Menunggu Sikap Kenegarawanan Menteri
”Perusahaan selaku pihak yang diberikan izin mengelola tanah negara sudah seharusnya patuh pada aturan negara. Jangan dibalik bahwa negara yang harus patuh pada aturan perusahaan. Itu jelas salah,” kata Menteri (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Siti Nurbaya. (Siaran Pers Biro Humas KLHK No SP.310/HUMAS/PP/HMS.3/10/2017)
Membaca siaran pers Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup yang beredar di media sosial, Senin (23/10), memunculkan pertanyaan besar di masyarakat. Bahkan, di sebuah grup media sosial yang anggotanya didominasi awak media di Riau, seseorang menyebutkan siaran pers itu mirip isi surat dari lembaga swadaya masyarakat.
Siaran pers itu, dari materinya, patut diduga ditujukan kepada perusahaan industri dan hutan tanaman industri PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang berkarya di Riau. Tapi, isinya, seakan ”sumpah serapah” yang dituangkan ke lubang sampah.
Isi siaran pers tersebut menuding PT RAPP tidak patuh menjalankan aturan kehutanan yang dimandatkan undang-undang. Perusahaan tidak beritikad baik. Perusahaan melanggar aturan, mengatur-atur, hingga memaksa pemerintah. Ketika perusahaan sejenis tunduk, PT RAPP dituding menjadi satu-satunya perusahaan yang tidak patuh. PT RAPP dinilai melakukan langkah-langkah manipulatif dan melakukan rekayasa konfik sosial di ruang publik.
Jika ditilik dari makna bahasa, isi siaran pers itu mengandung unsur kemarahan yang luar biasa. Apa sesungguhnya yang terjadi di balik kalimat-kalimat tudingan tajam itu?
Apa sesungguhnya yang terjadi di balik kalimat-kalimat tudingan tajam itu?
Jika dirunut dengan pemberitaan sebelumnya, kemarahan sang menteri jelas terkait keengganan PT RAPP melaksanakan aturan Peraturan Menteri LHK Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Padahal, selama ini, Menteri Siti getol memperjuangkan aturan yang intinya bertujuan menyelamatkan ekosistem gambut (dalam) di lahan konsesi perusahaan HTI dengan cara diubah dan dijadikan fungsi lindung.
Aturan menteri tersebut mewajibkan perusahaan mengalihfungsikan kawasan gambut dalam (lebih dari tiga meter) pada lahan budidaya untuk diubah menjadi fungsi lindung. Apabila di lokasi tersebut telanjur tertanam pepohonan HTI, perusahaan masih dapat memanen untuk satu daur, tetapi kemudian tidak boleh ditanam ulang.
Hanya saja, aturan menteri itu ternyata sudah gugur menyusul putusan Mahkamah Agung yang menerima gugatan uji materi yang dimohonkan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia wilayah Riau. Mahkamah Agung memutuskan aturan menteri tersebut bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hukum dikenal asas lex superior derogat legi inferiori, yang artinya aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Mari kita telaah isi putusan MA yang beredar di publik pada Senin kemarin. Namun, sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum, kita harus sadar bahwa putusan itu wajib menjadi acuan semua pihak yang terkait. Putusan itu harus dipatuhi tidak hanya untuk PT RAPP, tetapi juga untuk semua perusahaan HTI dan pemerintah, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Poin penting dari putusan MA itu adalah, aturan menteri bertentangan dengan Pasal 6 UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Pasal itu membagi hutan sesuai fungsinya sebagai konservasi, lindung, dan produksi (pasal 1). Dari fungsi itu, pemerintah menetapkan tiga kategori hutan, yaitu hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi (pasal 2). Pasal itu tidak memasukkan kategori (hutan) ekosistem gambut. Itulah yang digugat SPSI. Dengan kata lain, eksosistem gambut tidak diatur dalam UU Kehutanan.
Sebaliknya, menurut KLHK, ekosistem gambut dan kawasan hutan berfungsi saling melengkapi sesuai karakteristik ekosistemnya. Hal itu tidak bisa dipertentangkan satu sama lain sehingga tidak ada aturan (lebih tinggi) yang dilanggar.
KLHK mengatakan, apabila Permen No 17/2017 dicabut, maka perlindungan dan pengelolaan gambut menjadi tidak maksimal dan rawan terbakar. Akan muncul kekacauan karena sebagian besar perusahaan HTI telah mengubah rencana kerja usahanya sesuai aturan baru. Keseimbangan iklim dan pengelolaan air menjadi terganggu serta bertentangan dengan Kesepakatan Paris seperti yang telah diratifikasi lewat UU N0 16/2016.
Namun, Mahkamah Agung tidak sependapat dengan KLHK. MA mengatakan, fungsi hutan dalam UU Kehutanan bersifat limitatif atau terbatas. Undang-undang hanya menyebut fungsi hutan untuk konservasi, lindung, dan produksi atau bukan.
MA berpendapat, selain melanggar aturan yang lebih tinggi (lex superior), aturan menteri juga tidak sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku secara universal, yaitu lex certa. Artinya, materi dalam satu perundang-undangan tidak boleh diperluas atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam peraturan perundangan itu.
Implikasi dari materi yang diperluas itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Atas dasar itu, MA memerintahkan menteri untuk mencabut aturan tersebut.
Tentang perlindungan dan pengelolaan gambut, seperti dalil KLHK, MA tidak menyinggungnya. MA hanya mengatakan, sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum berdasarkan UUD 1945. Standar pembuatan aturan sudah dimuat dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam UU tersebut diatur perencanaan penyusunan peraturan, termasuk peraturan menteri, harus melalui pengkajian dan penyelarasan yang tertuang dalam naskah akademik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tanpa kajian akademik, perumusan masalah menjadi tidak akurat.
Bahkan, tanpa kajian akademik, kata MA, aturan yang dibuat sebagai dasar penyelesaian masalah dalam berkehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat menjadi tidak lengkap. Perumusan pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan aturan menjadi tidak komprehensif.
Masih ada beberapa pertimbangan MA yang lain, tentang pasal-pasal lain yang bertentangan dengan perundangan lebih tinggi. Namun, pelanggaran Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan sudah menjawab persoalan konflik antara PT RAPP dan KLHK. Sekarang ini, yang diperlukan adalah sikap kenegarawanan Menteri LHK untuk mencabut aturan No 17/2017 tersebut sesuai perintah MA.
Itulah langkah awal yang paling pas untuk dilakukan. Selanjutnya, untuk solusi ke depan, Menteri LHK dapat mengajukan revisi UU Kehutanan agar dapat memasukkan kategori fungsi ekosistem gambut sebagaimana pesan yang terkandung dalam putusan MA.
Tidak perlu pula mengatasnamakan hukum dan perundang-undangan untuk mencari legitimasi terhadap Permen No 17/2017 lagi karena MA sudah tegas memutuskan mana yang harus diikuti. Aturan negara pun bisa salah. Kesalahan itulah yang harus diperbaiki. Kurang elok rasanya mengumbar kata-kata kemarahan di depan publik.
Melawan perintah MA sama saja dengan menunjukkan kekuasaan tirani. Harap dipahami, sistem politik apa pun di dunia ini, baik demokrasi maupun tirani, selalu menggunakan kalimat hukum, bahkan keadilan sebagai landasan legitimasi dan kekuasaan.
Filsuf Yunani, Aristoteles, mengatakan, supremasi hukum jauh lebih baik daripada peraturan tirani yang merajalela. Adapun bapak trias politica, Montesquieu, mengatakan, tidak ada sistem yang lebih mengerikan daripada tirani yang diterapkan dengan tameng hukum dan pengatasnamaan keadilan.