JAKARTA, KOMPAS – Aturan bahwa hanya Bulog yang dapat menjual gula dalam bentuk curah ke pasar tradisional dinilai merugikan petani tebu. Ketentuan itu membuat pedagang takut atau enggan membeli gula petani. Apalagi pengawasannya melibatkan Satuan Tugas Pangan.
”Menteri Perdagangan memang memperbolehkan petani menjual gulanya ke pedagang, tetapi faktanya pedagang takut membeli karena khawatir dianggap melanggar aturan, selain tidak bisa menjual curah ke pasar,” kata M Nur Khabsyin, Sekretaris Jenderal Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Kamis (26/10).
Khabsyin menambahkan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam surat bernomor S-202/M.EKON/08/2017 tertanggal 18 Agustus 2017 poin 4 menyebutkan, atas kewajiban Bulog menyerap gula petani, rapat koordinasi terbatas memutuskan bahwa penjualan gula curah hanya dapat dilakukan oleh Bulog. Keputusan itu ditindaklanjuti dengan surat Menteri Perdagangan RI Nomor 885/M-DAG/SD/8/2017 dan surat Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri 465/PDN/SD/8/2017 tanggal 21 Agustus 2017.
Isi surat itu, bahwa hanya Bulog yang dapat menjual gula dalam bentuk curah ke pasar tradisional. Dalam penjualan, Bulog bisa bermitra dengan pelaku usaha lain, tetapi pelaku usaha lain hanya dapat menjual gula ke konsumen dalam kemasan 1 kilogram (kg). ”Perdagangan gula di pasar menjadi tidak adil dan petani yang jadi korbannya,” tambah Khabsyin.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan, pemerintah menugaskan Bulog menyerap gula petani dengan harga Rp 9.700 per kg. Tugas itu merupakan respons pemerintah atas aspirasi petani tebu yang mengeluh gulanya tidak laku dan hanya ditawar pedagang Rp 9.200-9.500 per kg. Ketentuan itu hanya mengikat ke Bulog dan bukan ke petani.(Kompas, 26/10)
Atas kondisi itu, Dewan Pimpinan Nasional APTRI menganggap surat Menteri Perdagangan dan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri melegalkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Sebab ketentuan itu dianggap tidak adil bagi pedagang dan memaksa petani menjual gula ke Bulog. Oleh karena itu, APTRI melaporkannya ke Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), pada 15 September 2017.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahja Widayanti menyatakan, pedagang boleh menjual gula curah ke pasar rakyat, tetapi harus bermitra dulu dengan Bulog. Ketentuan itu merupakan tindak lanjut hasil rapat koordinasi terbatas di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tanggal 15 Agustus 2017.
Direktur Kajian Strategis Kebijakan Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dodik R Nurrochmat berpendapat, pemerintah perlu memikirkan dampak kebijakan bagi kelangsungan usaha tani. Petani semestinya mendapat harga yang pantas atas jerih payanya selama setahun menanam tebu. Harga adalah insentif terbaik untuk mendongkrak produksi.
”Jika terus merugi, petani akan mengkonversi kebun tebunya ke tanaman hortikultura atau tanaman pangan yang lebih menguntungkan dibandingkan tebu. Itu kontraproduktif bagi upaya meningkatkan produksi gula dalam negeri,” tambah Dodik.
Pemerintah idealnya memiliki instrumen untuk pengamanan harga, yakni harga dasar untuk memastikan petani untung, serta harga atap untuk melindungi konsumen. Stabilisasi harga melalui dua instrument itu hanya akan efektif jika pemerintah memiliki stok dan kemampuan menyerap yang lebih baik.