Malam Gelap di Tampur Paloh
Di bawah cahaya lampu teplok, Suhaidi (7) ditemani ayahnya, Amin (27), sedang belajar menulis. Dengan tekun ia menyalin huruf demi huruf ke bukunya. Meski cahaya minim, bocah itu terlihat bersemangat belajar.
Di dapur, ibunya, Rosliana (23), sedang memanaskan air. Ia memasak dengan dibantu penerangan senter. Memanaskan air menggunakan kompor gas, sedangkan jika menanak nasi dan lauk menggunakan kayu bakar. Ia harus berhemat menggunakan elpiji karena sulit didapat dan harganya relatif mahal.
”Setiap malam kami pakai lampu teplok untuk penerangan,” ujar Amin.
Rumah Amin adalah satu dari puluhan rumah di desa itu yang masih menggunakan lampu teplok sebagai penerangan. Sebenarnya Amin pernah mendapatkan bantuan lampu tenaga surya, tetapi dirinya tidak paham merawatnya. Perangkat lampu tenaga surya itu akhirnya rusak dan tidak berfungsi lagi.
Desa Tampur Paloh terletak di pedalaman Aceh Timur. Jarak dari Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh, sejauh 600 kilometer. Meski berada di Aceh Timur, Tampur Paloh harus ditempuh lewat Kabupaten Aceh Tamiang. Satu-satunya akses ke desa berpenduduk lebih dari 400 jiwa dengan 117 keluarga itu hanya melalui sungai, menggunakan boat bermesin tempel.
Tertinggal
Tampur Paloh adalah sebuah ironi. Mereka tertinggal dalam segala hal. Tidak ada akses jalur darat, tidak terjangkau sinyal telepon, fasilitas publik minim, dan tidak ada jaringan listrik.
Desa ini pernah lenyap dilumat banjir bandang pada 2006. Beberapa bulan setelah bencana itu, permukiman direlokasi ke daratan yang lebih tinggi. Banjir bandang membuat mereka terpuruk, rumah lenyap, kebun dan sawah rusak. Di lokasi yang sekarang warga menempati rumah-rumah kayu bantuan pemerintah yang dibangun secara swakelola.
Warga bergantung hidup pada hasil pertanian dan perkebunan, seperti cabai, padi ladang, karet, pinang, dan palawija. Namun, harga komoditas pertanian kerap jatuh, sedangkan biaya angkut mahal.
Harga sewa boat pergi-pulang dari Tampur Paloh ke Kuala Simpang, Aceh Tamiang, misalnya, Rp 800.000. Biasanya mereka menyewa boat dengan cara patungan. Pergi membawa hasil bumi dan pulang membawa bahan kebutuhan pokok.
Sembari menanti panen, laki-laki mencari pemasukan tambahan ke hutan dengan mencari kayu cendana, kayu kuning, dan tidak sedikit yang menjadi pembalak liar.
Untuk penerangan, sebagian warga ada yang menggunakan genset. Namun, rumah yang memiliki genset hanya belasan unit. Tidak semua warga sanggup membeli genset. Selain itu, jika menggunakan genset, berarti mereka harus siap mengeluarkan biaya untuk membeli bahan bakar.
Samsul Bahri (40) salah satu warga yang memakai genset untuk penerangan. Genset bekas itu dibeli Rp 2 juta. Genset tersebut hanya sanggup menerangi rumah sendiri dan rumah ibunya yang berdiri bersebelahan. Genset dinyalakan pada pukul 18.00 dan dimatikan pukul 23.00.
Sementara operasi selama lima jam menghabiskan bahan bakar 2 liter solar. Harga solar per liter Rp 10.000. Biaya oli, perawatan, dan suku cadang minimal dalam sebulan Rp 300.000. Artinya dalam sebulan Samsul harus mengeluarkan biaya Rp 900.000 untuk kebutuhan penerangan.
Listrik menyala adalah kesempatan bagi warga untuk menonton televisi. Warga yang tidak memiliki listrik menumpang menonton di rumah tetangga atau kios. Di atas pukul 23.00, Tampur Paloh sunyi dan gelap gulita.
Sukar berkembang
Murni (30), warga lainnya, mengatakan, krisis listrik menyebabkan warga sukar berkembang. Informasi terbatas dan anak-anak tidak dapat belajar dengan maksimal. Khusus bagi perempuan, kata Murni, ketiadaan listrik sangat menyulitkan.
Sebagai seorang ibu, Murni kerap harus bangun tengah malam menemani anaknya ke kamar kecil. Pagi-pagi buta ia juga bergelut di dapur menyiapkan sarapan.
”Terpaksa pakai lampu teplok, kayak hidup di zaman penjajahan,” ujarnya.
Kepala Desa Tampur Paloh Ali Nafiah menuturkan, sebelum kemerdekaan, desa itu sudah ada. Sejak itu pula desa tersebut belum dialiri listrik. Perangkat desa telah mengusulkan kepada pemerintah kabupaten setempat agar dibangun pembangkit tenaga mikrohidro, tetapi sampai sekarang tidak ada respons.
”Kata mereka tidak ada sumber energi untuk membangun pembangkit mikrohidro di sini,” ujar Ali.
Awal 2017, Ali mengajak warga untuk membangun pembangkit mikrohidro sendiri. Setelah dilakukan survei oleh teknisi sebuah perusahaan energi di Sumatera Utara, sumber energi mikrohidro ditemukan. ”Saya tidak ingat berapa kapasitas daya yang dihasilkan. Namun, mereka menjamin untuk penerangan semua rumah cukup,” kata Ali.
Saat ini pembangunan baru tahap membangun bendungan. Akhir 2017 ditargetkan pembangkit itu dapat beroperasi. Pembangunan menggunakan dana desa sebesar Rp 750 juta.
”Kami ingin merdeka dari kegelapan, sama seperti desa-desa lain di Indonesia,” kata Ali.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh Akmal mengatakan, saat ini masih ada 37.000 kepala keluarga di Aceh yang belum memperoleh penerangan listrik. Rumah yang belum memiliki listrik adalah rumah tangga miskin dan warga yang tinggal di pedalaman.
Akmal menambahkan, pemerintah berupaya memenuhi hak warga terhadap penerangan dengan cara memasang instalasi listrik gratis bagi warga kurang mampu. Mulai 2018 setiap tahun sebanyak 8.000 rumah dipasangi instalasi.
”Target pemerintah, dalam lima tahun, 37.000 rumah itu sudah berlistrik,” kata Akmal.