Bisnis Makin Tumbuh, Jet Eksekutif Terbang Kian Jauh
Makin besarnya skala dunia bisnis di Indonesia, sekaligus takdir geografis Indonesia yang terdiri atas belasan ribu pulau, membuat negeri ini menjadi pasar potensial untuk industri pesawat jet eksekutif. Meski saat ini pasar tersebut belum sebesar negara-negara maju di Eropa dan Amerika, sejumlah pemain utama di bisnis ini makin rajin menggarapnya.
Jadwal penerbangan maskapai reguler yang tidak fleksibel, baik dari sisi waktu maupun rute, dan kerepotan yang sering ditemui di bandar udara dalam proses naik ke pesawat, membuat makin banyak pebisnis yang mulai memilih menggunakan pesawat eksekutif. Pesawat eksekutif ini bisa dipakai dengan cara mencarter atau dimiliki sendiri.
"Kebanyakan konsumen pada awalnya mencarter, lalu merasa nyaman, terus akhirnya ingin punya sendiri. Kebanyakan di Indonesia, pesawat-pesawat eksekutif ini dibeli oleh korporasi," ujar Capt Tony D Hadi, Presiden Direktur Premiair, salah satu perusahaan jasa penerbangan dan operator pesawat terbang eksekutif ini, di kantor pusat Premiair di Jakarta Timur.
Dengan pesawat eksekutif ini, seorang pebisnis tak lagi bergantung pada jadwal dan rute penerbangan maskapai reguler. Ia bisa pergi ke mana saja, kapan saja dia mau, untuk melakukan berbagai urusan bisnis yang diperlukan.
Capt Manfred Baudzus, Senior Sales Director Embraer Executive Jets Asia Pasifik, menceritakan pengalamannya saat ia masih aktif menjadi penerbang jet-jet eksekutif ini.
"Biasanya pelanggan di kawasan ini berangkat sekitar pukul 23.00 setelah urusan di kantor selesai. Mereka kemudian tidur sepanjang perjalanan, misalnya, ke Jepang. Pagi hari pesawat sudah tiba di tujuan dan mereka bangun langsung mengenakan jas, dan langsung bekerja kembali," kata Baudzus.
Embraer adalah salah satu produsen pesawat jet eksekutif yang saat ini serius menggarap pasar di Indonesia. Claudio Camelier, Vice President Sales and Marketing Embraer Executive Jet untuk wilayah Asia Pasifik dan Timur Tengah, mengatakan, saat ini pabrikan asal Brasil itu menguasai sekitar 30 persen pangsa pasar jet eksekutif di Tanah Air. "Saat ini ada sekitar 50 jet eksekutif yang ber-homebase di Indonesia. Sebanyak 15 di antaranya adalah pesawat-pesawat Embraer," ujar Camelier.
Dengan 15 pesawat ini, Indonesia menduduki peringkat ketiga di kawasan Asia Pasifik sebagai operator terbesar jet eksekutif Embraer. Menurut data dari Embraer, Indonesia hanya kalah dibandingkan China (29 pesawat) dan India (22 pesawat).
Sementara dari total jumlah pesawat jet eksekutif yang dioperasikan, Camelier mengatakan, Indonesia saat ini berada di peringkat keempat atau kelima di Asia Pasifik setelah China, India, Australia, dan Singapura.
Tony Hadi mengatakan, 8 pesawat Embraer itu melengkapi 15 pesawat yang saat ini dioperasikan oleh Premiair. Menurut Tony, sebagian besar pesawat itu adalah milik korporasi yang dititipkan untuk dikelola dan dirawat oleh Premiair. "Hanya satu pesawat yang milik Premiair sendiri," kata Tony.
Menurut Tony, sistem menitipkan pengoperasian dan pengelolaan pesawat ke perusahaan operator menjadi sistem yang paling lazim dilakukan para pemilik pesawat jet eksekutif. Sebab, hal itu akan menghindarkan pemilik dari berbagai kerepotan merawat dan mengoperasikan pesawatnya sendiri.
Prospek cerah
Pemain lain industri ini yang juga melihat prospek cerah di Indonesia adalah Dassault Aviation dari Perancis. Pabrikan yang terkenal dengan produk-produk pesawat tempurnya, seperti Mirage 2000 dan Rafale, ini, pun sudah beberapa kali mendatangkan produk jet eksekutifnya, Dassault Falcon, ke Indonesia untuk ditampilkan di hadapan media dan calon pembeli potensial.
Jean-Michel Jacob, Senior Vice President and Head of Aircraft Market Development Dassault Aviation untuk Asia Pasifik, bahkan optimistis dalam beberapa tahun mendatang, Indonesia akan menyalip Singapura sebagai operator terbanyak jet eksekutif di Asia Tenggara. Saat ini, dengan lebih dari 50 pesawat jet eksekutif, Indonesia menduduki peringkat kedua di Asia Tenggara.
"Kami melihat potensi yang sangat besar untuk penerbangan bisnis di Indonesia, karena negara ini terdiri atas 17.000 pulau dan jarak dari Indonesia timur ke Indonesia barat lebih jauh dari jarak (kedua ujung) daratan utama Amerika Serikat. Jadi, satu-satunya cara (bagi pebisnis) untuk bepergian dari satu bagian ke bagian lain Indonesia adalah lewat udara," katanya.
Meski sejauh ini Dassault Aviation baru berhasil menjual satu pesawatnya di Indonesia, yakni Dassault Falcon 2000LXS, Jacob tetap optimistis ke depan pihaknya memiliki peluang besar untuk lebih berkiprah di Indonesia.
Sudah kebutuhan
Salah satu pengusaha di Jakarta memiliki pesawat jet eksekutif ini mengakui bahwa saat ini menggunakan atau memiliki pesawat jet eksekutif sudah menjadi kebutuhan. "Kalau zaman dulu pesawat-pesawat seperti ini memang sekadar kemewahan atau privilese, tetapi kalau sekarang memang sudah jadi kebutuhan," katanya.
Seperti lazimnya para pengusaha di segmen ini, ia menolak disebut nama lengkapnya. Pengusaha yang salah satu usahanya adalah peritel barang-barang premium, tersebut, mempersilakan Kompas menyematkan nama samaran yang mudah diingat orang. Mari sebut saja dia dengan nama Rudy.
Kalau kita butuh mengunjungi 6-7 kota dalam waktu 1,5 - 2 hari saja, maka perjalanan dengan pesawat komersial reguler sudah tidak memungkinkan.
Menurut Rudy, dengan makin meningkatnya intensitas bisnisnya dan
kian tumbuhnya peluang bisnis di berbagai kota di Tanah Air, perjalanan bisnis ke beberapa kota sekaligus dalam waktu singkat sudah menjadi hal yang sering dilakukan. Perubahan itu, terutama terjadi dalam 7-8 tahun belakangan.
”Saat ini makin banyak business destinations di Indonesia saja. Kalau kita butuh mengunjungi 6-7 kota dalam waktu 1,5 - 2 hari saja, maka perjalanan dengan pesawat komersial reguler sudah tidak memungkinkan. Satu-satunya peluang adalah menggunakan pesawat sendiri, baik dengan cara mencarter atau memiliki sendiri,” ujar pengusaha yang saat ini memiliki sebuah Cessna Citation XLS, pesawat jet eksekutif berkapasitas 6-8 orang, tersebut.
Persoalan waktu memang menjadi pertimbangan utama pebisnis seperti Rudy ini. Menurut dia, perjalanan bisnis ke Bandung saja, yang masih bisa ditempuh melalui perjalanan darat dari Jakarta, sudah membutuhkan pesawat pribadi.
”Misalnya untuk pertemuan bisnis atau peninjauan lokasi di Bandung, katakan lah selama 2 jam. Kalau kita pakai mobil atau kereta api, perjalanannya saja pergi pulang sudah 6-7 jam sendiri. Jadi totalnya bisa 9 jam. Waktu habis di jalan. Dengan pesawat sendiri, perjalanan PP paling hanya 40 menit, jadi waktunya efisien dan kita masih bisa mengerjakan hal-hal lain setelah itu,” tuturnya.
Rudy mengakui di era internet ini, banyak hal bisa dilakukan melalui dunia maya, misalnya berkomunikasi dengan pihak lain melalui telepon, surat elektronik, video conference, atau aplikasi chat semacam WhatsApp. Namun, dalam dunia bisnis, lanjut dia, perjumpaan langsung dengan mitra bisnis atau calon mitra bisnis adalah sesuatu yang tak bisa tergantikan teknologi apa pun.
”Kita tetap perlu bertatap muka dengan mereka. Apalagi kalau melibatkan peninjauan lokasi, mau tidak mau kita harus hadir di sana. Belum lagi kita juga perlu menunjukkan bonafiditas kepada para calon mitra bisnis,” paparnya.
Di luar itu, Rudy tak menampik pesawat eksklusif itu juga sangat berguna untuk perjalanan berwisata. Menurut dia, saat ini makin banyak daerah tujuan wisata baru di Indonesia yang belum atau masih susah dicapai dengan penerbangan reguler. ”Untuk pergi ke Banda Neira yang seindah itu, susahnya minta ampun (kalau memakai transportasi reguler). Tetapi dengan pesawat sendiri, kita bisa langsung pergi ke sana,” ungkapnya.
Dipakai atau tidak dipakai, biaya perawatan pesawat itu segitu
Rudy juga memberikan gambaran umum kebutuhan perjalanan yang sudah memerlukan kehadiran pesawat pribadi. Ia menyebut, jika dalam setahun seseorang sudah menghabiskan rata-rata 300 jam terbang untuk bepergian, ia sudah layak mempertimbangkan untuk memiliki pesawat sendiri.
Angka itu didapatkan dari perhitungan biaya perawatan pesawat pribadi yang berkisar antara 2 juta - 2,5 juta dollar AS (sekitar Rp 27 miliar - 34 miliar) per tahun. Sementara biaya operasional pesawat sekitar 6.000-7.000 dollar AS (Rp 81 juta - 95 juta) per jam terbang. ”Dipakai atau tidak dipakai, biaya perawatan pesawat itu segitu. Jadi jika dibagi dengan biaya operasinya, pesawat itu baru worth it dimiliki jika digunakan untuk terbang kira-kira 300 jam per tahun,” ujarnya.
Rudy sendiri mengaku bepergian dengan pesawatnya sekitar 100-150 jam per tahun. Selebihnya, pesawatnya digunakan oleh mitra dan eksekutif lain di perusahaannya sehingga menutup jumlah sekitar 300 jam per tahun tersebut.
Sebagai perbandingan, ongkos carter pesawat eksklusif ini di Indonesia rata-rata 10.000 dollar AS per jam. Jadi bagi mereka yang kebutuhan perjalanannya sudah sangat tinggi, memiliki pesawat sendiri menjadi lebih efisien daripada menyewa pesawat.
Tentu saja, syarat lainnya adalah, nilai bisnis pengusaha tersebut juga harus besar. ”Memiliki pesawat ini biayanya memang tidak kecil. Belum lagi kalau kita ingin tambahan fasilitas di pesawat. Pasang (oven) microwave untuk menghangatkan makanan saja kena tambahan biaya 200.000 dollar AS. Jadi (nilai bisnis) kita harus berada di big bracket,” ujarnya.
Soal beli pesawat baru atau bekas, Rudy menganggap tidak jadi masalah. Menurut dia, pesawat berbeda dengan mobil yang kadang riwayat perawatannya tidak jelas. ”Sebuah pesawat pasti memiliki record perawatan yang jelas. Riwayatnya bisa selalu kita cek. Yang jelas, beli pesawat bekas tentu saja lebih murah daripada baru,” kata pria ramah yang tengah mempertimbangkan membeli sebuah pesawat Embraer Legacy 650 untuk menggantikan Citation-nya, itu.
Meski sudah terbiasa bepergian dengan pesawat pribadi, Rudy mengaku tidak kemudian anti bepergian dengan pesawat komersial reguler. ”Untuk jarak jauh, katakan lah penerbangan di atas 4 jam, saya masih lebih memilih pakai pesawat komersial. Selain pesawatnya lebih besar, pelayanannya juga lebih lengkap. Ada beberapa teman saya yang senang bepergian sampai ke Eropa bahkan Amerika dengan pesawat pribadinya. Tetapi kalau saya lebih suka pakai pesawat komersial (untuk jarak sejauh itu),” pungkas Rudy.
Produk andalan
Untuk merebut kue pasar jet eksekutif di Indonesia itu, baik Embraer maupun Dassault sudah menyiapkan produk pesawat andalan masing-masing. Dari jumlah dan tipe pesawat yang sudah dioperasikan di Indonesia saat ini, Embraer bisa dibilang memberi tawaran yang cukup lengkap.
Embraer Phenom 300 adalah tipe terendah yang saat ini beroperasi di Indonesia. Pesawat bermesin ganda dengan kapasitas 6-10 penumpang ini memiliki daya jelajah hingga 1.971 mil laut (3.650,3 kilometer). Jika diasumsikan tinggal landas dari Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur, pesawat seharga sekitar 9 juta dollar AS (Rp 119,7 miliar) ini bisa terbang nonstop mencapai hampir seluruh kota utama di Indonesia dan Asia Tenggara, termasuk kota-kota di Australia bagian utara dan barat. Hanya wilayah Laos dan Myanmar dan Papua bagian timur yang belum terjangkau.
Namun saat ini pesawat yang terbukti paling diminati konsumen di Indonesia adalah Embraer Legacy 600 dan 650. Pesawat ini memiliki ukuran lebih besar daripada Phenom 300, sehingga bisa menampung 13-14 penumpang dengan konfigurasi kursi yang sudah sangat nyaman. “Namun pesawat ini sebenarnya disertifikasi untuk bisa mengangkut jumlah penumpang maksimum 19 orang,” tutur Capt Baudzus saat mengajak media berkeliling salah satu pesawat Legacy 650 yang dioperasikan Premiair, minggu lalu.
Seluruh kursi di pesawat ini berbentuk kursi besar empuk yang bisa dibaringkan hingga rata seperti di kursi pesawat kelas bisnis terbaru pada maskapai reguler. Dengan begitu, para penumpang bisa tidur dengan nyaman sebelum tiba di tujuan untuk melakukan rapat atau perundingan-perundingan bisnis penting.
Menurut Baudzus, Legacy 650 bisa terbang 8 jam nonstop menempuh jarak jelajah 3.900 mil laut (7.222,8 km). Dengan kemampuan ini, Legacy 650 yang tinggal landas dari Halim Perdanakusuma bisa menjangkau seluruh kawasan utama Asia Pasifik, termasuk seluruh kota di China, Australia, Jepang, India, Korea , hingga Pakistan dan bahkan ibu kota Oman, Muscat. “Jadi hanya butuh berhenti sekali untuk isi bahan bakar selama 35-45 menit untuk pergi ke seluruh kota di Eropa, termasuk London di Inggris,” tutur Baudzus tentang pesawat berharga 25,9 juta dollar AS ini.
Di atas Legacy 650, Embraer menawarkan pesawat jet eksekutif terbesarnya, yakni Embraer Lineage 1000. Dikembangkan dari pesawat penumpang regional Embraer E190, Lineage 1000 bisa mengangkut 13-19 penumpang eksekutif dalam berbagai pilihan konfigusi interior, termasuk memasang satu set kamar tidur lengkap.
Pesawat seharga 53 juta dollar AS ini memiliki jarak jelajah 4.600 mil laut (8.519,2 km), yang membuatnya bisa menjangkau seluruh wilayah Asia Pasifik termasuk Selandia Baru, sebagian besar negara-negara Teluk Persia, hingga Rusia bagian selatan.
Tak mau kalah dengan itu, Dassault pun sudah menyiapkan enam tipe produk Dassault Falcon, dari yang terkecil Falcon 2000S hingga terbesar dan terbaru Falcon 8X, yang tengah menjalani proses sertifikasi. Pesawat-pesawat buatan Perancis ini menawarkan jarak jelajah yang bisa dibilang superior.
Jika Anda bepergian ke AS, misalnya, Anda bisa terbang nonstop dari Jakarta ke Honolulu (Hawaii) dan kemudian dari sana bisa menjangkau seluruh kota di AS
Pesawat Falcon 2000LXS, yang saat ini dimiliki seorang pengusaha di Indonesia, memiliki kapasitas 8-10 penumpang dan jarak jelajah maksimum 7.410 km terbang nonstop. Akhir Maret 2017 lalu, Dassault mendatangkan produk lainnya, yakni Falcon 900LX, ke Jakarta. Dengan tiga mesin jet, jarak jelajah 900LX lebih superior lagi, yakni 8.798 km, alias bisa menjangkau seluruh Asia Pasifik termasuk Selandia Baru, sebagian besar Timur Tengah, dan sebagian Afrika bagian timur jika tinggal landas dari Jakarta.
Namun, pesawat kebanggaan Dassault saat ini adalah Falcon 8X, pesawat jet eksekutif dengan jarak jelajah ultra-jauh. “(Falcon) 8X adalah pesawat jarak jauh yang juga memiliki kemampuan mendarat dan tinggal landas dari landasan pendek. Pesawat ini bisa terbang nonstop dari Jakarta ke Eropa barat dan Afrika. Selain itu pesawat bisa terbang ke semua kota di AS hanya dengan satu kali pemberhentian. Jika Anda bepergian ke AS, misalnya, Anda bisa terbang nonstop dari Jakarta ke Honolulu (Hawaii) dan kemudian dari sana bisa menjangkau seluruh kota di AS,” papar Jean-Michel Jacob dari Dassault Aviation.
Seiring dengan membesarnya dunia bisnis Indonesia, para pebisnisnya pun perlu membentangkan sayap makin lebar dan bepergian makin jauh dengan tetap nyaman. Seperti dikatakan Tony Hadi, bepergian dengan jet eksekutif saat ini sudah bukan lagi persoalan gaya hidup atau urusan mau sok pamer kekayaan, tetapi sudah menjadi kebutuhan bisnis. Di situ bisnis jet eksekutif pun mendapat momentum untuk makin tumbuh.