TIDAK perlu punya album dulu. Tidak perlu punya singel sendiri dulu. Pentas musik selama Oktober ini untuk semeton (saudara) Karangasem yang mengungsi karena status Awas dari Gunung Agung. Mari datang untuk main musik, bernyanyi, saling peduli, saling memotivasi, dan berdonasi.
Ajakan ini disambut hangat. Sebanyak 60 grup musik asal Bali, baik grup musik papan atas maupun grup musik yang baru mulai berkarya, bergabung dalam Musisi Peduli Musik untuk Kemanusiaan, yang diinisiasi I Made Juniartha alias Jun Bintang (42). Mereka ngamen gratis di beberapa lokasi di Kota Denpasar dan Gianyar.
”Musisi harus bergerak, harus berbuat sesuatu. Ngamen gratis ini tidak hanya sekadar menghibur, tetapi juga mengingatkan ada nyama (warga) kita di Karangasem yang sedang susah. Musisi tidak mengambil sepeser pun uang donasi,” kata Jun Bintang.
Sabtu (23/9), sehari setelah ditetapkannya status Awas Gunung Agung, Jun Bintang yang tergabung dengan grup musik Bintang asli Bali ini ngamen gratis bersama beberapa grup musik lain di Kota Denpasar. Dua hari ngamen, mereka mendapat donasi sekitar Rp 100 juta tunai. Jun Bintang bersama beberapa musisi kemudian menyalurkan uang itu ke sejumlah titik pengungsian.
Laporan keuangan donasi ia perlihatkan melalui akun-akun media sosial pribadinya atau akun grup musiknya mulai dari jumlah donasi hingga peruntukannya. Lokasi pengungsian yang dipilih untuk menerima donasinya berada lumayan jauh dari pusat perkotaan dan belum banyak tersentuh bantuan pemerintah atau masyarakat.
Tiap hari Jumat, Sabtu, Minggu, mulai pukul 19.00 Wita hingga 22.00 Wita, pada Oktober ini, puluhan grup musik bergantian pentas di Kafe Stel Peleng, di Ketewel, Kabupaten Gianyar. Panggung sederhana tetap tidak mengurangi daya tarik untuk membangkitkan semangat tamu kafe berdonasi dan berbagi untuk kemanusiaan.
Sabtu (7/10) malam, kebetulan grup musik baru yang tampil, antara lain Clivora, AMS, Pherona, Nineties, dan Double U. Meski acara dimulai tidak tepat waktu, pengunjung tetap semangat menunggu penampilan para band anyar itu. Suasana di kafe menjadi akrab. Tanpa sekat, para musisi dan pengunjungnya bebas berdialog.
Wira (25), vokalis band Clivora, merasa lega seusai tampil di panggung kafe itu. Dia lega karena dapat turut berbagi melalui musik. Ini pengalaman pertama mereka bermusik untuk donasi kemanusiaan. Apalagi, salah satu pemain bas mereka, Komang, bersama keluarganya, adalah bagian dari pengungsi.
Jadi, mereka merasa ini panggilan jiwa yang harus dipenuhi melalui musik kemanusiaan karena secara materi masih jauh dari kata sanggup. ”Ini pengalaman berharga untuk band kami. Menurut rencana, kami bersama teman yang lain juga bakal menggelar acara serupa di Kabupaten Tabanan,” ucap Wira.
Di sela-sela pergantian band, pembawa acara terus mengingatkan donasi ini tak hanya urusan pengumpulan uang. Ini bagian dari tradisi menyama braya (gotong royong) sesama semeton Bali yang perlu dilestarikan dalam suka ataupun duka. Acara ngamen gratis ini bagian dari upaya membantu sesama yang tak bisa langsung menyumbang dan menemui pengungsi untuk menyalurkannya.
Dalam berbagai pentas musik, tak ada uang donasi yang terpotong untuk honor pemusik atau sewa alat musik serta pengeras suara. Semua biaya adalah biaya keikhlasan. ”Inilah konsep menyama braya Bali diuji,” kata pembawa acara pada Sabtu malam itu.
Tidak hanya di panggung Stel Peleng saja melodi cinta itu bersenandung. Sejumlah musisi Bali lainnya menyalurkan keprihatinan mereka melalui karya lagu, baik berlirik bahasa Bali maupun instrumen. Anak Agung Raka Sidan, misalnya, menciptakan lagu ”Lara Para Pengungsian”, beberapa hari setelah status Awas untuk Gunung Agung ditetapkan. Lagu berbahasa Bali itu menggambarkan kesedihan pengungsi.
Kesedihan semeton Karangasem harus tinggal di pengungsian. Mereka memohon pengertian semeton sareng sami (saudara semua) untuk membantu mengurangi kepedihan di pengungsian. ”Titiyang para pengungsine mangkin, nunas wantuane sami... (saya dan para pengungsi minta bantuannya saudara semuanya...)” menjadi penutup lirik lagu itu.
Gus Teja, pemain suling Bali, juga berupaya berempati melalui album barunya Sundara. ”Journey”, salah satu lagu barunya, dipersembahkan untuk pengungsi Karangasem. Ia berharap lagu-lagunya mampu menyejukkan hati pengungsi yang sedang dirundung kegalauan dan ketidakpastian akibat Gunung Agung. ”Semoga ’Journey’ ini bisa mengurangi kesedihan di pengungsian, nggih, semeton tiyang Karangasem...,” ucap Gus Teja sebelum memainkan lagunya, di alam terbuka Kumulilir, Gianyar, pekan lalu.
Beberapa truna-truni (sebutan pemuda-pemudi di Bali) juga kini terlihat ikut ambil bagian. Mereka ngamen tradisi ngelawang. Membawa barong berukuran kecil dan beberapa gamelan sederhana yang bisa dibawa berkeliling kampung oleh anak-anak atau remaja. Truna-truni itu membawanya ngamen barong di perempatan jalan di beberapa titik Kota Denpasar dan di beberapa kabupaten lainnya. Mereka pun spontan mengedarkan kotak kardus amalnya untuk kemanusiaan.
Sedih memang melihat nyama Karangasem harus mengungsi, meninggalkan harta benda hasil tabungan selama bertahun-tahun. Mereka juga harus berpisah dengan ternak-ternak kesayangan, meninggalkan buah-buah mete siap panen. ”Jadi, dengan lagu, kami juga turut menyemangati mereka dan berbagi kasih dan cinta. Kami menguatkan agar mereka dapat melewati lara pengungsian,” kata Jun Bintang.