Ide kreatif itu datang mendadak. Akhir pekan lalu, sejumlah anak muda datang ke Redaksi Kompas di Palmerah Selatan 26-28, Jakarta. Dalam rombongan itu, antara lain, hadir Lala Bohang dan David Irianto dan yang lebih senior Andi Surya Wirawan Sadha. Kami mengobrol. Anak muda generasi milenial punya gagasan bagaimana bisa berkontribusi dengan menjadikan harian Kompas sebagai lahan untuk berkarya.
Ide itu mengejutkan dan mengagetkan. Bagaimana mungkin ruang sakral jurnalistik yang mengedepankan prinsip kemerdekaan pers harus diintervensi oleh seniman visual, desainer grafis, ilustrator, ataupun fotografer muda usia. Apalagi, mereka bukan wartawan Kompas dan bukan dari Kompas. Usia harian Kompas yang terbit perdana pada 28 Juni 1965 tentunya jauh lebih tua dari usia para desainer itu sendiri yang rata-rata berusia 20-30 tahun.
Para seniman dan desainer muda itu pasti juga belum sepenuhnya mengenal apa itu harian Kompas dengan segala filosofi dan kebijakan editorial sebuah koran yang menegaskan dirinya Kompas sebagai koran berkualitas. Perdebatan terjadi. ”Saya shocked lihat desain itu,” ujar seseorang dalam rapat redaksi saat Agra Satria (31) memaparkan desain dasar halaman muka Kompas.
Saya ”shocked” lihat desain itu.
Ngobrol lintas generasi, lintas profesi, lintas mazhab yang berlangsung lebih dari empat kali itu akhirnya menyepakati sebuah proyek kolaborasi bersama antara Redaksi Kompas dan desainer muda. Dalam sebuah proyek kolaborasi menuntut pengorbanan dan saling pengertian.
Desainer yang terbiasa berpikir bebas mengadopsi prinsip artsforarts, seni untuk seni, harus berkompromi dengan kebijakan editorial yang ketat dengan kaidah jurnalistik dan desain surat kabar yang sudah mapan selama 52 tahun. Ada pakem yang tak bisa disentuh dari sebuah surat kabar. Para desainer yang mungkin selama ini bekerja membutuhkan waktu lama untuk mencari ide atau gagasan dan sekaligus menuangkannya dalam karya dipaksa mengikuti ritme kerja jurnalistik. Deadline surat kabar tak mungkin bisa ditawar.
Pada sisi lain, ruang redaksi yang mengedepankan jurnalistik berkualitas serta desain koran yang klasik dan elegan ikut memberikan ruang kepada desainer muda untuk berkarya dan mengembangkan ide inovatif, tetapi tetap dalam koridor kebijakan editorial Kompas.
Melalui proses kolaborasi dan proses dialog beberapa kali itulah, akhirnya dilahirkan sebuah produk Kompas yang Anda baca hari ini. Edisi khusus Kompas, Sabtu, 28 Oktober 2017, adalah edisi harian Kompas ke-17.665 sejak harian Kompas terbit perdana. Edisi kolaborasi anak muda dengan Kompas mungkin membuat pembaca setia Kompas terkejut, marah, senang, menilai buruk, baik, apa-apaan ini, atau ekspresi lain, wow, hanya akan terjadi pada hari ini dan pertama kali dalam sejarah Kompas dan mungkin sejarah media massa lain. Itulah elemen mengejutkan. Pro dan kontra pasti akan terjadi.
Koran ”Kompas” edisi Sumpah Pemuda 2017 akan tercatat dalam sejarah.
Terbitan Kompas hari Minggu, 29 Oktober 2017, dan seterusnya akan kembali ke penerbitan yang normal dan murni dilahirkan dalam pergulatan pemikiran di Redaksi Kompas. Koran edisi Sumpah Pemuda adalah sebuah eksperimen dan akan tercatat dalam sejarah. Sebuah institusi mapan bisa berdialog dengan memberikan ruang generasi milenial untuk berkolaborasi mendesain wajah harian Kompas. Saling memahami dan saling mengerti. Ekspresi vandalisme yang sering dilekatkan pada kaum muda diberikan kerangka dalam koridor jurnalistik.
Sebanyak 35 anak muda dari lima komunitas seni terlibat, yang dikoordinasi David Irianto. Halaman muka dan halaman Politik dirancang oleh tim yang dipimpin Agra Satria, Indonesia’s Influential Person in Creative Industry, untuk kategori desain grafis. Halaman Tajuk dan Pendidikan digarap bersama David Irianto, Tommy Chandra, Galih Sakti, dan Sandy Karman. Halaman Nusantara disentuh sebuah tim yang dipimpin Atreyu Moniaga. Seniman visual dan penulis buku The Books of Forbidden Feelings dan The Book of Invisible Question, Lala Bohang, dan timnya mendesain halaman Akhir Pekan. Juga terlibat Dimas Radhitya dan Cempaka Surakusumah.