Perempuan Selalu Menjadi Korban
Belum habis pertanyaan Cusyanto (13) kepada orangtuanya yang akan bercerai, petaka tiba-tiba datang. Ibunya, Daliri, meninggal karena diduga dibunuh oleh suaminya sendiri, Dupendi.
Siang itu, Minggu (15/10), Cusyanto duduk termenung di atas kursi bambu, di rumah keluarganya di Blok Waledan, Desa Lamarantarung, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Matanya masih berair seperti habis dikuras tangis. Pandangannya sesekali menuju kepada adiknya, Suwanta (8) dan Suhedi (3). Mereka kini harus menghadapi kenyataan, ibunya tewas, diduga dibunuh oleh bapaknya alias suami Daliri sendiri.
Peristiwa naas itu berlangsung di Blok Ombe, Desa Lamarantarung, Jumat (6/10). Di jalan setapak di antara empang, kapak Dupendi (35) yang seharusnya digunakan untuk menebang pohon malah digunakan untuk membunuh Daliri (30).
Daliri jatuh lalu meregang nyawa. Setelah kejadian itu, Dupendi mencoba membacok dirinya, tetapi berhasil diselamatkan. Ia kini dirawat intensif di rumah sakit.
Berdasarkan penyelidikan sementara, Dupendi kalap dan tega melakukan kekerasan itu karena istrinya menolak diajak rujuk. Keduanya tengah menjalani sidang perceraian di Pengadilan Agama (PA) Indramayu.
Ato (sapaan Cusyanto) masih shocked, kata Saridah (26), bibinya. Menurut versi yang ia dengar, sejak sebulan lalu, Daliri yang merupakan kakak Saridah meminta bercerai. ”Pemicunya masalah ekonomi. Suaminya tak menafkahi keluarga,” ujarnya.
Selama ini Daliri bekerja sebagai buruh panen ikan dengan upah Rp 50.000-Rp 100.000 per hari. Namun, penghasilan itu tidak ajek karena masa panen tidak berlangsung setiap hari. Bahkan, tidak jarang dia bekerja hanya seminggu dalam dua bulan. Ia juga pernah pergi ke Jakarta ikut suaminya memulung.
Keterbatasan ekonomi memaksa Ato harus putus sekolah sejak kelas II SD. Ato terpaksa berhenti sekolah karena harus membantu ibunya bekerja di tambak. Penjelasan Saridah versi Daliri, perceraian itu juga dipicu perilaku kasar suaminya.
Saridah dan keluarganya menyerahkan kasus pembunuhan itu kepada kepolisian. Kini yang menjadi pikirannya, bagaimana ia harus mengurus Ato dan kedua adiknya, Suwanta dan Suhedi. Suwanta saat ini masih duduk di bangku kelas I SD.
Saridah yang masih menumpang di rumah orangtuanya mengkhawatirkan pertumbuhan keponakannya, terutama Suhedi, yang setiap malam terus mencari keberadaan ibunya.
Menjadi TKI
Peliknya perceraian orangtua juga dihadapi Suaib (13), bukan nama sebenarnya. Suaib tinggal di Singaraja, Indramayu. Saat masih duduk di bangku kelas II SD, ia tak didampingi ibunya, sebut saja Mutia (35). Ibunya terpaksa pergi ke Arab Saudi untuk mencari nafkah menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI).
Saat ibunya di Arab Saudi, suami Mutia meminta cerai. Tidak ada yang tahu pasti penyebabnya, tetapi diduga karena masalah ekonomi. Setelah kasus itu, kini Mutia terpaksa menumpang di rumah orangtuanya. Ia harus berjuang untuk menghidupi Suaib yang kini duduk di bangku SMP. Untuk itu, Mutia menjual kerupuk sembari berusaha mencari kesempatan bisa menjadi TKI lagi.
Ato dan Suaib hanya gambaran ratusan bahkan ribuan anak yang orangtuanya bercerai. Berdasarkan data PA Indramayu, pada 2015 sebanyak 7.430 pasangan diputuskan bercerai. Tahun 2016, jumlah perceraian bahkan bertambah menjadi 7.594 pasangan atau 20 pasangan per hari.
Menurut Wahid Afani dari bagian Humas PA Indramayu, rata-rata penyebab utama perceraian adalah faktor ekonomi, seperti ketidakmampuan kepala keluarga memenuhi perekonomian keluarga.
”Sementara istri umumnya bekerja di luar negeri sebagai TKI. Namun, suami lebih banyak menghabiskan uang kiriman istri bukan untuk kebutuhan keluarga. Oleh karena itu, pihak istri menjadi penggugat cerai terbanyak,” tuturnya.
Faktor perceraian selanjutnya adalah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus suami-istri, meninggalkan salah satu pihak, poligami, dan kekerasan dalam rumah tangga. Ada juga faktor kawin paksa dan karena suami berjudi.
”Dari gambaran itu tecermin perempuan dan anak kerap menjadi pihak yang dikalahkan,” ujar Farida Mahri, Koordinator Wangsakerta, komunitas yang fokus pada pemberdayaan perempuan di wilayah Cirebon.
”Perempuan selalu dipandang harus tunduk kepada suami. Jika perlu dengan kekerasan. Laki-laki merasa punya kekuasaan lebih. Akhirnya tidak ada komunikasi setara,” katanya.
Karena itu, pendidikan terkait ketahanan keluarga sangat penting diberikan menjelang pernikahan. Pemerintah juga perlu memikirkan penanganan bagi anak-anak yang menjadi korban perceraian.
Banyak faktor
Banyak faktor pemicu perceraian, tetapi tiga hal menjadi penyebab utama perceraian di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Sepanjang 2016, Pengadilan Agama Kabupaten Purbalingga menerima 2.243 perkara perceraian. Penyebab perceraian antara lain tidak adanya tanggung jawab, ketidakharmonisan, dan masalah ekonomi.
”Penyebab perceraian ada banyak. Ada yang karena ditinggal oleh salah satu pihak, ada yang sering bertengkar, masalah ekonomi, ada pula terkena kasus hukum. Namun, mayoritas adalah ditinggal, masalah ekonomi, dan perselisihan,” kata Panitera Muda Hukum PA Kabupaten Purbalingga Heru Wahyono, Jumat (20/10), di Purbalingga.
Ditinggal itu bisa karena suami bekerja di luar kota, bisa juga karena sering bertengkar, lalu ditinggal. Masalah ekonomi antara lain suami dianggap kurang dalam memberikan nafkah, suami tidak bekerja, ataupun bekerja tetapi nafkahnya tak diberikan kepada istri. ”Uang itu dipakai untuk selingkuh,” kata Heru.
Kepala Bidang Asistensi dan Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial, Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Purbalingga Endang Widowati mengatakan, pada 2016, di Purbalingga terdapat 7.275 wanita rawan ekonomi sosial.
”Dari jumlah itu, yang telah mendapatkan pelatihan dan bantuan baru sekitar 80 orang,” kata Endang.
Kriteria wanita rawan ekonomi sosial adalah usia berkisar 18-59 tahun, berpenghasilan kurang atau tidak mencukupi untuk kebutuhan fisik minimum, berpendidikan rendah, sakit sehingga tidak mampu bekerja, istri yang ditinggal suami tanpa batas waktu, dan tidak dapat mencari nafkah.