Greysia/Apriani, Harapan Baru Ganda Putri Indonesia
Dalam masa pencarian kembali ganda putri terbaik Tanah Air, nomor itu membawa pulang gelar juara melalui Greysia Polii/Apriani Rahayu. Diharapkan, ini menjadi awal lahirnya bintang baru salah satu nomor yang sering menjadi titik lemah bulu tangkis Indonesia.
Kemenangan atas Lee So-hee/Shin Seung-chan (Korea Selatan), 21-17, 21-15, di Stadion Pierre de Coubertin, Paris, Minggu (29/10), menjadi kemenangan pertama Greysia/Apriani dari turnamen super series.
Greysia pernah menjuarai turnamen Level II dalam struktur turnamen Federasi Bulu Tangkis Dunia itu bersama Nitya Krishinda Maheswari. Mereka menjuarai Korea Terbuka 2015 dan Singapura Terbuka 2016. Hasil itu mereka raih setelah membuat kejutan dengan meraih emas Asian Games Incheon 2014.
Namun, Indonesia kehilangan ganda putri yang bisa bersaing konsisten dengan pasangan peringkat 10 besar dunia dari China, Korea Selatan, Jepang, dan Denmark, sejak Nitya absen dari turnamen. Dia menjalani operasi lutut pada Desember 2016 dan direncanakan bertanding kembali di Grand Prix Gold Makau Terbuka, 7-12 November.
Pelatih ganda putri pelatnas utama Eng Hian merombak pasangan-pasangan yang dinilai stagnan pada tahun ini, termasuk memasangkan beberapa pemain dengan Greysia untuk meningkatkan kemampuan mereka. Pada awal 2017, Greysia dipasangkan dengan Rosyita Eka Putri Sari di Thailand Masters dan bersama Rizki Amelia Pradipta pada tiga turnamen di Eropa.
Setelah itu, Greysia bermain bersama Apriani yang baru memasuki kategori pemain senior (19 tahun ke atas) pada tahun ini. Kombinasi pasangan berbeda usia 11 tahun ini (Greysia 30 tahun, Apriani 19 tahun) menumbuhkan harapan lahirnya penerus Greysia/Nitya, dan Liliyana Natsir/Vita Marissa yang menjuarai China Masters 2007 dan Indonesia Terbuka 2008.
Greysia/Apriani, dua pemain berkarakter serupa yang selalu menggebu-gebu memperlihatkan semangat, ini menjuarai Grand Prix Gold Thailand Terbuka (satu level di bawah super series/premier), Juni, pada debut dalam turnamen perseorangan. Untuk turnamen super series, hasil yang didapat beragam, tersingkir pada babak pertama, perempat final, hingga akhirnya menjuarai Perancis Terbuka.
”Dilihat dari hasil turnamen super series, seharusnya tinggal meneruskan dan menjaga konsistensi penampilan terbaik mereka,” kata Eng Hian yang dihubungi saat di Paris.
Untuk mencapai target itu, Eng Hian berencana lebih banyak menurunkan pasangan Greysia/Apriani pada turnamen super series/premier meski sesekali memungkinkan untuk diturunkan di arena grand prix gold. ”Ini adalah awal, masih banyak tugas. Kami mempersembahkan ini untuk pelatih kami, Eng Hian, Chafidz Yusuf, dan Ary Subarkah,” kata Greysia.
Greysia juga memuji penampilan Apriani yang bisa mengatasi tekanan berat tampil di final super series. Dia menilai, yuniornya itu selalu mau belajar dan mendengarkan masukan dari pelatih dan senior-seniornya.
”Rasanya masih tidak percaya bisa juara. Dari awal, saya diminta untuk percaya diri meski awalnya sempat ragu, tetapi saya dibimbing senior dan pelatih saya,” kata Apriani yang pernah meraih medali perak dan perunggu Kejuaraan Dunia Yunior di nomor ganda putri dan campuran, pada 2014 dan 2015.
Ironi ganda campuran
Gelar Perancis Terbuka menjadi gelar juara ketiga bagi Tontowi Ahmad/Liliyana dari tiga final pada 2017. Dua gelar lain didapat ketika untuk pertama kalinya menjuarai Indonesia Terbuka dan untuk ketiga kalinya menjadi juara dunia.
Owi/Butet, panggilan mereka, juara setelah mengalahkan Zheng Siwei/Chen Qingchen (China), 22-20, 21-15, di final. Ini menjadi pertemuan keempat kedua pasangan, tiga di antaranya terjadi di final.
Peraih medali emas Olimpiade Rio de Janeiro 2016 itu kalah pada pertemuan pertama di perempat final China Terbuka 2014, saat Zheng/Chen berusia 17 tahun, usia level yunior (di bawah 19 tahun). Namun, setelah itu, Owi/Butet selalu menang.
Owi/Butet dan Zheng/Chen menjadi bagian dari lima ganda campuran peringkat teratas dunia pada saat ini. Indonesia menempatkan dua pasangan, yaitu Owi/Butet (peringkat ketiga) dan Praveen Jordan/Debby Susanto (4). Adapun China memiliki tiga pasangan: Zheng/Chen (1), Lu Kai/Huang Yaqiong (2), dan Zhang Nan/Li Yinhui (5).
Data pertemuan memperlihatkan keunggulan Owi/Butet dari ketiga pasangan itu. Namun, ini menjadi ironi karena ganda campuran China yang menjadi rival saat ini merupakan hasil peralihan generasi. Hanya Zhang Nan yang masih bertahan menjadi rival, tetapi dia pun telah berganti pasangan, dari Zhao Yunlei menjadi Li Yinhui yang baru 20 tahun. Zhang/Zhao dan Xu Chen/Ma Jin menjadi rival berat Owi/Butet pada 2011-2016.
Pelatnas Cipayung sebenarnya memiliki Praveen/Debby di peringkat keempat dunia, tetapi prestasi mereka tak sekonsisten Owi/Butet. Di luar dua pasangan itu, pelatih Richard Mainaky dan asisten pelatih ganda campuran pelatnas Vita Marissa dalam tahap menyiapkan pelapis dengan cara menukar pasangan pemain-pemain pelatnas utama. Target mereka adalah melahirkan penerus Owi/Butet dengan target jangka panjang, Olimpiade 2020.
Dari nomor tunggal putra, gelar juara didapat Kidambi Srikanth (India) setelah mengalahkan Kenta Nishimoto (Jepang), 21-14, 21-13. Ini gelar keempat, dari lima final, Srikanth pada turnamen super series/premier 2017. Di tunggal putri, Tai Tzu Ying (Taiwan) tampil sebagai juara. (IYA)