Perjuangkan Mimpi yang Enggan Terkubur
Risma Yulianti (14) baru selesai berdoa. Baju sembahyang diletakkan dan langsung berganti seragam sekolah putih biru. Ia siap berangkat. Semangatnya tak pernah surut meski selama beberapa pekan dirinya tinggal di pengungsian.
Selama Gunung Agung berstatus Awas, Risma tinggal di Banjar Lebah, Kelurahan Semarapura Kangin, Klungklung, Bali.
”Sekarang sementara sekolah di SMPN 1 Bebandem. Jaraknya dari sini sekitar 20 kilometer atau sekitar setengah jam naik motor,” katanya.
Risma adalah salah seorang dari 921 siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Selat, Karangasem. Tahun ini, ia duduk di kelas IX. Setelah Gunung Agung berstatus Awas pada 22 September, semua siswa SMPN 2 Selat harus berpisah sementara dari kenyamanan belajar.
SMPN 2 Selat masuk zona rawan 9 km terdampak letusan Gunung Agung. Bukan hanya sekolah, ia juga harus meninggalkan rumah. Risma tidur dan belajar di pengungsian. Dua minggu terakhir, ia bahkan berkali-kali pindah sekolah.
”Sudah empat kali pindah sekolah. Awalnya di SMPN 1 Semarapura dapat dua hari, pindah ke SMPN 6 Denpasar juga dua hari, hanya sehari di SMPN 1 Sidemen, dan terakhir di SMPN 1 Bebandem,” kata warga Griyana Kangin, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, itu.
Ia tinggal di pengungsian bersama 253 warga Griyana Kangin lainnya. Saat jarum jam menunjukkan pukul 12.30 Wita, gas sepeda motor matik mulai ditarik. Jalan menuju ke sekolah penuh kelokan, naik dan turun. Tiba di halaman SMPN 1 Bebandem, lapangan sekolah penuh sesak. Rombongan siswa setempat bersiap pulang. Siswa pengungsi bersiap masuk sekolah pada pukul 13.00 Wita.
Tetap semangat
Kepala SMPN 2 Selat I Wayan Mustara mengatakan, sudah seminggu siswanya sekolah di SMPN 1 Bebandem. Namun, tidak semuanya, atau 921 siswa, hadir bersamaan.
Sebagian siswa terpencar di sejumlah daerah, ikut orangtua masing-masing mengungsi ke rumah sanak saudara di daerah lainnya di Bali, bahkan luar Bali.
Kepala SMPN 1 Bebandem I Gusti Lanang Weda menyambut dengan terbuka kedatangan siswa pengungsi. Ruang kelas tetap dibuka hingga sore. Guru-guru SMPN 2 Selat juga disediakan ruang khusus.
Weda mengatakan, meski serba terbatas, siswa pengungsi itu harus terus sekolah dan guru tetap mengajar. Jangan sampai mimpi masa depan siswa terhalang status Awas Gunung Agung.
”Setiap hari selalu datang siswa pengungsian ke sini. Kursi dan meja kami sediakan meski seadanya,” ujar Weda.
Kondisi itu terlihat saat siswa kelas IX memulai pelajaran. Lima siswa yang baru pertama kali datang urung mendapat tempat duduk. Ada siswa yang berdiri bersandar di dinding belakang. Ada juga yang duduk satu bangku berdua. Sebanyak 16 pasang meja kursi sudah diisi 48 siswa.
Kehilangan semangat? Tentu tidak. Ni Luh Utari Puspita Devi (15) menjadi siswa yang paling bersemangat. Langganan ranking tiga besar ini aktif menjawab saat guru Ilmu Pengetahuan Sosial, Ida Ayu Puspawati (47), tampil di muka kelas.
”Saya juga pengungsi. Bersama keluarga besar tinggal di kamar kos di Tandibeng, sekitar 2 km dari sekolah,” kata Devi, warga Amerta Bhuana, Kecamatan Selat, tersebut.
Tinggal berdesakan di kamar kos tidak jadi masalah. Ia masih menyempatkan waktu belajar di antara tumpukan barang yang ikut dibawa mengungsi.
”Setahun lagi saya lulus SMP. Sayang kalau tidak dilanjutkan. Banyak mimpi besar yang ingin saya capai,” ujarnya.
Semangat Devi dan siswa lainnya terlihat saat Puspawati melontarkan pertanyaan seputar potensi letusan Gunung Agung. ”Apa konsekuensinya jika nanti gunung benar-benar meletus?” ujar Puspawati.
”Mengungsi. Susah sekolah,” kata siswa-siswa tersebut ramai, bersahutan menjawab pertanyaan.
”Akan tetapi, apa manfaatnya? Ada yang tahu?” ucap Puspawati.
Kali ini siswa terdiam. Puspawati tak habis akal. Ia lantas melanjutkan pertanyaan. ”Siapa yang berasal dari Sebudi?”
Sebudi adalah salah satu sentra penambangan galian C andalan Karangasem. Pasirnya adalah sisa letusan Gunung Agung tahun 1963. Potensinya ditargetkan menyumbang pendapatan asli daerah Karangasem hingga Rp 78 miliar dari total Rp 233 miliar tahun ini.
Seorang siswa mengacungkan tangan. Namun, ia masih bingung menjawab pertanyaan Puspawati. ”Kamu nanti jadi jutawan. Kalau Gunung Agung meletus, daerahmu akan mendapatkan banyak sekali pasir untuk dijual,” katanya.
”Tetapi, itu nanti. Sekarang mengungsi dulu saja. Jangan lupa pakai masker, baju lengan panjang, dan tinggal di tenda atau rumah jika Agung meletus,” katanya.
Puspawati mengatakan tidak pernah bosan mengajarkan pengetahuan itu kepada siswa-siswanya. Warga Griya Duda, Kecamatan Selat, yang juga ikut mengungsi itu, tak ingin siswa lupa Gunung Agung bisa meletus kapan saja. Pengalaman banyak warga yang tak tahu sejarah letusan pada 1963 jangan terulang lagi.
”Sebagai generasi muda yang mungkin tetap tinggal di kaki Gunung Agung, mereka harus punya banyak bekal,” kata Puspawati.
Di sudut kelas itu, Risma mengangguk pelan mendengarkan pesan gurunya. Penjelasan itu sedikit banyak menenangkan hatinya. Ia kini tahu, geliat Gunung Agung tak akan selamanya. Ia punya mimpi besar yang ingin diraih.
”Saya ingin jadi polisi. Waktu mengungsi, saya melihat mereka banyak membantu kami. Semoga, dengan terus sekolah, mimpi itu tercapai,” katanya.
Di tengah potensi hujan abu letusan Gunung Agung, mimpi itu tak akan terkubur mati. Mereka perlahan tetapi pasti hidup secara arif bersama bencana. Perlahan pula terus terbangun mimpi itu di kaki gunung.