai tanaman produktif sekaligus menunjang program penghijauan yang dicanangkan gubernur (Kompas, 22 Februari 1980).
Setahun kemudian di TPU Tanah Kusir, misalnya, terdapat 1.186 pohon buah-buahan yang juga dimanfaatkan masyarakat umum (Kompas, 25 April 1981). Penataan makam pun dilakukan untuk mengatasi keterbatasan lahan makam. Gundukan makam hanya diberi rumput dan nisan penanda jenazah yang dikuburkan.
Kompas, 15 Juni 1995, menulis, dalam satu liang bisa dikuburkan tiga jenazah. Dengan syarat, jarak penguburan antara satu jenazah dan jenazah berikutnya minimal sekitar satu tahun. Selain untuk menghemat lahan makam, cara pemakanan tumpang juga memudahkan ahli waris saat berziarah. Pemerintah juga melarang pembuatan bangunan makam agar daerah resapan air lebih luas.
Sayang, pembenahan fisik tanah makam tak diikuti peraturan dan tarif yang mudah dipahami warga dan transparan. Alhasil, sampai tahun 2006 calo tanah makam masih berkeliaran di TPU. Tarif sewa lahan makam sesuai peraturan sebesar Rp 100.000 untuk tiga tahun ”digoreng” sampai Rp 1,5 juta.
Biaya gali kubur pun sudah masuk APBD sebesar Rp 150.000 per liang lahat. Namun, faktanya warga ketika hendak menguburkan jenazah masih harus merogoh kocek sampai Rp 400.000 per liang lahat. Di sini, ahli waris tak punya posisi tawar karena memang membutuhkan tanah makam untuk menguburkan jenazah keluarga (Kompas, 5 Juni 2006).
Sengketa
Tanah pemakaman di Jakarta pun tak luput dari sengketa. Tahun 1984, misalnya, mencuat masalah sengketa TPU Jelambar, Jakbar, antara Pemda DKI dan PT Duta Pertiwi. Kedua pihak merasa menjadi pemilik sah TPU Jelambar yang luasnya 38 ha (Kompas, 5 Juni 1984). Pihak Duta Pertiwi membeli TPU Jelambar dari Yayasan Kong Koan, pemilik tanah makam sebelumnya.
Adapun Pemda DKI sudah menguasai TPU Jelambar sejak 1973. Apalagi dengan keluarnya Keppres No 32 Tahun 1979, otomatis TPU Jelambar milik negara, bukan milik yayasan lagi. Oleh karena milik negara, kalaupun ada pengalihan hak atas TPU Jelambar harus dengan persetujuan DPRD DKI.
Sengketa TPU Jelambar berlarut-larut, tetapi kemudian muncul konsep perjanjian antara Pemda DKI dan Duta Pertiwi yang merugikan Pemda DKI. Salah satu klausalnya, Pemda DKI menyerahkan tanah 17 ha di Mangga Dua dan mengosongkan 38 ha di TPU Jelambar, artinya total 55 ha untuk Duta Pertiwi.
Sebagai imbalannya Pemda DKI hanya mendapat tanah makam seluas 26 ha di Cengkareng. Pengadaan tanah makam di Cengkareng itu pun, kalau Duta Pertiwi tidak sanggup, hanya wajib membayar ganti rugi Rp 5.000 per meter persegi atau senilai Rp 1,3 miliar.
Kompas, 18 Juni 1984, menulis, setiap pejabat Pemda DKI yang diminta keterangan soal naskah kerja sama antara Pemda DKI dan PT Duta Pertiwi enggan memberi jawaban. Padahal, kasus ini menjadi perhatian masyarakat karena dinilai ada beberapa kejanggalan, dengan Pemda DKI pada pihak yang dirugikan.
Sengketa juga menghampiri TPU Tanah Kusir. Tahun 2005 ahli waris Raja Panusunan Nasution mengklaim tanah seluas 2,5 ha yang menjadi bagian dari TPU tersebut adalah miliknya. Tanah itu bagian dari sekitar 3,5 ha area milik ahli waris Raja Panusunan Nasution. Kasus ini sampai ke pengadilan, bahkan Mahkamah Agung (Kompas, 30 November 2005 dan 5 Desember 2005).
Swasta
Beberapa tahun terakhir tempat pemakaman yang dikelola swasta di kawasan Bodetabek menjadi pilihan warga Jakarta untuk menguburkan keluarga yang wafat. Keberadaan TPU swasta sebenarnya sudah diusulkan pengusaha Ciputra yang ketika itu menjadi Dirut PT Pembangunan Jaya sejak tahun 1988 (Kompas, 26 Agustus 1988).
Entah mengapa, ide yang dilontarkan Ciputra tidak segera bersambut. Baru pada 1992 muncul beberapa yayasan yang memberikan jasa pemakaman sekaligus menyediakan petak makam swasta di Kodya Bogor maupun Kabupaten Bogor (Kompas, 8 Maret 1992). Tercatat lebih dari 400 jenazah warga Jakarta yang dimakamkan di Bogor dengan biaya dari puluhan juta sampai sekitar Rp 480 juta.
Tahun 2004 di arena Pekan Raya Jakarta (PRJ) terdapat stan kuburan yang berlokasi di kawasan Kerawang, Jawa Barat. Lahan makam yang dikelola swasta ini ditawarkan seharga Rp 7,414 juta sampai Rp 640,512 juta (Kompas, 27 Juni 2004). Orang yang masih hidup bisa membeli liang lahat sesuai keinginan dan kemampuannya masing-masing.
Sebagian orang membeli liang lahat yang dikelola swasta, antara lain karena khawatir bakal digusur mengingat tak ada yang abadi di dunia ini. Tahun 2009, misalnya, giliran 631 makam di TPU Pondok Kopi dan Kebon Nanas harus dipindah demi proyek Kanal Banjir Timur (Kompas, 4 Agustus 2009). Lalu 1.390 makam di TPU Tanah Kusir juga digusur untuk normalisasi Kali Pesanggrahan (Kompas, 2 Agustus 2012).
Seiring dengan bertambahnya penduduk, keperluan tanah makam yang dikelola pemerintah ataupun swasta akan terus meningkat. Tak ada salahnya membeli tanah makam semasa kita masih hidup, tetapi akan lebih baik bila hal itu disertai dengan ”tabungan” akhirat yang kita wujudkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Janganlah Anda membeli liang lahat seharga puluhan juta, tetapi dananya berasal dari korupsi. Liang lahat adalah ”rumah terakhir” dan kematian adalah sesuatu yang tak mungkin kita hindari. Maka, ingatlah!