Perkuat Koordinasi Berantas Korupsi
Koordinasi sangat dibutuhkan agar penegakan hukum terkait kasus korupsi bisa berjalan lebih fokus. Upaya pemberantasan korupsi yang menjadi salah satu amanat reformasi pun tidak berlangsung tumpang tindih.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, Sabtu (21/10), di Kota Magelang, Jawa Tengah, mengatakan, KPK tak menolak atau tak menyetujui usulan pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Polri karena tak memiliki kewenangan terkait hal itu. Namun, KPK akan menyarankan kepada Presiden Joko Widodo agar masalah korupsi ditangani lembaga yang ada.
Masukan itu diharapkan menjadi bahan pertimbangan Presiden dalam memutuskan perlu atau tidaknya kehadiran Densus Tipikor, seperti diusulkan Polri. Densus Tipikor Polri direncanakan didukung 3.560 polisi dan anggaran Rp 2,692 triliun.
”Semua itu adalah kewenangan Presiden dan DPR. Kami, KPK, hanya bisa manut (patuh),” kata Agus pada seminar nasional bertema ”Pengenalan Bentuk Grand Design Pencegahan Korupsi oleh KPK” di Universitas Negeri Tidar, Magelang.
Rencana pembentukan Densus Tipikor Polri mencuat kembali dalam dua minggu terakhir. Sebelum berangkat ke Turki pun Wakil Presiden Jusuf Kalla menuturkan, KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung sebaiknya diberdayakan maksimal dalam pemberantasan korupsi (Kompas, 18/10). Pembentukan Densus Tipikor berpotensi memunculkan ketakutan karena akan ada anggapan semua orang bisa ditangkap karena korupsi, di mana saja dan kapan saja. Oleh karena ketakutan ini, kinerja birokrasi bisa menjadi lamban sehingga pelayanan publik pun terkendala.
Di Indonesia, menurut Agus, satu masalah sering kali ditangani oleh lebih dari satu lembaga. Misalnya, urusan pegawai negeri sipil (PNS) ditangani oleh lima lembaga. Masalah keamanan laut ditangani oleh enam lembaga. Masalah terorisme dan narkoba ditangani oleh dua lembaga, yaitu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) bersama dengan Polri.
Keterlibatan lebih dari satu lembaga itu, menurut dia, sebaiknya dievaluasi dan dilihat realisasinya di lapangan. ”Untuk menangani terorisme, misalnya, dilihat saja apakah selama ini tak terjadi persaingan kerja antara BNPT dan Polri? Apakah dua lembaga cukup efektif untuk menyelesaikan masalah?” ujarnya.
Agus mengatakan, saatnya pemerintah melakukan reformasi birokrasi dan menyusun semua lembaga itu dalam sistem yang benar. Keberadaan dua lembaga atau lebih untuk mengurusi satu hal hanya menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan, inefisiensi, dan pemborosan anggaran negara.
Berbagi tanggung jawab
Di Jakarta, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), M Nasir Djamil, menjelaskan, DPR mendorong Polri memperkuat pemberantasan korupsi agar semua lembaga penegak hukum bisa berbagi tanggung jawab dalam pemberantasan korupsi. Selama ini terkesan tulang punggung pemberantasan korupsi hanya KPK. Padahal, Polri dan Kejaksaan juga memiliki kewenangan itu.
Dengan langkah memperkuat koordinasi di antara ketiga lembaga itu, katanya, langkah pemberantasan dan pencegahan korupsi bisa semakin kuat. ”Harus ada pembagian tanggung jawab sehingga ketiga lembaga penegak hukum itu menjadi superteam dalam pemberantasan korupsi. Bukan KPK yang terkesan selama ini sebagai Superman,” ujar Nasir dalam diskusi bertema ”Perlukah Densus Tipikor?” yang digelar Smart FM dan Populi Center, Sabtu.
Dalam diskusi itu hadir pula dosen hukum tata negara Margarito Kamis, pengajar hukum Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Umar Husein, serta Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho.
Nasir menambahkan, dalam beberapa tahun terakhir belum ada harmonisasi antarlembaga penegak hukum yang memiliki irisan dalam tugas pemberantasan korupsi sehingga ada kecenderungan tumpang tindih dan benturan di lapangan. Ia berharap tiga lembaga penegak hukum itu memperkuat koordinasi dan komunikasi untuk menangani korupsi. Hal itu bisa dilakukan dengan menyusun program bersama berdasarkan penanganan kasus prioritas, seperti korupsi politik, korupsi aparat penegak hukum, korupsi konsensi sumber daya alam, korupsi pengadaan barang dan jasa, serta korupsi pelayanan publik.
Umar mengatakan, keberadaan Densus Tipikor Polri seharusnya fokus pada penanganan korupsi yang tak ditangani KPK. Andai prioritas kasus Densus Tipikor Polri sama dengan KPK, bisa mengakibatkan gesekan antarlembaga penegak hukum karena saling berebut perkara.
Ia menambahkan, pengaturan peran itu berada di tangan presiden. ”Jadi, presiden yang mengatur pembagian tugas itu karena Polri dan Kejaksaan berada di bawah presiden,” katanya.
Menurut Emerson, Densus Tipikor Polri seharusnya memprioritaskan penanganan kasus korupsi yang melibatkan internal kepolisian, seperti dugaan kepemilikan rekening gendut di Polri. Dengan fokus pembenahan internal, Densus Tipikor tak akan terkesan menjadi pesaing KPK.
Emerson menambahkan, seiring peristiwa gesekan antara KPK dan Polri mengakibatkan KPK cenderung tidak berani memasuki ranah kasus korupsi yang terjadi di aparat penegak hukum, salah satunya kepolisian.
”Kalau ditangani internal kepolisian, mereka tidak punya beban. Kami mendukung pembentukan Densus Tipikor jika fokusnya pembenahan internal kepolisian,” kata Emerson.
Advokat Petrus Balapattyona mendukung pembentukan Densus Tipikor Polri. ”Polri dan Kejaksaan berwenang menangani kasus korupsi,” ujarnya. Kepolisian pun pantas diperkuat dalam pemberantasan korupsi.
Apalagi, kata Petrus, KPK tidak bersih pula dalam menangani kasus korupsi. Ada sejumlah kasus yang membelit pegawai dan pimpinan KPK. (SAN/EGI/tra)