Kapolri: Bagaimana Bisa Membersihkan Kalau Sapunya Tidak Bersih
Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi yang, menurut rencana, dibentuk Kepolisian Republik Indonesia menuai polemik. Pembentukan Densus Tipikor Polri yang didorong dan didukung DPR diyakini hanya sebagia bagian dari upaya melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Terlebih suara-suara politisi di DPR yang mendorong dan mendukung pembentukan Densus Tipikor Polri, jelas-jelas menyatakan, ke depan bila detasemen khusus bentukan polisi untuk memberantas korupsi ini sudah berjalan, pelan-pelan wewenang KPK untuk memberantas korupsi akan dikurangi. Politisi DPR malah berharap suatu saat nanti, KPK akan akan menjadi lembaga semacam ombudsman yang hanya menerima keluhan dan melakukan pencegahan serta supervisi penanganan kasus korupsi.
Polemik yang muncul dari rencana pembentukan Densus Tipikor Polri sampai merembet ke Istana. Wakil Presiden Jusuf Kalla malah tegas menolak tim baru yang bertugas untuk memberantas korupsi. Sementara Presiden Joko Widodo hanya menyatakan problem besar Indonesia adalah korupsi sehingga diperlukan segala cara untuk memberantasnya.
Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Tito Karnavian memastikan, kehadiran Densus Tipikor dapat membuat KPK fokus pada kasus-kasus besar. Tito mengakui KPK memiliki kelebihan yang tidak dimiliki Polri dan Kejaksaan, yaitu sulit diintervensi karena mekanisme kerja yang koletif kolegial, memiliki sistem penggajian dan kesejahteraan yang bagus, serta sistem anggaran at cost. Jumat (20/10) KPK menerima Kompas dalam sebuah wawancara khusus di rumahnya. Berikut petikan wawancara lengkap dengan Kapolri seputar pembentukan Densus Tipikor.
Bagaimana latar belakang pembentukan Datasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi?
DPR menyampaikan kinerja Polri belum maksimal dalam penanganan korupsi. Dan, saya menyampaikan kalau ingin maksimal dan optimal, maka alangkah bagusnya dibentuk Datasemen Khusus Tipikor. Saya pahami argumentasi dan polemik tentang Densus Tipikor itu.
Saya berpendapat kalau ingin meningkatkan kinerja, maka perlu dibentuk semacam datasemen khusus, seperti Datasemen Khusus 88 Antiterori, karena ada beberapa keunggulan dibandingkan yang ada sekarang.
Kenapa harus detasemen khusus?
Pertama, adanya sentralisasi dari desentralisasi sistem yang sekarang digunakan di Direktorat Tipikor Bareskrim, subdirektorat Tipikor di tingkap kepolisian daerah, dan unit Tipikor di kepolisian resor.
Dengan sistem saat ini kelemahannya ialah koordinasi masalah korupsi tidak berjalan maksimal. Lalu, Polri tidak memiliki grand design dalam menangani pemberantasan korupsi yang juga menjadi kewenangan kepolisian sesuai UU Tipikor dan UU Polri.
Polri tidak memiliki grand design dalam menangani pemberantasan korupsi
Karena tidak ada grand desigen, maka Mabes Polri tangani kasus tipikor sendiri, Polda tangani sendiri, Polres tangani sendiri sesuai teritorial masing-masing. Paling maksimal Mabes memberikan supervisi, tetapi tidak memiliki kewenangan komando atau mengajak dalam suatu grand design.
Kedua, kelebihan datasemen khusus adalah manajemennya. Kelebihan Densus 88 AT memiliki pembagian tugas yang sangat jelas, sehingga hasilnya optimal.
Ada pembagian tugas, tim yang menangani intelijen, ada tim yang melakukan analisis, ada tim yang melakukan penindakan, ada tim melakukan penyidikan atau pemberkasan, ada tim menangani barang bukti, ada tim yang menangani file dan data, ada tim juga yang menanganai pencegahan. Mereka tidak dikasih beban lain.
Direktorat Tipikor sekarang manajemennya konvensional. Pekerjaan diborong dan terjadi rangkap tugas, sehingga tidak maksimal. Alhasil, manajemen besifat pasif karena hanya menunggu laporan.
KPK dulu juga begitu. Baru pada tahun 2004, KPK belajar menyidik dari Densus 88 Antiteror, terutama teknik penyadapan. Pertama kali menggunakan cara penyadapan handphone adalah tim saya ketika saya menjadi Kasat Serse Umum di Polda Metro Jaya sekitar tahun 2001. Kemudian kemampuan penyadapan tahun 2003 dikembangkan secara sistematis di Polri, sehingga banyak pengungkapan dan penangkapan dilakukan. Itulah secret weapon Densus 88 dan Satgas bom Polri.
Kemampuan penyadapan tahun 2003 dikembangkan secara sistematis di Polri
Sebagai secret weapon kami tidak pernah mengeluarkan senjata rahasia ini kepada publik, apalagi jadi barang bukti.
Namun, pada kasus Artalita dikeluarkan itu menjadi barang bukti yang diperdengarkan langsung seluruh Indonesia oleh KPK. Apa yang terjadi? Temen yang tangani terorisme dan narkotika, mohon maaf, semua pada kecewa. Kenapa? Karena itu senjata rahasia. Penyadapan hanya digunakan sebagai leads artinya untuk mendapatkan arah kemana kita mau menyidik, tetapi namanya senjata rahasia jangan dibuka.
Beda tingkat kesulitannya antara menangani terorisme dan narkotik dengan korupsi
Kasus korupsi dibuka enak karena koruptor rumahnya jelas. Koruptor birokrat dan pengusaha, rumah dan keluarganya ada. Tetapi, kalau teroris, pemain narkotika mereka adalah secret society. Susah kita lacak mereka. Mencari mereka susah sekali. Beda tingkat kesulitannya antara menangani terorisme dan narkotik dengan korupsi.
Sehingga saat itu, saya sampaikan kepada Pak Antasari Azhar kalau bisa jangan sering dikeluarkan senjata rahasia itu. Karena senjata rahasia bukan hanya digunakan teman-teman menangani korupsi, teman-teman yang menangani terorisme sudah lama sekali. Polri sudah gunakan sejak 2001. Sudah gunakan di banyak sekali kasus.
Polri tidak perlu rekrutmen lagi. Cukup mengalihkan yang sudah ada. Dari Polda dan Polres yang sudah ada, mereka dibentuk satgas wilayah di bawah satu komando Kepala densus. Lalu, ada pencegahan dan bisa memanfaatkan jaringan bhabinkamtibmas,
Bagaimana pola kerja Densus Tipikor?
Saya melihat apa yang dilakukan tiga instansi sekarang, KPK Polri, dan Kejagung, lebih berorinetasi hit and run. Artinya, tangkap, tindak, kemudian ekspos. Selesai dieskpos ya sudah ditinggal dalam rangka memberikan efek deteren.
Saya lebih senang dengan hit and fix. Kita sudah mulai, kita pukul lalu kita perbaiki. Contohnya, dilakukan dengan Badan Pertanahan Nasional. Kita lakukan operasi tangkap tangan terhadap dua pimpinan Badan Pertahanan Nasional di Deli Serdang (Sumatera Utara) dan Surabaya (Jawa Timur).
Dari tahun 2002-2017, Polri menyelesaikan 7.728 kasus korupsi dengan tersangka berjumlah lebih dari 10.000 orang. Pengembalian uang negara sampai Rp 16 triliun.
Jadi jangan berpikir Densus tipikor peran utamanya menangkap orang. Tetapi, paralel dengan itu pencegahan, dan kegiatan pasca penindakan. Hit and fix. Jadi setelah dipukul, setelah itu kita bantu menemukan akar masalah. Apabila penyebabnya karena karakusan ya dihukum, tetapi apabila karena sistem ya sistem diperbaiki.
Saber Pungli sejak Oktober 2016 telah melakukan operasi tangkap tangan sebanyak 1.076 kali. Dengan jumlah tersangka 2.148 orang. Kemudian untuk satgas pangan dalam enam bulan terakhir, kami tangani 332 kasus dengan 327 tersangka.
Polisi sangat paham dampak dari pemberitaan. Beritaan kasus korupsi hingga sembako perlu diberitakan untuk beri efek jera bahwa negara bekerja, Polri mengawasi juga. Tapi, ini memiliki double side effect, pedang bermata dua.
Maka, kami melakukan kegiatan tapi tidak mengekspos terlalu banyak. Kalau Satgas Pangan kita ungkap semua kasus ke publik, semua pelaku pangan akan takut, dan mempengaruhi ekonomi.
Jangan khawatir. Kami hanya ekspos yang menarik dalam rangka memberikan efek deteren terbatas. Tetapi, tidak bermaksud membuat ketakutan publik, pelaku usaha, birokrat. Itu masalah teknik eksposnya saja.
Densus Tipikor tidak akan banyak ekspos?
Tidak akan banyak ekspos hanya poin-poin tertentu saja. Tetapi kelebihannya dia bisa memanfaatkan jaringan di Polri. Tidak semata fokus penindakan. Penindakan perlu dilakukan karena belantaranya masif yang tidak bisa ditangani sendiri KPK dengan kekuatan sekarang.
Apa bisa bhabinkamtibmas di bawah Kendali instansi lain?
Tidak akan mau mereka. Itu bicara masalah kultur di dalam organisasi. Mereka lebih senang di bawah kendali pimpinannya. Karena pimpinan akan berikan reward kalo baik, dan punishment. Mereka bisa berkompetisi secara sehat satu sama lain. Mereka juga mau bekerja baik selain masyarakat dan negara, tentu mau bekerja unutk mengangkat institusinya bukan institusi orang lain. Pasti itu. Itu natural.
Apakah butuh perubahan UU untuk membentuk Densus Tipikor?
Pembentukan Densus tidak akan ubah Undang-Undang. Ini hanya internal Polri. Awalnya (penanganan) tipikor terpecah di wilayah, sekarang disentralisasi supaya lebih koordinatif dan memiiki desain. Tapi meraka berikan kesejahteran khusus karena bagaimana mereka membersihkan sampah kalau sapunya tidak bersih. Kasih mereka kesejahteraan dan gaji yang cukup.
Bagaimana mereka membersihkan sampah kalau sapunya tidak bersih
Setelah itu kasih SOP (prosedur operasi standar) yang ketat dan keras kepada mereka. Misalnya, tidak boleh berhubungan dengan pihkan berperkara, kalau tahu berhubungan maka kariernya terhambat, diperiksa internal, macam-macam. SOP harus kuat karena meraka tangani kasus korupsi harus miliki mentalitas dan tahan godaan.
Bagaimana soal anggaran yang diajukan ke DPR?
Pecahan anggaran ada yang urgen dan tidak urgen. Urgen anggaran untuk penggajian dan operasionalnya yang berjumlah Rp 1,1 tiliun. Itu wajib.
Sedangkan Rp 1,5 triliun untuk bangun infrastruktur untuk bangun kantor di wilayah-wilaayah. Idealnya mereka punya kantor sendiri.
Kalau setuju Densus Tipikor ini, maka paling utama Rp 1,1 triliun itu. Rp 1,5 triliun bisa kita gunakan seadanya, misal pinjam ruangan tertentu di Polda atau mungkin kantor pemda yang kosong.
Kalau DPR hanya penuhi Rp 800 miliar?
Gampang kurangi orangnya dulu. Cikal bakalnya ada dulu. Rp 1,1 triliun untuk 3500 personil, kurangin saja jadi 2.000 orang dulu. Sambil kita test on the water mampu tidak Densus buat perubahan.
Rp 2,6 triliun ideal. Kalau tidak terpenuhi, exit strategy-nya kantor kita pinjam Polda dan pemda. Orangnya dikurangi, kita pakai minimal dulu dari 2.000 orang atau 2.500 orang, Rp 800 miliar bisa akomodir gaji dan operasional berapa orang.
Apakah sudah komunikasi dengan Istana?
Saya pernah sampaikan ide itu pada rapat paripurna di bulan Agustus dipimpin Presiden. Bahwa ini hasil rapat Komisi III ada dorongan dan keinginan dan tuntutan agar Polri lebih optimal penangana kasus korupsi, salah satunya opsinya bentuk Densus Tipikor. Bapak Presiden menjawab silakan dibuat konsep dan dipaparkan dalam rapat terbatas.
Agustus saya bentuk kelompok kerja internal untuk bahas itu. Oktober mereka selesai, termasuk perhitungan keuangan yang rinci.
Saya belum sampaikan kepada Presiden. Kami buat surat resmi kepada sekretaris kabinet per tanggal 25 september untuk meminta waktu paparan dalam rapat terbatas. Saya belum melapor resmi pada bapak Presiden dan Wakil Presiden. Karena saya pikir akan paparkan secara resmi dalam rapat terbatas didengarkan ke anggota kabinet lain.
Saya dengan informasi rapat terbatas akan dilaksanakan minggu depan. Kalau itu, saya akan paparkan.