TOKYO, KOMPAS — Pemilik proyek Bandara Internasional Kulon Progo, Yogyakarta, PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk dan Angkasa Pura I, menjajaki kerja sama dengan dua konsultan desain dan proyek asal Jepang. Kerja sama khusus mengantisipasi tsunami dari pantai selatan Jawa.
Selama empat hari, tim yang diikuti sejumlah ahli dari empat perguruan tinggi negeri di Tanah Air itu (ITB, ITS, UGM, dan Undip) menemui lembaga konsultan teknik, ahli, dan bandara di Jepang yang telah mengadaptasi bencana.
”Ini demi optimasi pembangunan Bandara Kulon Progo,” kata Andek Prabowo, Manajer Umum Proyek Bandara Baru Internasional Yogyakarta Kulon Progo, di Tokyo, Jepang, Rabu (25/10) siang, seusai paparan proyek di Nikken Sekkei Ltd, konsultan desain dan teknik kenamaan Jepang.
Bandara Kulon Progo dibangun di Kecamatan Temon. Lokasinya 400 meter dari pantai selatan. Panjang lintasan ditargetkan 3.250 meter dengan lebar 60 meter, yang fase konstruksinya ditargetkan selesai Desember 2018. Sejarah tsunami besar hingga setinggi 15 meter akibat gempa magnitudo 8,5 membuat desain konstruksi perlu disiapkan khusus.
Bandara Kulon Progo dibangun di Kecamatan Temon. Lokasinya 400 meter dari pantai selatan. Panjang lintasan ditargetkan 3.250 meter dengan lebar 60 meter, yang fase konstruksinya ditargetkan selesai Desember 2018.
Saat ini, desain awal sudah selesai dibuat pihak konsultan dalam negeri, tetapi masih membutuhkan penyesuaian lanjut. ”Kami perlu kajian lagi dengan pihak yang berpengalaman. Karena itu, kami akan bertemu lagi dengan para ahli dari Jepang ini,” ujar Direktur Gedung PT Pembangunan Perumahan (PP) M Aprindy. Seusai paparan, PT PP meminta waktu bertemu dengan para ahli dari Nikken Sekkei. Permintaan itu disambut baik.
”Kalau kita bicara soal desain antibencana, banyak hal yang perlu dikaji. Tidak hanya soal desain teknis, tapi semuanya,” ucap Hong Heng Yuan, arsitek Departemen Desain Nikken Sekkei.
Perusahaan ini antara lain mendesain Bandara Sendai yang dihantam tsunami tahun 2011. Mereka juga mendesain dan membangun bandara lain di pulau buatan di Jepang serta bandara di India, Myanmar, dan Iran. Mereka juga mendesain Tokyo Skytree setinggi 634 meter. Pengalaman nyata itulah yang membuat mereka dijadikan tujuan belajar.
Desain bandara yang sudah ada harus benar-benar mengadaptasi potensi tsunami besar di selatan Jawa. Hanya dengan kajian dan perencanaan detail, segala risiko bisa diantisipasi.
”Kita memang perlu mengkaji lagi desain yang sudah ada untuk mitigasi dan adaptasi bencana, seperti tsunami di pantai selatan Jawa,” kata ahli mitigasi bencana dari ITB, Prof Masyhur Irsyam. Menurut dia, desain bandara yang sudah ada harus benar-benar mengadaptasi potensi tsunami besar di selatan Jawa. Hanya dengan kajian dan perencanaan detail, segala risiko bisa diantisipasi.
Seperti dikatakan Hong Heng Yuan, seluruh desain bandara yang dibuat Nikken Sekkei menempatkan keselamatan penumpang dan staf bandara sebagai fokus utama. Bahkan, sejak gempa Tohoku 2011 yang menimbulkan tsunami besar di Sendai, pihaknya menjadikan bangunan di bandara sekaligus sebagai tempat evakuasi bagi warga sekitar bandara.
”Kami belajar banyak sejak tsunami tahun 2011 itu,” ujar Hong. Tsunami itu merendam lantai 1 Bandara Sendai setinggi 3 meter. Namun, seluruh staf bandara dan penumpang dapat dievakuasi ke lantai 2. Bahkan, warga sekitar dievakuasi di bandara. Satu bulan pascatsunami, penerbangan domestik Bandara Sendai sudah dibuka. Adapun penerbangan internasional dibuka enam bulan kemudian, sekaligus peresmian proses rehabilitasi tuntas.
Salah satu pelajaran penting dari tsunami di Sendai, seperti dikatakan Hong, adalah perlunya memastikan ruang mekanik, termasuk kelistrikan, terlindung dari kehancuran akibat tsunami. ”Tanpa listrik, bandara tak mungkin berfungsi,” lanjutnya.
Rabu sore, tim studi perencanaan mengunjungi perusahaan Nippon Koei, yang terlibat perencanaan dan pembangunan 70 bandara di 30 negara. Perusahaan ini berdiri tahun 1946. (GESIT ARIYANTO dari Tokyo, Jepang)