Anak Muda Jaga Indonesia
JAKARTA, KOMPAS — Ketika politik dan ekonomi tidak memberikan banyak ruang kepada anak muda, mereka aktif bergerak mencari ruang-ruang ekspresi sendiri. Lewat kreativitas dan kecerdasan yang dimilikinya, anak muda masa kini berusaha mengambil peran untuk memajukan Indonesia. Gerakan ini memberikan harapan baru bagi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Ruang gerak yang diisi atau diciptakan anak muda masa kini merentang luas. Kaum muda yang tergabung dalam Maarif Institute, misalnya, aktif bergerak menjaga nilai keberagaman, toleransi, persatuan, dan perdamaian yang belakangan ini terancam. ”Segelintir elite politik ada yang berupaya memanfaatkan kelompok radikal untuk meraih kepentingan politiknya. Harus ada kontra-wacana terhadap gerakan ini,” ujar Muhammad Abdullah Darraz (33), Direktur Eksekutif Maarif Institute, Kamis (26/10), di Jakarta.
Darraz dan anak muda di Maarif Institute ingin Indonesia tetap utuh. Mereka berupaya mengedukasi publik dan menyebarkan nilai-nilai keindonesiaan. Lewat pengajian, mereka mempertemukan ulama moderat dan progresif untuk membahas fikih kebinekaan.
Jalan serupa juga ditempuh anak-anak muda yang bergabung di Nahdlatul Ulama (NU). Fariz Alniezar (29) adalah kader NU yang menjadi penggerak komunitas Omah Aksoro. Mereka rutin menggelar acara bedah buku dan kebudayaan untuk menyemai nilai-nilai keindonesiaan untuk membuka pikiran publik.
”Dengan mendiskusikan pemikiran dan buku, orang mendapat ruang untuk berpendapat sekaligus mendengar pendapat orang lain,” ungkap Fariz.
Pertengahan Oktober lalu, Omah Aksoro menggelar musikalisasi esai Mahbub Djunaidi, seorang tokoh NU yang banyak menyoroti problem kebangsaan. Sambil menyimak pesan Mahbub, khalayak menikmati musik jazz.
Aan Rukmana (35), Direktur Institut Etika dan Peradaban Paramadina, mengambil jalan literasi untuk mendidik sesama anak muda tentang pentingnya berpikir kritis dan menguasai konten media. ”Berkat media sosial, anak muda lebih ekspresif dan tidak canggung dalam berpendapat. Sayangnya, ekspresi ini kadang tidak berdasarkan logika,” kata Aan.
Tantangan terbesar dalam masyarakat sipil sekarang adalah nyaris tidak ada landasan nalar dalam berpikir. Segala sesuatu diputuskan berdasarkan sentimen emosional belaka. ”Masyarakat pecah menjadi kubu pendukung (lovers) dan oposisi (haters) yang fanatik dengan idola masing-masing. Nyaris tidak ada lagi masyarakat sipil di tengah yang jernih melihat keadaan,” ucap Aan.
Untuk mengajak generasi muda
berpikir kritis, Aan menanamkan prinsip tidak ada orang suci di dalam demokrasi. Demokrasi harus dilakukan bersama-sama karena di situ letak kekuatannya.
Memanggul buku
Di Kalimantan Tengah, Aini Abdul (32) dan Fery Irawan (25) berusaha ikut berperan memajukan anak-anak di pedalaman Kalimantan Tengah. Sejak 2009, mereka rutin berjalan kaki berkilo-kilometer atau mengarungi sungai dengan perahu menuju desa-desa yang jauh sambil memanggul buku yang akan dibagikan kepada anak-anak di sana.
”Minat baca anak Indonesia itu tidak minim. Yang minim justru akses untuk mendapatkan buku,” ujar Aini, yang mendirikan gerakan Ransel Buku bersama Fery. Lewat gerakan itu, mereka mengisi kekosongan di bidang pendidikan dan literasi di desa-desa pedalaman. Seharusnya ruang pendidikan diisi oleh negara, tetapi kehadiran negara ternyata belum terasa.
Aini dan Fery yakin buku akan menumbuhkan mimpi dan cita-cita di kalangan anak-anak desa, seperti yang ia alami ketika kecil. Aini termasuk satu dari sangat sedikit anak di Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, yang bisa mengecap pendidikan tinggi. Lewat pendidikan, ia mengenal jagat ilmu sekaligus bisa melihat dunia lebih luas. Sementara itu, Fery yang lulus kuliah pada 2013 adalah anak muda pertama di Desa Petuk Katimpun, Palangkaraya, yang menjadi sarjana.
Di Jakarta, Firly Savitri (35) juga ingin membangkitkan mimpi anak-anak lewat pendidikan dan ilmu pengetahuan. Bersama sahabatnya, Kartika Oktorina, ia mendirikan Ilmuwan Muda Indonesia (IMI). Demi membangkitkan minat anak-anak pada ilmu pengetahuan, Firly berkeliling membawa planetarium mobil ke sekolah-sekolah.
Dengan planetarium mobil itu, Firly mengajak anak-anak sekolah menonton film tentang tata surya dan merasakan sensasi di luar angkasa. IMI juga membuat lemari bernama Lab In The Box. Lemari ini berisi bahan-bahan untuk membuat 100 eksperimen yang bisa dilakukan siswa SD, seperti membuat roket, pelampung alami, dan lampu ajaib.
”Akses pendidikan bukan cuma anak bisa sekolah, melainkan juga bagaimana anak bisa mendapat pendidikan bermutu. Anak Indonesia harus punya daya saing. Sekarang kita bukan lagi bersaing dengan tetangga sebelah, tetapi dengan seluruh dunia,” katanya.
Narendra Wicaksono (33) memilih bergerak menjembatani developer Indonesia dengan kebutuhan pasar. Lewat perusahaan rintisan Dicoding yang ia dirikan pada 2015, ia merangkul lebih dari 71.000 anggota dari 336 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Sebanyak 632 anggota di antaranya berlatar belakang pengelola perusahaan rintisan bidang digital.
Selain itu, ada lebih dari 17.900 pengembang aplikasi lintas platform yang mendaftar di 374 acara Dicoding yang berkolaborasi dengan komunitas, pemerintah, dan pelaku industri teknologi. Dari situ lahir lebih dari 3.600 karya digital dari 127 kompetisi Dicoding. Karya digital itu meliputi gim, aplikasi bergerak, dan laman dengan jumlah unduhan mencapai lebih dari 214 juta kali.
Goris Mustaqim (34) bergerak di jalur yang lain. Ia mendampingi masyarakat di banyak desa dan mempertemukan kepentingan mereka dengan program CSR perusahaan. ”Selain infrastruktur, manusia juga harus dibangun. Di sektor pariwisata, karpet merah seharusnya tidak hanya disediakan kepada investor, tetapi juga masyarakat lokal agar mereka jadi pelaku industri pariwisata, bukan sekadar jadi resepsionis dan sekuriti,” katanya.
Lewat dunia film, Anggi Noen (34) berusaha menjaga ingatan atas peristiwa lama yang dilupakan. Ia membuat film Istirahatlah Kata-kata (2016) yang berkisah tentang perjalanan aktivis Wiji Thukul selama dalam pelariannya sebelum kemudian menghilang tanpa jejak. Wiji diduga diculik lantas dihilangkan.
Anggi bercerita, ketika ia menggarap film Istirahatlah Kata-kata, ia melihat energi kreatif anak-anak muda yang benar-benar melibatkan diri pada isu (penculikan Wiji Thukul), bukan semata mencernanya sebagai tontonan hiburan film. ”Saya pikir, kita anak muda bisa bersikap menggunakan keahlian dan kemampuan kita masing-masing untuk menyatakan sikap kepedulian terhadap isu-isu sosial. Itu keterlibatan politik kami. Estetika itu tindakan politik kami,” papar Anggi.
Bukan bambu runcing
Mengapa anak muda masa kini bisa bergerak di banyak ruang? Pengajar komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Jakarta, Eka Wenas, melihat anak muda masa kini memiliki kelimpahan informasi dan fasilitas infrastruktur yang lebih lengkap. Di satu sisi hal itu membuat mereka sulit menentukan prioritas. Di sisi lain, mereka memiliki pilihan dan mampu menciptakan kemungkinan baru. Di satu sisi mereka cenderung individualis, di sisi lain mereka mampu memaksimalkan jaringan dan bekerja sama.
”Itulah cara mereka merespons apa yang mereka hadapi di zaman yang cepat berubah,” kata Eka.
Kesadaran akan kemampuan diri sendiri dan kemampuan untuk bekerja sama terlihat dalam Ideafest 2017 yang diikuti ribuan anak muda pada awal Oktober lalu. Mereka menyebut Ideafest sebagai festival of collaboration.
Dalam rangka Hari Sumpah Pemuda, anak-anak muda yang sama menegaskan kesiapannya untuk berkolaborasi dengan meluncurkan slogan ”Kita Tidak Sama, tapi Bekerja Sama”.
Pengajar sosiologi politik dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, berpendapat, peran yang diambil anak muda di berbagai bidang menunjukkan rasa memiliki anak-anak muda terhadap Indonesia.
”Pemuda masa kini tentu tidak memperjuangkan nilai-nilai keindonesiaan dengan membawa bambu runcing. Mereka mengekspresikan nilai-nilai keindonesiaan dengan berbagai kreativitas dan kecerdasan masing-masing,” ujar Arie.
(JAL/MED/BSW/REK/SIE/IDO/ELN/DNE)