Polisi Kumpulkan Data Antemortem untuk Identifikasi
Oleh
IKI/TAM
·4 menit baca
NGAMPRAH, KOMPAS – Enam dari 13 warga Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, yang bekerja di pabrik kembang api di Kosambi, Kabupaten Tangerang, yang terbakar dan meledak, Kamis (26/10) pagi, belum ditemukan hingga Jumat sore. Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Dokkes) Kepolisian Daerah Jabar mengumpulkan data antemortem dari keluarga korban untuk keperluan identifikasi.
“Data antemortem sangat dibutuhkan untuk identifikasi. Data dari keluarga korban tersebut akan dicocokkan dengan data dari korban meninggal sehingga identitas jenazah dapat diketahui,” ujar Ketua Tim Disaster Victim Investigation Bidang Dokkes Polda Jabar Ajun Komisaris Besar drg Nelson Situmorang di Kantor Polsek Cililin, Jumat.
Keenam korban yang belum ditemukan terdiri dari lima warga Desa Batulayang, yaitu Sunarya (28), Ade Rosita (20), Oleh (25), Gunawan (17), dan Ega (24). Sementara itu, satu korban hilang lainnya Iyus Hermawan (25) berasal dari Desa Mukapayung. Antemortem merupakan data-data fisik khas korban, seperti tanda lahir, tato, bekas luka, bentuk gigi, serta sampel DNA. Data-data dari keluarga korban tersebut dikirim ke Rumah Sakit Polri Kramatjati untuk mengidentifikasi korban meninggal.
Pengumpulan data fisik diperoleh dari keterangan keluarga dan kerabat korban. Namun, untuk keperluan tes DNA, hanya mengambil darah, apusan (pemeriksaan sel-sel darah) rongga mulut dan pipi bagian dalam dari orangtua atau saudara kandung korban.
Nelson mengatakan, proses identifikasi akan dimulai dengan mencocokan data fisik korban. Namun, jika tidak memungkinkan dikarenakan fisik korban rusak akibat luka bakar, baru diidentifikasi DNA.
“Jika dengan mencocokkan ciri fisik butuh 2-3 hari untuk identifikasi. Tetapi, jika dengan DNA, membutuhkan waktu 10-14 hari,” ucapnya.
Kepala Polsek Cililin Ajun Komisaris Sutarman mengatakan, selain enam korban hilang, juga terdapat tiga korban luka, dan empat korban selamat dari warga Cililin. Beberapa keluarga korban juga sudah bertolak ke Jakarta untuk membantu proses identifikasi.
Sutarman berharap, data-data yang dikumpulkan dari keluarga korban dapat membantu proses identifikasi. Dengan begitu, korban segera dikenali dan diserahkan ke keluarganya.
Asep Rustandi (32), sepupu korban hilang Sunarya (28) dan Ade Rosita (20), berharap keluarganya segera ditemukan. “Beberapa anggota keluarga sudah ke Jakarta untuk melihat korban meninggal. Tetapi, hingga saat ini belum juga teridentifikasi,” ujarnya.
Sulit dihentikan
Usaha petasan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, yang telah berlangsung puluhan tahun dinilai sulit dihentikan. Usaha yang berisiko tinggi itu telah menjadi sumber penghasilan masyarakat di sejumlah desa.
Kuwu (Kepala Desa) Telukagung, Kecamatan Indramayu, Suhardjo, saat ditemui Kompas, Jumat (27/10) mengakui, desanya merupakan salah satu sentra petasan di Indramayu sejak 1950an. Daerah lainnya yang turut memproduksi petasan ialah Desa Lobener Lor, Kecamatan Jatibarang. Petasan tersebut dikirim ke berbagai daerah di Jakarta, Sumatera, hingga Kalimantan.
Petasan tersebut dibuat dalam skala rumah tangga hingga pabrik. Diperkirakan ada 20 pabrik petasan dan ratusan rumah tangga yang membuat petasan. Suhardjo mengakui, usaha tersebut berisiko besar karena dapat menelan korban jiwa.
“Selama saya menjabat (tiga tahun terakhir), Alhamdulillah tidak ada korban. Dulu, hampir setiap tahun ada rumah yang meledak dan menelan korban,” ujar Suhardjo. Pada Februari tahun lalu, sebuah tempat pembuatan petasan di RT 03 RW 01 Desa Lobener Lor mekedak dan mengakibatka seorang pekerja, Carhadi (47), meninggal dunia.
Akan tetapi, pihaknya sulit menghentikan usaha yang diduga tidak berizin itu. “Ini dilema. Di satu sisi, usaha ini mengandung bahan peledak tetapi di sisi lain petasan juga berhubungan dengan masalah perut warga,” ujarnya. Ia tidak mengetahui pasti berapa besar uang yang berputar dalam industri tersebut. Namun, lanjutnya, banyak warga mampu membangun rumah dengan memproduksi petasan.
Suhardjo menjelaskan, pihaknya beberapa kali mengingatkan warga agar berhati-hati saat memproduksi petasan. “Kami juga pernah ke DPRD Indramayu, mengusulkan agar warga alih profesi dari pembuat petasan ke usaha lain. Tetapi, modalnya dari mana?” ujarnya.
Pada saat bersamaan, jajaran Kepolisian Resor Indramayu juga kerap menggelar razia petasan. Pada Juni lalu, misalnya, polisi menyita tujuh juta biji petasan korek yang akan dibawa ke Jakarta tanpa izin. Sebulan sebelunnya, polisi juga menangkap lima pelaku yang diduga membawa 30 juta butir petasan ke Ibu Kota.
CM (48), mantan perajin petasan di Telukagung, mengatakan, dengan memproduksi petasan, ia membesarkan kedua anaknya. “Tetapi saya berhenti setelah ditangkap polisi di Lampung. Risiko pekerjaan ini sangat besar,” ujarnya. (IKI/TAM)