Target 5,4 Persen di 2018
Sentimen positif tersebut juga mendorong kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Kemarin, IHSG membukukan rekor baru sepanjang sejarah, dengan menyentuh 6.025. Adapun kapitalisasi pasar Rp 6.666 triliun juga merupakan rekor baru.
”Tahun depan, faktor-faktor pendorong ekonomi lebih kuat ketimbang risiko yang mungkin terjadi,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjawab Kompas seusai memberikan keterangan pers tentang APBN 2018 di Jakarta, Rabu (25/10).
Faktor pendorong yang dimaksud antara lain berupa perbaikan pertumbuhan ekonomi global yang sifatnya lebih merata, bahkan paling merata selama satu dekade terakhir. Adapun penggeraknya adalah investasi, konsumsi, dan perdagangan.
Mengacu pada Proyeksi Ekonomi Dunia yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF) pada pertengahan Oktober, sekitar 75 persen dari perekonomian global mengalami penguatan pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini terjadi di negara-negara berkembang dan negara-negara maju. Hal ini juga terjadi di negara-negara tujuan utama ekspor Indonesia, seperti Amerika Serikat, China, Jepang, dan India.
Sementara itu, risiko berasal dari sejumlah faktor, di antaranya normalisasi kebijakan moneter di AS, kebijakan China menuju keseimbangan baru, harga sejumlah komoditas yang masih rendah, gejala proteksionisme, dan tensi geopolitik yang meningkat.
Akan tetapi, risiko tersebut terkompensasi pemulihan ekonomi yang kuat. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi global diproyeksi akan menguat pada 2017 dan 2018 setelah mencapai titik terlemah sejak krisis keuangan global pada 2007-2008, yakni 3,2 persen di 2016. Pada 2013-2015, pertumbuhan ekonomi stagnan di 3,4 persen.
IMF memperkirakan pertumbuhan global 2017 dan 2018 melonjak menjadi 3,6 persen dan 3,7 persen. Proyeksi pada Oktober lalu itu masing-masing meningkat 0,1 persen ketimbang proyeksi pada April 2017.
Kondisi global tersebut sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik. Tahun ini, Kementerian Keuangan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 5,17 persen atau lebih tinggi ketimbang realisasi tahun lalu yang sebesar 5,02 persen. Pertumbuhan ekonomi terendah sejak krisis keuangan global 2007-2008 terjadi saat menyentuh 4,79 persen di 2015.
Adapun tahun depan, pemerintah dan DPR sepakat menargetkan 5,4 persen atau sedikit di atas proyeksi IMF yang sebesar 5,3 persen. Kesepakatan ini menjadi bagian dari asumsi dasar Rancangan Undang-Undang APBN 2018 yang disetujui pada Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang, kemarin.
Investasi
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5,4 persen di 2018, Sri Mulyani menyatakan, pemerintah berharap pertumbuhan konsumsi rumah tangga stabil di atas 5 persen. Pertumbuhan ekspor yang sudah mulai tampak pada semester II-2016 diperkirakan berlanjut tahun depan. Investasi diharapkan mendekati atau bahkan melebihi 6 persen, lebih baik dari pertumbuhan investasi yang berkisar 5 persen dalam beberapa tahun terakhir.
APBN sebagai sumber pertumbuhan ekonomi lainnya, menurut Sri Mulyani, juga semakin kuat. Hal ini ditunjukkan dengan defisit yang berkurang, tetapi target pertumbuhan ekonomi yang meningkat.
APBN 2018 menargetkan defisit 2,19 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi 5,4 persen. Sementara tahun ini, defisit ditargetkan 2,92 persen dan pertumbuhan ekonomi ditargetkan 5,2 persen. Artinya, rasio utang terhadap PDB pada tahun depan akan turun.
Adapun investasi sebagai komponen pertumbuhan ekonomi terbesar kedua setelah konsumsi rumah tangga, lanjut Sri Mulyani, mengalami tekanan sangat berat selama tiga tahun terakhir karena pukulan dari harga komoditas yang anjlok dan ekspor yang tumbuh negatif.
Hal itu antara lain menyebabkan peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL) di perbankan. Ujung-ujungnya, bank dan pelaku usaha tidak mampu melakukan banyak ekspansi. Pada 2015-2016, bank dan pelaku usaha merestrukturisasi neraca.
”Oleh sebab itu, pertumbuhan kredit perbankan menjadi lambat. Namun, mulai Agustus, NPL turun. Artinya, bank punya ruang untuk menyalurkan kredit. Sementara perusahaan-perusahaan juga sudah sehat sehingga bisa mulai pinjam lagi,” katanya.
Secara terpisah, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasetiantono, berpendapat, tidak ada elemen kejutan dalam APBN 2018. Angka di APBN 2018 dinilai normal dan cukup konservatif, dengan rasio defisit anggaran sebesar 2,19 persen terhadap PDB.
Rekor baru
Kemarin, IHSG naik 73,358 poin atau 1,23 persen menjadi 6.025. Sejak awal tahun, IHSG naik 13,76 persen, sedangkan dalam lima tahun terakhir menguat 56,09 persen.
Pencapaian ini, menurut Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio, disebabkan kepercayaan investor terhadap pemerintah dan perekonomian Indonesia. ”Ini bukti kepercayaan terhadap pemerintah ada, juga terhadap pasar modal Indonesia,” kata Tito.
Kenaikan IHSG juga didukung kinerja emiten yang cukup baik. Sejumlah emiten sudah mengumumkan laporan keuangan untuk periode Januari-September 2017, yang sebagian besar membukukan laba tahunan.
Analis Danareksa Sekuritas Lucky Bayu mengatakan, kinerja harian IHSG cenderung menguat. ”Indeks sedang berada dalam tren penguatan,” katanya.
Terkait pencapaian rekor IHSG kemarin, Sri Mulyani berpendapat, hal itu disebabkan beberapa faktor. Faktor tersebut di antaranya faktor fundamental, yakni kondisi umum perusahaan yang melantai di bursa, terutama kesehatan perusahaan. Jika kondisi perusahaan bagus, hal itu akan memberikan tren positif.
Namun, kondisi IHSG juga bisa didorong oleh persepsi. Di dalam negeri, pemerintah diharapkan konsisten menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dengan cara memberikan sentimen positif.
”Dari semua sektor, produksi maupun permintaan, momentum sangat terlihat. Kalau ini ditambah dengan kerja pemerintah untuk terus menyederhanakan perizinan, mengurangi regulasi, dan meningkatkan pelayanan kepada dunia usaha, maka momentum ini bisa menciptakan persepsi positif yang akan memengaruhi indeks. Tentu ada faktor dari luar yang memengaruhi,” kata Sri Mulyani. (LAS/JOE/IDR)