logo Kompas.id
UtamaKarut-marut Perdagangan Gula
Iklan

Karut-marut Perdagangan Gula

Oleh
· 4 menit baca

SEMARANG, KOMPAS — Kasus perdagangan gula kembali karut-marut. Petani akhirnya nekat memilih membatalkan perjanjian secara sepihak jual beli gula ke Perum Bulog karena dianggap merugikan. Mereka menilai pemerintah dalam hal ini Perum Bulog tidak serius dan mengabaikan upaya petani tebu yang sudah bekerja keras menjaga produksi gula lokal.Koor keresahan itu disuarakan secara serentak, baik oleh petani maupun Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia. Bahkan, di Jawa Tengah, petani nekat membatalkan perjanjian pembelian gula sebanyak 800 ton oleh Perum Bulog. Petani menilai harga pembelian Perum Bulog yang dipatok Rp 9.700 per kilogram (kg) tidak kompetitif. Mereka menarik gula dan memilih menjual langsung ke pasaran dengan harga lebih tinggi. Ketua Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kudus Raya, Jawa Tengah, Harjo (50), Selasa (24/10), mengatakan, di wilayah Kudus dan sekitarnya, petani menarik sekitar 50 ton gula yang sebelumnya bakal dijual ke Perum Bulog. "Kami tidak bisa melarang petani tebu menarik kembali gulanya. Mereka membutuhkan dana segar untuk biaya operasional tanam tebu pada musim giling berikutnya," ujarnyaDengan menjual gulanya secara bebas, petani memperoleh dua keuntungan. Pertama, penjualan gula ke pihak ketiga di luar Perum Bulog tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Keuntungan kedua, petani segera memperoleh dana segar dari penjualan gula yang sempat terkatung-katung lebih dari enam bulan. Ketua DPD APTRI Jawa Tengah Sukadi Wibisono mengatakan, tindakan itu bukan semata-mata karena petani mencari untung, melainkan karena Perum Bulog tidak siap dengan dana segar. Ironisnya lagi, saat Perum Bulog setuju membeli gula petani Rp 9.700 per kg, pedagang besar beramai-ramai mengajukan penawaran pembelian ke Perum Bulog. Padahal, saat gula masih berada di tangan petani, pedagang besar tidak ada yang berminat karena takut akan dikenai PPN 10 persen.Mematikan usaha Sukadi menilai, hal itu merupakan preseden buruk bagi industri gula Tanah Air. Pemerintah dinilai tidak serius dan mengabaikan upaya petani tebu yang sudah bekerja keras.Hal lebih tegas dinyatakan Sekretaris Jenderal DPN APTRI M Nur Khabsyin. Menurut dia, sejumlah ketentuan dalam tata niaga gula, seperti pengenaan pajak dan penetapan harga jual, berpotensi mematikan usaha petani. Minimnya insentif bagi petani justru kontraproduktif bagi upaya swasembada.Ia mencontohkan pengaturan agar petani menjual gula ke Perum Bulog dengan harga Rp 9.700 per kg. Selain patokan harga yang lebih rendah ketimbang ongkos produksi Rp 10.600 per kg, ketentuan itu menutup peluang petani mendapatkan harga lebih tinggi di pasar.Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) juga menekan harga di tingkat petani. Menurut Khabsyin, meski tak lagi dikenai PPN 10 persen, petani menanggung beban PPh 1,5 persen bagi pemilik nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan 3 persen bagi petani yang tak punya NPWP.Keluhan serupa disampaikan petani dalam rembuk nasional yang diselenggarakan pemerintah di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta, Senin (23/10). Kalangan petani tebu meminta pemerintah mencabut Surat Menteri Perdagangan dan Surat Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri. Nur Khabsyn mengatakan, pengaturan penjualan gula petani hanya ke Perum Bulog sangat merugikan. Perum Bulog mengambil keuntungan terlalu besar dan hanya membeli gula Rp 9.700 per kg.Dalam praktiknya, Perum Bulog ternyata menjual gula petani ke pedagang besar Rp 11.000 per kg. Hal ini tentu menyakitkan petani karena berarti mereka rugi Rp 1.300 per kg. Sikap yang sama ditunjukkan petani tebu di Jawa Timur. Ketua Harian Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Dewan Pimpinan Daerah PTPN XI Sunardi Edi Sukamto mengatakan, petani tebu di Jatim bersepakat tidak menjual gula ke Perum Bulog. Sebab, saat diperiksa oleh Perum Bulog, ada gula yang kondisinya di bawah Standar Nasional Indonesia (SNI)."Tidak ada satu pun gula petani yang diserap Perum Bulog. Jika ada satu petani yang bisa menjual gula dan ada petani lain tidak bisa menjual gula ke Perum Bulog, akan menimbulkan kecemburuan. Urusan SNI ada di tangan PT Perkebunan Nusantara, bukan urusan petani lagi," katanya.Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti, dalam rembuk pangan di Institut Pertanian Bogor, Jumat (20/10), mengatakan, stok gula di pasaran dinilai berlebih. Dengan kebutuhan gula konsumsi ratarata 240.000 ton per bulan, stok gula pada akhir tahun diperkirakan 1,2 juta ton.Situasi itu dikhawatirkan menekan harga gula dan cenderung tak terkendali karena stok tersebar. Oleh karena itu, pemerintah mencoba mengendalikan penjualan agar harga tidak terus turun pada saat panen tahun depan antara lain lewat pengaturan penjualan gula curah hanya oleh Perum Bulog dan mitranya.Terkait pengenaan PPh, kata Djarot, hal itu merupakan kewenangan Kementerian Keuangan. (WHO/IKI/ETA/nik/MKN)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000