Bertahan dari Godaan Urbanisasi dengan Menekuni Konfeksi
ANGIN semilir dari sela-sela pepohonan pinus dan jati memberikan kesejukan di Desa Kebutuh Jurang, Kecamatan Pagedongan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Berada sekitar 15 kilometer arah selatan Alun-alun Banjarnegara, tepatnya di perbukitan Serayu, ratusan warga menekuni usaha konfeksi. Mereka berupaya mandiri di kampung halaman serta mengurangi arus urbanisasi ke Jakarta.
Dengan lincah dan luwes, jari-jemari Rantiyah (37) bergerak menarik kain-kain berpola pakaian perempuan seirama putaran mesin obras di depannya. Sorot matanya fokus pada tepian kain agar tercipta hasil obras dengan hasil yang rapi dan halus.
Rantiyah mengisahkan, dirinya bersama Supeno (36), suaminya, pernah menjadi perantau ke Jakarta dan ke Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Di Jakarta, mereka berdua mengadu nasib di industri konfeksi sebagai penjahit sejak 2003. Kemudian pada 2010, mereka menyeberangi Laut Jawa untuk bekerja di Kalimantan Tengah. ”Dulu suami saya pernah kerja tambang emas dan juga buruh sawit,” kata Rantiyah, Senin (4/9).
Lebih nyaman kerja di kampungJumadi
Menjalani hidup jauh dari keluarga dengan biaya hidup sehari-hari yang tinggi membuat mereka pulang ke kampung halaman. ”Saya sering sakit-sakitan. Pernah kena miom dan sudah angkat rahim. Sulit jika sakit dan jauh dari saudara,” tutur ibu satu anak itu.
Selain Rantiyah, di sampingnya duduk pasangan suami istri Jumadi (46) dan Wati (41) yang tidak kalah sigap dan terampil menjahit bagian leher kaus perempuan dan ujung lengannya. Tumpukan kaus perempuan berwarna merah muda dan oranye menumpuk di sekelilingnya.
Pasutri tersebut juga memutuskan untuk kembali ke kampung setelah lebih dari 23 tahun merantau di Jakarta sebagai penjahit di industri konfeksi di Pademangan, Jakarta Utara. ”Di Jakarta seminggu sekali bisa dapat uang Rp 700.000-Rp 800.000, tapi biaya kontrak rumah dan apa-apa di sana mahal,” ujar Jumadi.
Jumadi dan istrinya pun pulang kampung pada 2015 dan bekerja sebagai penjahit industri konfeksi rumah tangga milik Suratno yang adalah tetangganya sendiri. Dengan upah menjahit kaus bagian leher dan lengan berkisar Rp 1.500-Rp 1.600 per lusin, Jumadi bisa mendapat penghasilan Rp 375.000-Rp 400.000 per minggu. ”Lebih nyaman kerja di kampung,” katanya.
Kenyamanan itu, menurut Jumadi, antara lain biaya hidup di kampung yang relatif murah, bebas macet, dan dekat dengan saudara-saudara. ”Biasanya mulai kerja pukul 08.00 atau setelah mengantar anak sekolah. Siang istirahat pulang ke rumah lalu berangkat lagi. Jika sedang banyak pesanan, kadang lembur sampai pukul 22.00,” katanya.
Hal serupa disampaikan Afidin (28). Afidin pernah bekerja sebagai supervisor di suatu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur dan pernah bekerja di Tambora, Jakarta Barat, sebagai penjahit. ”Saya pulang kampung awal 2017 ini karena menikah dan sampai sekarang bekerja di sini saja,” katanya.
Bekerja di industri rumah tangga konfeksi juga dilakoni Dian Tri Rahayu (16). Dia baru saja lulus SMP dan memutuskan bekerja selama satu tahun sebagai pelipat dan pengepak kaus di konfeksi milik Abdul Aziz (44) dan Napsiah (39). ”Mau nabung dulu untuk bisa sekolah di SMK, inginnya ambil jurusan akuntansi,” kata Dian.
Ingin mandiri
Suratno salah satu pemilik industri rumah tangga konfeksi menyampaikan, dirinya sudah bertahun-tahun bekerja sebagai penjahit di Jakarta. Karena ingin membuka usaha sendiri, pada 2014 dia pun menyiapkan modal hingga Rp 60 juta untuk membeli berbagai mesin, seperti mesin jahit, mesin obras, dan mesin menjahit kaus bagian lengan dan leher. ”Sekarang ada 30 orang yang bekerja di konfeksi ini. Dengan membuka konfeksi di desa, paling tidak ibu-ibu rumah tangga di sini bisa dapat pekerjaan. Rata-rata per minggu bisa mengirim 1.000 lusin pakaian ke Tanah Abang, Jakarta,” kata Suratno.
Suratno mengatakan, bahan dan pola kaus sudah disiapkan dari pemesan asal Jakarta. Di tempatnya, para pekerja bertugas untuk mengobras, menjahit, membersihkan benang, dan mengemas. Jasa untuk menggarap per lusin kaus berkisar Rp 25.000. Dengan produksi hingga 1.000 lusin, per minggu ada perputaran uang sampai Rp 25 juta di tempat itu. ”Dari jumlah itu, keuntungannya sekitar Rp 1 juta,” ujar Suratno.
Suratno memaparkan, untuk upah penjahit rata-rata berkisar Rp 1.500 sampai Rp 4.200 per lusin kaus. Upah pengobras sebesar Rp 3.000 per lusin. Upah pembersih benang Rp 1.200 per lusin. Upah pelipat kaus Rp 350 per lusin. ”Selain upah pekerja, biaya produksi juga termasuk listrik dan ongkos kirim ke Jakarta,” paparnya.
Setelah warga bisa, beberapa orang yang merantau di Jakarta mulai pulang ke kampung dan mendirikan konfeksi di rumahnya.
Suhar Haryanto (40), pemilik konfeksi lainnya, mengatakan, dengan jumlah pekerja sebanyak 20 orang, dia dapat memproduksi 700 lusin kaus per minggu. ”Per minggu upah setiap pekerja sekitar Rp 300.000-Rp 400.000,” kata Suhar.
Bisnis konfeksi juga membuat Saman (43) pulang kampung dari Jakarta sebagai sopir di sebuah usaha mebel dan membuka toko benang dan plastik kemasan kaus di desa. ”Saya 16 tahun kerja di Jakarta sebagai sopir. Setahun terakhir ini jualan benang jahit dan obras. Omzetnya bisa mencapai Rp 60 juta per bulan dengan keuntungan Rp 5 juta-Rp 10 juta,” kata Saman.
Kepala Desa Kebutuh Jurang Mistam mengatakan, di desanya terdapat 1.520 kepala keluarga dengan total 5.000 jiwa. Sekitar 150 industri rumah tangga konfeksi di desanya setidaknya telah memberi pekerjaan bagi 700-an warga. ”Setiap konfeksi ada yang mempekerjakan 2-5 pekerja dan ada yang sampai puluhan pekerja,” kata Misatam.
Mistam menyampaikan, sebelum 2013 banyak warga desanya yang merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai penjahit di konfeksi. Kemudian pada 2013, pihak desa memanfaatkan dana Rp 40 juta dari program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri perdesaan untuk membeli mesin jahit dan obras. ”Saat itu, kami melatih sekitar 400 warga untuk menjahit dan mengobras. Setelah warga bisa, beberapa orang yang merantau di Jakarta mulai pulang ke kampung dan mendirikan konfeksi di rumahnya,” kata Mistam.
Menurut Mistam, umumnya warga desanya berpendidikan rendah, yaitu SD atau SMP saja. Kemudian setelah itu, mereka langsung merantau ke Jakarta. Saat ini dengan adanya lapangan pekerjaan di desanya, setidaknya mereka bisa bekerja di kampung halaman atau seperti Dian dapat bekerja dan menabung sedikit demi sedikit untuk melanjutkan sekolah.
Ketua Gabungan Pengusaha Jasa Konfeksi Suyitno Hadiyanto menyampaikan, selain Desa Kebutuh Jurang, usaha konfeksi juga ada di Desa Kebutuh Duwur, Kecamatan Pagedongan. Setidaknya ada 110 industri rumah tangga konfeksi di Kebutuh Duwur. ”Dari dua desa ada sekitar 260 usaha konfeksi dan jika rata-rata per usaha konfeksi mempekerjakan 10 orang, ada 2.600 orang yang mendapat pekerjaan dari konfeksi,” kata Suyitno.
Suyitno mengatakan, per industri rumah tangga konfeksi rata-rata dapat memproduksi sekitar 600 lusin kaus per minggu. Dengan jumlah 260 industri rumah tangga konfeksi dari dua desa itu, setidaknya per minggu ada 156.000 lusin kaus yang dikirim ke Jakarta. Omzet per minggu dari konfeksi mencapai Rp 3,9 miliar. ”Dulu, misalnya, mau ada selamatan dan mencari orang laki-laki untuk memperbaiki genteng itu sulit sekali karena banyak yang merantau. Sekarang kalau ada kerja bakti atau selamatan atau kegiatan desa pasti banyak yang datang,” kata Suyitno.
Mistam menambahkan, upaya warga untuk mandiri dan tetap berkarya di desanya tersebut perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah setempat, terutama dalam hal pengiriman barang dan keberlanjutan pemesanan kaus. ”Kami berharap pemerintah mendukung, misalnya dengan membantu pengadaan angkutan yang diserahkan ke kelompok dan jika ada pengadaan kaus untuk sekolah-sekolah bisa memesan dari desa ini,” ujar Mistam.